Bike to Work Special Birthday

Huah, pagi-pagi harus bangun 40 menit lebih awal dari biasanya, mana semalam udah lelah dorong si merah , prepare bike pula buat pagi ini, terpaksa tidur tengah malam juga. Memang, hari ini jadi lebih 'spesial' dapat kado dari si merah, pake acara mogok, 'surprise' nya udah dari semalam.

Diputuskanlah pagi ini saya gowes ke kantor, karena moda ini yang lebih praktis daripada harus naik angkutan umum. Hanya waktu yang perlu diluangkan agak lebih banyak, namun sisi positifnya sekalian olahraga. Baju kantor, dipersiapkan ditas, jadi selama gowes pake lusuhan aja deh. My Spazio yang menemani gowes kali ini, ini rute terjauh kedua sejak karirnya bersama saya, rute terjauh pertama wakty fun bike di Senayan.

Berangkat
Start keluar dari home, langit masih gelap, wajar, masih jam 04:30. Saya pilih berangkat lebih awal untuk menimalisir gangguan di perjalanan karena traffic yang padat. Tau sendiri jalanan Jakarta itu memang tidak bersahabat bagi moda transportasi lain yang tanpa mesin.


Baru berangkat saja, saya sudah disuguhi 'lelah', maklum tanjakan untuk menuju akses Jalan Margonda dari home itu harus lewat tanjakan 45 derajat lah, meski tidak dengan gowes (alias jalan kaki sambil tuntun sepeda) terasa cukup berat. Dalam hati, "bakal sampai kantor apa tidak kalau begini?". Pikiran coba saya alihkan ke hal lain, supaya tidak terbeban perjalanannya, toh ini belum mulai apa-apa.

Start di Jalan Margonda, rute yang saya pilih adalah rute potong untuk meminimalisir tanjakan. Rute biasa memang saya naik motor juga lewat situ sih. Melintas komplek UI, lanjut ke akses utama Univ. Pancasila, Lenteng Agung, Tanjung Barat, TB Simatupang, Ampera, Kemang, Antasari Prapanca, Wijaya, Cipaku. Itu rute yang saya arrange sejak awal.


Di kilometer 1-7 UI sampai Tanjung Barat itu rasanya berat, waduh bakal sampai tidak ya, lihat jam, aduh sudah mau pagi, jalanan mana makin ramai saja. Di kilometer selanjutnya, masuk ke 8-11 itu jalanannya landai menanjak, belum lagi kerongkongan udah berasa haus. Saya memang tidak persiapkan air minum, jadi resiko yang harus ditanggung. Masuk di kilometer 12, saya putuskan berhenti di mimimarket untuk istirahat dan beli air minum. Habis minum, dahaga terpuaskan, duduk sebentar, rasa letih agak hilang dan stres sampai atau tidak sudah tidak jadi pikiran, karena saya hitung-hitung, tinggal 8 kilometer lagi kurang lebih. Istirahat cukup, saya lanjutkan perjalanan, saya juga harus perhitungkan traffic, jangan sampai keburu ramai. Di kilometer 14 sampai 18 titik akhir, lebih santai sih, lebih tenang juga, bentar lagi sampai. Pas sampai di Jalan Wijaya, hati sumringah, akhirnya sampai juga #legah.


Dengan sepeda, saya bisa lihat banyak aktivitas orang di pinggir jalan, ada tunawisma yang tidur di emperan toko, ada pula pemulung dengan gerobaknya sedang memilah hasil pulungannya, ada tukang ojek yang masih terlelap di posnya, kemudian security gedung perkantoran yang asyik berjaga sambil bercengkrama, warung-warung penjual sarapan pagi di pinggir jalan tengah siap-siap berjualan dan banyak lagi. Suasana yang jarang saya perhatikan ketika berkendara dengan motor, wajar, motor kan lebih cepat dari sepeda, sehingga konsentrasi ke jalanan lebih tinggi.

