Trip Tuban: Nyekar, Mancing, Kuliner

Ke Tuban, pernahkah ke sana? Bukan 'ketuban' istilah pas mau ibu hamil mau lahiran ya. Ini merupakan nama daerah, Tuban, tepatnya Kabupaten Tuban, di Provinsi Jawa Timur, Indonesia. Berada di pantura alias pantai utara Pulau Jawa.

Saya sebenarnya pernah ke Tuban, tapi hanya selintas lewat, ketika saya perjalanan dari Cirebon menuju Bali dengan bus Kramat Djati. Ada salah satu rest area pool bus berhenti di sebuah rumah makan di pinggir laut di daerah Tuban. Saya pernah menuliskan catatannya di blog saya, dan foto ketika saya ambil saat itu, pas lagi berhenti di daerah Tuban.


Sejak saya stay di Pandaan, Pasuruan, menuju daerah satu ke daerah lain aksesbilitasnya lebih mudah dan cepat, jika dibandingkan saya di Jakarta. Jakarta bukan daerah terpencil, banyak daerah penyokongnya, ada Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi. Oke, kota-kota itu bisa diakses mudah dengan angkutan umum, tapi kota lain seperti Sukabumi, Purwakarta, dll meskipun dekat, menuju ke sana perlu waktu yang tak sedikit. Faktor kelelahan karena macet membuat tantangan sendiri yang akhirnya menghambat bikin males kemana-mana.

Lalu ada misi apakah saya pergi ke Tuban? Sebenarnya misi kali ini adalah sebagai driver sewaan, sekaligus menikmati jalan-jalannya. Menghantar mba @yanti.subijanto nyekar ke makam orang tuanya, ditemani bro @marcell771.

Saya tahu, Tuban merupakan daerah pesisir. Oleh karena itu sebelum berangkat, saya siapkan alat-alat mancing. Bukan untuk mancing untuk dapat ikan, ya hanya iseng-iseng berhadiah, kalau strike ikan ya syukur, jika tidak pun saya bisa sambil berlatih lempar casting. Alat pancing saya, sudah siap di bagasi.

Start dari Pandaan sekitar pukul 7an pagi, kita start melalui jalur pantura, via tol ke arah Gresik, keluar di tol yang arah Gresik mau ke Tuban. Surabaya, Gresik, Lamongan, hingga akhirnya tiba di Tuban.

Di daerah Lamongan, katanya ada yang jualan makanan di pinggir jalan. Saya pikir itu adalah makanan seperti nasi jamblang. Ternyata, diluar ekspektasi. Namanya adalah nasi 'joran' atau 'garan'. Nama yang aneh ternyata, sama seperti rasa dari kuliner satu ini.

Setelah kenyang nyobain nasi yang 'aneh', kami lanjutkan perjalanan. Saya berkendara cukup santai, dengan gas dan rem saya buat santai, supaya irit bahan bakar dan kampas rem.

Lanjut lagi perjalanan hingga akhirnya tiba juga di Kabupaten Tuban. Masuk Tuban, komentar pertama yang saya rasakan adalah sejuk, kota kecil, sepi dan tenang. Secara umum, beberapa ruas jalanan di Tuban ini rindang, setidaknya pemerintah kabupaten masih menyediakan pepohonan di kiri kanan jalannya. Semua namoak tertata rapi, walau ya masih saja tampak kelakuan pelanggar lalin yang bikin "nyampah".

Tujuan pertama adalah nyekar. Ke daerah pemakaman 'china', entah daerah apa namanya saya lupa, saya hanya mengikuti arahan dari Mba @yanti.subijanto. Di sana cukup lama, ya karena harus bersih-bersih, cabut rumput dan tanaman liar, bakar dupa, siram air.


Lanjut setelah di makam selesai, kita lanjut lagi ke Klenteng Kwan Sing Bio, terletak di tepi pantai Tuban, tepatnya di ruas Jalan RE. Martadinata. Klenteng ini merupakan tempat ibadah penganut agama Tao di Tuban.


Di Klenteng ini sebenarnya kita hanya perkir, lalu ke pantai di depan klenteng ini untuk larung bunga. Karena dulu waktu dimakamkan dengan cara dikremasi dan abunya dilarung ke laut, jadi saat nyekar caranya begitu.

Setelah misi nyekar selesai, kita lanjut lihat-lihat dan berfoto di kompleks klenteng ini. Meski di sini merupakan tempat ibadah agama Tao, tapi ada bagian lain di kompleks ini jadi tempat wisata pecinan. Mungkin kalau di Katolik, ini seperti taman doanya. Hanya saja, di sini lebih bebas dimasuki siapa saja, kalau Katolik kan tempat khusus.

