Naik Motor Sekarang Selalu Mendebarkan #trauma

Belum genap setahun saya gantung helm, nampaknya nyali saya dalam bermotor sudah mulai berkurang drastis. Baik berkendara sendiri, bahkan dibonceng. Padahal dulu, mau berkendara sendiri atau dibonceng, semuanya fun, tidak ada ketakutan apapun.

Tapi sekarang berbeda rasanya, adrenalin yang terpacu jadi sensasi mendebarkan, tidak lagi menyenangkan seperti dulu. Dulu, berkendara kalau tidak ngebut kurang enak, sekarang aduh jalan santai sudah menyenangkan, ngebut malah menyiksa batin.

Ada hal yang berbeda dulu dan sekarang, dulu ketika berkendara cepat, saya punya reflek dan antisipasi yang lebih baik, jadi ketika ada masalah, misalnya crash atau apapun, sudah punya antisipasi harus bagaimana dan kemana. Selama perjalanan karir berkendara, terutama motor, bisa dihitung kasus crash yang saya alami, baik berkendara sendiri atau dibonceng.


Selama karir bermotor ada tiga motor yang pernah saya gunakan yaitu Honda Win 'belalang tempur', Black Vega, dan Red Vario. Dari ketiganya saya punya 1-2x pengalaman insiden berkendara dengan kategori ringan.

Bersama 'belalang tempur', insiden terjadi tidak membuat saya dan motor 'cidera', justru saya yang melukai lawan. Kasus pertama, waktu Honda Win masih standar, kejadian di kota asal saya. Ketika sedang berkendara dari arah Ciremai Raya menuju arah Pasar Perumnas, pas sebelum pertigaan Rinjani, ada tiba-tiba orang menyebrang jalan, saya memang sedang ngebut saat itu. Terpaksa harus hard brake. Efek hard brake itu untungnya tidak membuat saya jatuh dan berhasil mengerem, tapi posisi saya yang tadinya vertikal lurus searah jalan berubah menjadi horizontal. Jadi saya menyebelahi si penyeberang jalan itu. Fine!

Kasus kedua, itu ketika saya merantau ke Purwokerto. Masih dengan Honda Win, tapi kali ini penampilannya sudah berubah, saya modifikasi seperti belalang tempur. Saat itu, belalang tempur saya hanya mengandalkan rem belakang, tidak ada rem depan, karena tromol depan saya ganti, niatnya upgrade ke cakram, tapi duit ngepas. Alhasil motor tanpa rem depan, kalau kepepet remnya pakai karet alas kaki. Kejadiannya siang, sepulang kuliah. Ya biasa ngebutlah saya melintasi Jl. Kampus, Grendeng. Pas depan lapangan bola Grendeng, ada pengendara Tiger 2000 mau berbelok ke kanan tidak nyalakan sein, saya tidak tahu dia mau berbelok, saya overtake dari kanan dong, dan brak, tabrakan model T. Tapi dalam kasus ini, saya tidak jatuh, justru si Tiger ini yang tumbang dengan luka di 'lambungnya'. Bukan lambung orang ya, tapi lambung motornya, ya itu bagian tangkinya pecah alias sobek, bensin mengucur deras. Ternyata si empunya baru dari SPBU otomatis tangki terisi penuh. Saya lihat motor saya, fine, tidak ada lecet apapun.

Bersama belalang tempur hanya itu kejadian yang parah sih, lainnya saya aman-aman saja berkendara, bahkan belalang tempur pun berhasil diajak touring Purwokerto - Sidareja pp, Purwokerto - Cirebon, ketika mengakhiri masa tugasnya.

Kendaraan kedua saya adalah Black Vega. Kendaraan ini saya dapatkan sejak kondisi baru. Bersamanya sejak awal tidak pernah ada masalah, bisa dibilang clean sheet ketika saya bersama Black Vega ini, sampai saya bertualang di ibukota.

Di ibukota kondisi Black Vega sudah tak seperti dulu lagi. Sampai suatu saat, saya pertama kalinya rebah bersamanya, jatuh tersungkur tersenggol mobil ketika melintas selepas flyover Ciputat, saat itu saya mengantuk.

Kasus lainnya, insiden adalah ketika ada seseorang menyebrang masuk jalur tapi tidak lihat kiri kanan, main lintas saja, akhirnya terserempetlah. Insiden kali ini sih tidak membuat saya tumbang, hanya kaget ngerem mendadak, kondisi motor pun hanya miring sedikit. Si pelaku saja yang terkapar.

Bersama Black Vega, ya hanya itu sih insiden yang terjadi. Yang parah memang yang crash karena saya mengantuk saja itu, sisanya semua berjalan baik.