Ada hal lain yang saya catat, kondisi jalanan ibukota ini memang tidak cukup layak buat moda transportasi non mesin. Kita diberi hak di sisi jalan paling kiri, kondisi fisik jalan di sana tambal sulam, otomatis permukaannya jadi tidak rata, ini yang membuat terkadang pesepeda suka mengambil jalur pemotor (dengan agak ke tengah). Situasi ini kadang membuat pemotor atau pemobil 'marah', terganggu trafficnya. Saya pernah jadi pemotor dan pemobil itu. Dan kini saya tahu rasanya jadi pesepeda yang memilih bike to work. Lain kali, ketika ada pesepeda yang seperti itu, harus bisa memaklumi, karena memang kondisi jalan di sisi kiri itu tidak baik. Pemotor saja yang mungkin melintas pasti tidak mau, justru memilih jalan yang halus. Apalagi sepeda yang minim piranti peredam kejut. Saya dibuat berefleksi dari bike to work pagi ini.

Resume perjalanan saya bike to work pertama ini bisa dilihat di beberapa capture Mi Fit. Perjalanan yang menghabiskan waktu 1,5 jam lah kurang lebih. Memang perjalanan sangat santai sekali, beberapa kali diovertake sama pesepeda lain. Kadang heran liat mereka, koq bisa cepat, saya mau cepat, pikir-pikir energi cukup apa tidak, maklum belum sarapan. Tapi overall, perjalanan pagi ini menyenangkan.

Pulang
Perjalanan pulang ternyata sesuai dugaan sebelumnya, jauh lebih berat dibandingkan berangkat. Perjalanan pulang, kombinasi berjalan dan gowes adalah 50:50, karena saya tidak kuat mengayuh dengan kecepatan konstan di medan yang nampaknya landai tetapi kenyataannya menanjak, belum lagi kondisi jalanan yang padat cenderung macet.



Kondisi seperti ini saya sangat mengharapkan pedestrian alias trotoar untuk pejalan kaki, karena di sana saya harus menuntun sepeda saya, supaya tetap melaju, meski jalan utama padat merayap. Namun sayangnya tidak semua kondisi trotoar di rute yang saya lewati, baik kondisinya. Belum lagi, kalau trotoar ada yang dimanfaatkan berjualan, mau tidak mau saya pengguna hak media itu yang mengalah.

Rute pulang saya sudah memilih rute dengan minim tanjakan, namun tetap saja tidak bisa menghilangkan kenyataan bahwa Depok berada di daerah dataran lebih tinggi dari Jakarta. Keluar Jalan Cipaku II, saya lanjut melalui Wijaya, lanjut ke jalan potong tembus di belakang kantor Walikota Jakarta Selatan. Lanjut menyusuri ruas Antasari, saya berbelok ke arah Kemang. Kemudian, saya ambil ke Pejaten. Habis Pejaten saya berbelok ke arah Pasar Minggu. Lampu merah pertama saya belok kanan, supaya bisa tembus TB Simatupang. Dari sana, saya menyebrang perlintas rel kereta eks perlintasan sebidang Tanjung Barat yang sudah ditutup kini. Setelah itu, lanjut ke jalan Lenteng Agung hingga akhirnya tiba di Depok.


Total waktu tempuh saya ketika pulang adalah 2 jam 32 menit. Waktu yang sangat lama sekali, benar- benar perjuangan yang melelahkan. Total jarak tempuh 18,56 kilometer. Kecepatan rata-rata hanya 7,30 km/jam, sangat lambat bukan? Wajar jika saya selalu diovertake oleh pesepeda lain, yang kebetulan melintas. Top speed saya adalah 26,08 km/jam.


Ketika saya mencoba menjaga konstan kayuhan saya, organ kaki, paha tidak dapat menerima dengan baik. Ketika itu terjadi, saya terpaksa mengendurkan porsi kayuhan saya. Bermain gear di hand gear kanan jadi pilihan wajib. Ketika kaki paha sudab tidak bisa menerika tugas berat, saya langsung memutuskan berjalan kaki. Ketika kondisi jalanan sudah kembali normal, saya kembali gowes.

Kesimpulan
Bagi goweser pemula yang menempuh jarak cukup jauh adalah sesuatu yang berat. Kunci utama supaya kita harus selalu sadar dengan kemampuan kita yang belum terbiasa. Jauhkan pikiran tentang ragu tentang bagaimana perjalanan, sampai atau tidak. Jalani saja, alon-alon asal klakon. Kalau kita mikirkan perjalanan dan ingin cepat sampai seperti kendaraan bermotor, pasti itu akan buat makin lelah, karena fisik bekerja, pikiran pun sama. Rileks dan enjoy mungkin saran terbaik. Ini jadi catatan saya untuk kedepannya. cpr.

Posting Komentar

0 Komentar