Hewan Juga Punya Hati, Walau Otak Mereka Terbatas

Saya agak tidak setuju dengan pendapat bahwa sapi atau hewan² kurban lain yang akan dikurbankan pada perayaan Idul Adha yang lalu dianggap tidak memiliki perasaan. Ketika ada sorotan ketika hewan kurban yang akan menanti waktu sembelih meneteskan air mata.

Jadi ini kata pakar lho, katanya sih begitu.

Dosen Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Gadjah Mada (UGM) Slamet Raharjo mengatakan sapi kurban itu memang mengelurkan air mata namun bukan menangis.

Menurut pakar satu ini, bahwa setiap spesies mamalia termasuk sapi, kambing dan hewan kurban lain memiliki kelenjar air mata. Kelenjar air mata tersebut berfungsi untuk membasahi atau membersihkan mata ketika ada debu maupun benda-benda lain yang menempel di indera penglihatan. Saat akan disembelih, lanjut Slamet, sapi kurban akan diposisikan berbaring miring, sehingga air mata keluar seolah menangis.

Nah itu dia logika dari pakar UGM ini, bahwa ketika posisi miring itulah air mata dari hewan kurban ini keluar sehingga nampak sedang menangis.

Sekedar ilustrasi, tidak dibahas dalam opini ini, hanya menautkan bahwa ada lho Hari Hak Asasi Binatang. Mungkin bisa jadi topik bahasan pada postingan lainnya. Gambar diambil dari Google

Saya berpendapat lain. Memang betul, ada kelenjar air mata pada setiap mamalia, sapi, kambing dan domba yang kebetulan jadi hewan kurban. Secara logika memang masuk akal, itu juga bisa saja soal cocoklogi jika orang menganggapnya menangis ketika mau disembelih, si hewan nampak mengeluarkan air mata.

Tapi si pakar ini tidak pernahkah tahu, bahwa setiap makluk hidup itu punya rasa. Anda jangan berpikir bahwa rasa itu sama seperti manusia. Anda kan pakar, harusnya memahami itu.

Pernah tahu, peternakan sapi di luar negeri, di Eropa dan Jepang, dimana mereka memproduksi daging wagyu. Di sana sapi² yang dipelihara diberikan treatment khusus, tidak saja soal makanan tapi juga soal rasa. Bahkan mereka sampai didengarkan musik. Intinya bahwa mereka menyadari bahwa hewan itu punya perasaan.

Anda tidak pernah memelihara hewan peliharaan?

Hewan yang kita pelihara itu punya hati dan perasaan ketika kita memelihara dengan senang, dengan hati dan cinta, mereka akan memberikan timbal baliknya pada kita.

Rasa senang dan sedih bahkan bisa mereka tunjukan, tapi itu tergantung, jika anda peka atau tidak. Jika anda hanya pelihara hewan sekedar pelihara, anda pasti hanya menggunakan logika.

Anda pernah lihat, kawanan hewan yang saling menolong satu sama lain, ketika kawanannya dalam bahaya, ada rekannya datang membantu. Itu rasa atau perasaan yang mereka miliki. Jadi jika anda mengabaikan itu dari sudut pandang logika saja sepertinya kurang tepat.

Oke anda itu pakar, pakar soal ilmu yang berdasarkan logika semata.

Tapi anda perlu tahu hidup itu bukan soal itu saja. Memahami apa yang ada di lingkungan, bukan pada sesama manusia, tapi pada makluk lain juga.

Dulu saya juga heran dengan mereka yang memelihara tumbuhan, tiap hari, pagi, siang, malam mereka asyik dengan tanaman mereka. Saya pernah bertanya, apa keasyikan dari memelihara tanaman, toh mereka gak bisa berinteraksi dengan kita, beda dengan hewan yang lebih atraktif dan reaktif.

Mereka jawab apa, mereka bilang semua makluk hidup sama, hanya cara mereka bereaksi itu berbeda, mereka (baca: tanaman) bisa juga diajak bicara.

Sejak itu saya mencoba paham dan mencoba membuktikan sendiri apa itu benar, dan memang kembali lagi, sebagai manusia yang lebih cerdas dari makluk lain seharusnya bisa memanfaatkan semua indera yang dimiliki. Sejak itu saya setuju pada pencinta tanaman, bahwa tanaman juga sama seperti makluk hidup yang lain.

Memang tidak semua makluk hidup pun peka akan soal rasa ini. Sama seperti manusia, ada yang punya kepekaan ada yang tidak. Jadi kembali lagi memang tidak semua hewan itu peka dan punya perasaan. Walau tidak peka, bukan berarti tidak punya perasaan!