Kendaraan ketiga saya adalah Red Vario, bersamanya saya juga tidak mengalami insiden serius, hanya paling tergelincir karena ulah saya sendiri ketika hujan, melintas jalan bertanah liat di sisi badan jalan di ruas Lenteng Agung mengarah Depok. Kondisi jalanan macet, jadi biasalah pemotor kreatif mencari jalanan meski bukan di atas aspal, sikat aja. Karena medan tanah, plus diguyur hujan membuat kondisinya licin, saya mencoba meliuk melintas setapak yang dibuat motor lain di depan saya, tapi karena saya kurang perhitungan dan terlalu yakin, akhirnya saya tergelincir. Tidak parah sih, tidak sampai gluntang, dengkul kanan masih mampu menahan tubuh dan badan motor. Fine!

Ya dari ketiga kendaraan yang pernah saya naiki itu, secara umum semua berjalan baik-baik saja, tidak ada laka yang parah yang menyebabkan saya terluka parah dan saya bersyukur dengan itu semua.

Ada satu laka yang tidak menggunakan motor yang jadi tunggangan saya, motor itu motor ibu saya, Supra 2002. Aktivitas pagi saat saya libur kuliah dan saat pulang ke rumah adalah menghantar adik-adik saya ke sekolah. Malam harinya memang saya habis ngebut-ngebut dengan motor ayah saya, Supra 2003 dengan disc brake. Paginya saya gunakan Supra tromol. Pagi itu saya bonceng adik saya yang bungsu di depan dan nomor dua di belakang. Saya melaju standar lah, 60 km/jam, saat melintas sebuah jembatan belum sampai badan jembatan, ada sebuah mobil sedan, Honda Civic terbaru saat itu melaju tiba-tiba lambat dan terkesan maju tidak mundur tidak. Saya yang berpikir mobil ini akan melaju tidak serta merta mengurangi kecepatan, karena memang saya paling tidak suka mengerem, lebih senang mengandalkan engine brake. Ternyata oh ternyata si Civic melambat dan nyaris berhenti, akhirnya saya tidak ada kesempatan hard brake, rem tromol tidak didesign untuk ngerem dalam tempo yang sesingkat-singkatnya. Akhirnya, brak.

Saya hanya berusaha meminimalisir senggolan dengan mobil, tapi kalau saya menghindari mobil kami bertiga bisa lewat jembatan dan jatuh dari jembatan. Mau tidak mau saya gunakan mobil sebagai penghenti laju motor. Jadi saya tabrakan sisi lampu belakang mobil sebelah kiri, stang dan rem kanan berikut tangan saya menghantam lampu, dengkul kanan saya benturkan ke bemper belakang untuk menghentikan motor. Kondisi motor memang miring ke kiri ala-ala MotoGP gitu. Adik saya yang dibonceng di belakang terpental ke belakang dan adik saya di depan untungnya tidak terlempar ke depan, dia baik-baik saja, hanya trauma. Jari tangan saya berdarah-darah efek hantam lampu belakang. Motor yang saya pakai tidak ada yang rusak. Civicnya rusak dilampu dan bemper penyok ke dalam seukuran dengkul saya.

Saya beruntung adik-adik saya tidak luka, hanya shock saja. Sejak itu saya percaya, jika dalam laka saya dibonceng, saya tidak ngalami luka serius, dan jika saya memboncengin penumpang, maka penumpangnya yang akan baik-baik saja, tapi yang akan terluka adalah saya yang mengemudi kendaraan. Saya pikir ini bagus, cukup adil.

Sebagai seorang biker, mengalami insiden pasti tidak hanya sekali, saya juga pernah menjadi navigator alias yang dibonceng. Satu insiden yang nyaris parah itu, saya pernah crash ketika touring Purwokerto - Jakarta, tahun 2004/2005. Masih di sekitar Banyumas, motor yang saya tumpangi mengalami slip karena ceceran solar di jalan, sebelum jatuh motor sempet kehilangan kendali sebelum akhirnya gasruk beberapa meter. Saya yang dibonceng terlempar ke kanan jalan dan pengemudi terlempar ke gravel kiri jalan. Untung saja, jalanan sepi, kalau tidak, mungkin saya sudah mengakhiri karir hidup saya saat itu.

Terbangun dari laka, saya tidak mengalami luka-luka berdarah, paling hanya lecet akibat gesekan jaket dan aspal, tas paling lecet. Selebihnya saya baik-baik saja. Memang saat jatuh saya sudah antisipasi, kepala memang saya angkat betul, jadi tidak kegesrek aspal. Saya membayangkan crash di MotoGP. Pengemudi yang jadi partner saya luka dibagian jari tangannya, berdarah-darah. Saya masih bersyukur.