Banyak juga pengunjung yang Muslim berkunjung ke sini, mereka hanya memanfaatkan berfoto saja paling di sini, gak mungkin juga mereka ibadah di sini. Meski begitu, klenteng ini sangat toleran sekali, sampai menyediakan mushola di kompleks, padahal jelas ini tempat apa. Justru, jarang sekali tempat wisata religi agama lain, tapi menyediakan area doa penganut agama lainnya. Ya jika konteksnya dibalik jelas tidak mungkin. Hmm, bentuk ketidakadilan sih, tapi ya begitulah adanya. Indahnya, jika saling toleransi, ya mbok sama-sama, atau jika tidak ketika pendirian tempat seperti ini ya mbok ijinnya tidak dipersulit dengan alasan beranekaragam. #intermesso


Setelah puas berfoto di klenteng, kami berpindah lokasi. Kali ini kita main ke Pantai Boom. Sebuah kawasan pantai yang dikemas khusus sebagai objek wisata. Kalau orang Cirebon jaman dulu, bayangkan saja tempat ini seperti Taman Ade Irma Suryani.

Di sini ya ada wahana permainan anak, tempat duduk bersantai, hingga untuk sekedar mancing walau belum tentu ada ikannya.

Nah di spot ini saya nyobain mancing casting. Walau tidak ada jaminan dapat, tapi saya terus saja mencoba, itung-itung latihan casting. Orang lain, pemancing lokal di sini mancing pakai udang hidup besar. Target ikan katanya sih kakap, tapi ya sedari pagi hingga sore tidak ada yang strike.

Kita di spot ini cukup lama, saya puas-puas deh casting walau tidak dapat. Sekitar pukul /5 sore kita siap-siap meninggalkan pantai ini untuk cari kuliner.

Searching di Google, kita dapat beberapa rekomendasi tempat makan. Hasil rekomendasi katanya itu ada tempat jajan, namanya bubur sum-sum 'pemuda'. Kita cari itu tempat, tidak ketemu padahal ancer-ancernya sudah sesuai. Sampai di lokasi, tanya orang di sana juga tidak ada yang tahu. Ya agak aneh sih, biasa, di Jakarta deh, jika itu tempat terkenal, pastinya orang sekitar tahu, di sini tidak begitu.

Akhirnya kita abaikan, kita cari tempat makan lain. Coba memilih beberapa tempat, ternyata susah tutup. Akhirnya, kita memilih kembali ke kawasan RE. Martadinata, katanya kalau malam di sana banyak kuliner.

Pilih-pilih, akhirnya pilihan jatuh ke warung kaki lima seafood gitu, ya sebenarnya seperti warung pecel lele gitu. Di sana, kita pesan makan di pinggir jalan yang ada trotoarnya, lalu makannya di pinggir pantai. Parkir mobil di pinggir jalan, kemudian kita duduk di pinggir pantai itu.

Seru juga lho makan di sini, menikmati angin magrib menjelang malam, ditemani suara ombak tipis-tipis. Walau terganggu debu jalanan, tapi masih okelah.

Setelah selesai makan, mungkin sekitar pukul 8 malam, kami bertolak meninggalkan Tuban, segera kita harus kembali Pandaan.

Sepanjang perjalanan, mulai keluar Tuban, kita disambut dengan hujan sangat lebat, kebayang ada banjir, pandangan ke depan sangat terbatas, saya hanya berharap tidak banjir di jalan.

Malam itu, jalanan cukup padat. Karakter jalan yang berlubang tidak rata, bergelombang dan banyak truk lambat yang mengganggu perjalanan, repotnya lagi jalanan di daerah ini sempit, untuk menyelip saja sulit, soalnya kendaraan dari arah sebaliknya cukup padat.

Total perjalanan pulang dihabiskan waktu kurang lebih 3 jam, andaikan tidak ada truk yang melintas, bisa dibawah itu waktu tempuhnya. Total bensin itu habis Rp 100.000,- itu juga isi di Tuban.

Ya segitu saja cerita ringkas perjalanan saya mengawali pekan. Semoga bisa menjadi cerita dimasa yang akan datang. Jika ada kesempatan, lain kali coba ke sini lagi, tapi sebelumnya hunting informasi yang banyak dulu, supaya ada arah tujuan yang lebih terarah. Sampai jumpa di jalan-jalan lainnya. -cpr-

Posting Komentar

0 Komentar