Manusia juga punya kelenjar air mata, dan itu secara ilmu dan logika membantu untuk membasahi area mata. Dan kelenjar itu akan keluar ketika tertekan kontraksi di area sekitar mata.

Bagaimana penjelasan ketika manusia menangis oleh karena dorongan perasaan dari dalam? Apakah itu karena kontraksi di sekitar wajah atau mata, yang ketika sedih manusia memasang raut muka yang secara tidak sengaja menekan kelenjar mata? Begitu penjelasan logika air mata keluar pada manusia. Ini mengikuti cara pakar tadi menilai hewan yang mengeluarkan air mata tadi.


Saya tidak setuju dengan pandangan pakar ini, ya dia pakar pintar dan cerdas, tapi ketika tidak punya rasa kepekaan hmm rasanya tidak berguna juga ilmunya.

Siapapun makluk hidup di dunia ini punya rasa dengan kadar berbeda-beda, hewan dan tumbuhan tidak sekompleks dan selebih manusia, karena manusia diciptakan lebih dari keduanya. Tapi satu hal, Tuhan juga menciptakan rasa pada mereka dengan kadar yang kita tidak ketahui.

Anda akan memahami itu ketika anda berinteraksi dengan mereka, baru anda sadar. Agak sulit ketika pemerhati satwa memperjuangkan hak² satwa melawan mereka pengeksploitasi satwa. Bedanya dimana, dihati, karena pengeksploitasi satwa tidak punya hati di sana, yang ada adalah uang.


Kembali lagi pendapat orang berbeda-beda dan saya hargai itu. Tapi nama anda akan selalu saya ingat, bahwa anda adalah pakar yang tidak punya rasa. Itu saja sih.

Walaupun bisa saja cuplikan pendapat atau opini pakar ini mungkin saja ada lanjutannya. Tapi setidaknya yang beredar dimedia adalah seperti itu.


Bisa saja ada yang membaca tulisan ini akan berkomentar, lalu kalau begitu, dari mana anda dapat pasokan daging dari hewan² ternak? Bukankah itu sudah jadi kelaziman?

Nah itu anda tidak memahami, yang saya bahas adalah komentar pakar ini. Seolah-olah hewan tidak punya rasa, jadi ketika dia menangis itu hanya dianggap sebagai mekanisme metabolisme tubuh semata. Itu yang saya catat untuk dikontra.

Jadi tidak semua air mata keluar itu oleh karena konsep itu. Soal rasa itu ada, psikologis dari si hewan itu juga ada pengaruh. Jadi si pakar hanya melihat ini sebagai suatu logika dasar dari metabolisme makluk hidup. Dia tidak melihat bahwa semua makluk hidup punya perasaan.

Urusan soal tugas mereka hidup di dunia itu sebagai 'penolong' atau konsep rantai makanan dunia, itu hal lain, itu memang berjalan sudah sejak dunia ini diciptakan. Tetapi memahami bahwa mereka (hewan atau tumbuhan) punya rasa tidak bisa dikesampingkan.


Intinya saya tidak sepaham dengan pendapat pakar UGM ini dan saya ingat nama beliau adalah Slamet Raharjo.

Mungkin kalian punya pendapat lain, dari sudut pandang lain. Hmm, saya membatasi ini dari sisi keyakinan beragama, karena akan sulit menggunakan kacamata itu di sini. Jadi kacamatanya dibatasi kita sebagai sesama makluk hidup saja.

Segitu saja sih, berkomentar dan beropini panjang kali lebar memang lebih enak diblog pribadi, dibandingkan dikolom komentar platform sosial media. Tapi jika ingin memancing reaksi dan melihat kecenderungan pola pikir orang, kolom komentar sosial media jadi salah¹ sarana untuk itu.

Sampai jumpa disharing opini lainnya, mengkomentari apa yang ingin saya komentari, tidak semua memang bisa kita bahas, ini karena kebetulan saja juga memelihara hewan, agak tersinggung saja ketika seorang pakar hanya menilai hewan atau makluk lain seperti itu.

Saya pun menyadari bahwa saya sendiri saat ini masih kontra dengan makluk hidup lain, serangga. Karena sampai saat ini saya belum bisa memahami rasa yang mereka miliki selain instinct. Sehingga beberapa kesempatan, jika mengikuti post dibeberapa blog pribadi saya, ketika komentar saya terhadap makluk hidup dari spesies serangga ini selalu reaktif dan tidak suka dan berusaha membantai atau membumihanguskan. Satu hal yang masih saya jaga dan sadari mereka ada untuk keseimbangan ekosistem saja.

Ini jadi PR untuk saya sendiri memahami itu, bagaimana cara pemerhati serangga memahami makluk satu itu. Saya ingin belajar memahami itu. -cpr-

Posting Komentar

0 Komentar