Saya menyadari akan santo pelindung perjalanan, yang katanya tersemat dalam nama saya. Namun begitu, bukan berarti saya bebas sesuka hati menantang maut di jalanan.

Ada hal yang saya ingat, beberapa kejadian yang terjadi saat itu tidak membuat saya trauma. Sampai akhirnya saya memutuskan tidak lagi berkendara sendiri dengan motor.

Seiring berjalannya waktu, usia bertambah, saya memutuskan gantung helm diusia menjelang kepala tiga. Merasa sudah cukup lelah dengan semua hal di jalanan. Mulai saat itu, penurunan reflek dan antisipasi saya rasakan, kreatifitas ketika menghadapi situasi laka jadi tak terpikir.


Sampai akhirnya saya mengalami crash lagi ketika menjadi penumpang ojol. Sejak kejadian itu, malah saya menjadi trauma. Kalau naik motor ngebut-ngebut berasa nyali ciut. Lalu, kemudian antisipasi saya terhadap sekitar saat kondisi terdesak pun ikut terdesak, jadi tidak kreatif. Ibarat kata, jika amit-amit terjadi crash, saya tidak tahu apa yang harus dilakukan buat mengurangi cidera.

Sekarang, naik motor itu mendebarkan. Selalu merasa tidak aman. Intinya, mungkin karena ada rasa gak nyaman ini mempengaruhi driver yang membawa saya, beberapa kali saya merasakan driver ojol yang membawa saya nampak tak seimbang meliuk di jalanan padat.

Justru titik balik saya mengalami trauma adalah akibat insiden laka di Dharmawangsa itu, meski saat itu saya tidak mengalami luka yang berdarah-darah hanya pincang saja, tapi nampaknya secara psikologis mempengaruhi kenyamanan saya ketika naik kendaraan terutama motor.

Ya begitulah, kira-kira perjalanan panjang saya selama ini dengan sepeda motor, dari yang begitu akrab hingga kini jadi trauma dan selalu tidak nyaman. Saya masih beruntung sesekali mendapat kesempatan mengemudikan motor, ketika saya nebeng pulang menuju halte. Setidaknya saat itu saya masih bisa belajar mengendarai motor. Ya siapa tahu saja, karena sudah jarang mengendarai motor, lama-lama lupa lagi caranya bermotor, kan aneh.

Sebuah curahan mantan biker yang telah pensiun berkendara dengan sepeda motor. Sekarang, menikmati hidup dengan moda transportasi lain, kendaraan roda empat atau angkutan umum, nampaknya lebih aman dan lebih santai, meski harus berjam-jam terjebak macet di dalamnya. -cpr-

Posting Komentar

5 Komentar

  1. Super sekali hhahaha *dikeplak*. Maaf. Maksudnya ini luar biasa pengalamannya terutama yang di jembatan itu. Kalau saya berada di posisi itu, sudah dapat dipastikan, saya keluar dari jembatan hehe. Meskipun sekarang sudah gantung helem tapi setidaknya punya pengalaman dengan sepeda motor. Pengalaman seru. Seperti saya, kecelakaan sepeda motor terparah saat masih SMU (tabrakan sama angkot), kaitan lengan (apa ya istilahnya itu hahaha) bergeser. Motor sampai tidak berbentuk. Tapi seminggu kemudian, saat lengan kiri masih belum sempurna bisa digerakkan, sudah dipaksa Bapak mengendarai lagi :D hilangkan trauma katanya -_- untung selamet.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Wah, ngeri kali, sampai engselnya bergeser begitu. Berdarah-darah kah? Saya itu paling ngeri kalau laka berdarah-darah #seram.

      Laka yang saya senang lihat ya laka di MotoGP, seru, jatuh tapi bergaya, karena ada tekniknya. Cuma kalau di jalan umum, mau jatuh pake gaya apapun, pasti parah juga, soalnya jalanan padat dan faktor X nya banyak

      Hapus
  2. Pengalaman sedih juga ya mas. Tiap ganti motor selalu crash gitu. Yg sabar aja deh. He he. 😊

    BalasHapus
    Balasan
    1. Itu lebih baik malah, dari beberapa tahun pegang crashnya bisa dihitung. Kesannya memang ganti motor crash, soalnya namanya juga upgrade motor. Dan memang tidak ada gading yang tak retak #begitulah. Tapi jika dibandingkan yang lain, ada aja laka. Saya masih beruntung cuma dijatah segitu.

      Kang Beny gimana, pernah crash juga? Mudah2an zero accident ya ;)

      Hapus

Tinggalkan jejak, jika anda mampir ;p Terima kasih atas kunjungannya - cocoper6