Kelakuan Generasi Tai = Bullying Generation

Rasanya makin hari ada saja kasus² baru soal bullying yang mencuat ke permukaan. Pelakunya semua adalah anak² sekolah yang statusnya dibawah umur.

Sebenarnya generasi bullying sudah ada sejak lama, bahkan generasi² sebelum sekarang ya sudah ada, hanya saja jaman saat ini sosial media sudah maju, gadget sudah canggih, sehingga aksi apapun bisa dengan mudah terdokumentasi dan cepat sekali menyebarnya.

Nah kasus² bullying yang mungkin selama ini, generasi² yang sebelum² nya tidak pernah terekspos kini akan mudah terekspos dan terblow-up ke masyarakat luas.

Saya jadi heran ini kenapa ya anak² usia sekolah, dibawah umur koq kelakuannya kaya tai semua, kaya binatang. Baru bocah gitu, tapi tingkahnya dan gayanya kaya jagoan, hantam sana-sini berasa paling kuat.

Ilustrasi, gambar diambil dari Google

Teman² yang statusnya bukan alpha disikat, karena dia merasa alpha, main sikat saja. Bener² kelakuannya kaya binatang, gak ada belas kasih, yang ada luapan amarah untuk dilampiaskan pada si lemah.

Dulu jaman saya sekolah memang ada yang begini, aksi bullying saya yakin selalu ada ditiap generasi. Nah lalu apakah yang salah?

Orang tua?

Guru-guru pengajar?

Siapa yang salah sih? Atau anaknya itu sendiri yang jadi pelakunya?

Ilustrasi

Jujur saja saya sampai heran, anak bocil ingusan, hanya karena dia ahli bela diri, bisa seenaknya jadi jagoan menyiksa temannya sendiri, dengan mengatasnamakan alasan apapun tentunya tidak diperkenankan.

Ini merujuk kasus yang barusan ramai, siang kejadian, malamnya si pelaku oknum, bocah ingusan sok jagoan langsung diringkus. Ini pun juga karena ada desakan warga yang menggeruduk rumah si pelaku. Jika tidak begitu pastinya akan diproses agak lama, paling banter diurus secara persuasif, soalnya ini terjadi pada orang biasa (baca: masyarakat jelata). Kalau menengah ke atas baru naik ranah penyidikan pake pengacara². Tapi jika menyasar masyarakat jelata, perlu ada reaksi seperti ini, warga menggeruduk rumah si oknum barulah polisi bertindak.

Ini dia penampakannya, saya temukan di Twitter memang polosan tanpa sensor, supaya bisa diingat dengan baik. Apa yang ada dipikiran si anak ini ketika saat itu sudah ditahan dan ketika saat aksi penganiayaan terjadi.

Kembali lagi, ini sebenarnya yang salah siapa sih? Siapa sih yang gak bisa mendidik sampai anak² itu jadi pribadi yang destruktif seperti itu?


Saya beropini, berdasarkan pengalaman ketika saya sekolah dulu. Permasalahan ini harus dibebankan pada orang tua. Orang tualah yang salah besar!

Didikan orang tua ini yang salah. Kebanyakan orang tua itu mengajarkan anak untuk membalas ketika ditindas dan berusaha untuk 'kuat' supaya gak ditindas.

Kemudian kebanyakan orang tua itu menunjukan superioritas di rumah, terutama sosok ayah. Jadi demi dianggap sebagai laki² atau suami yang punya power, jadi si laki² atau bapak² ini bertingkah super power di rumah dan itu dicontoh oleh anak. Contohnya gimana si?

Gini, ketika anak masih kecil, pergi bersama orang tuanya. Ketika di jalan nih, senggolan atau ribut dengan orang, sepele sebenarnya, tapi direaksi langsung ribut, minim² mengumpat, kalau singgungan bisa saja kelahi. Ini yang dilihat oleh anak, bahwa kita itu harus superior supaya gak diremehin orang. Anak pada akhirnya meniru.

Lalu anak² yang umumnya tidak mau ribut, lebih memilih jalur damai, cenderung meniru orang tua mereka yang seperti itu, tidak mengedepankan emosi atau ribut², tidak reaktif.

Anak adalah peniru yang baik. Jadi apabila si anak berperilaku seperti yang tergambar, itulah citra atau cermin dari orang tuanya. Catat itu!

Orang tua itu bebal kalau saya boleh katakan. Ketika anak cerita, kalau dia mendapatkan sesuatu yang gak baik dari teman² nya, sebagai orang tua kebanyakan tidak mengajarkan reaksi yang (+), justru cenderung memprovokasi dan inilah yang semakin menganggap pembenaran pada anak.

Jujur saya langsung memukul rata kebanyakan orang tua seperti ini. Karena apa, ya itu kenyataannya.

Lalu ada yang menyanggah, tidak koq, ada yang orang tuanya alim, pendiam dll., tapi anaknya tetap saja bringas. Pertanyaannya dikembalikan, itu anak besar dan hidup di lingkungan yang mana? Anak tidak akan mencontoh dari sesuatu yang tidak dia lihat. Anak itu peniru yang baik. Jadi apa yang tergambar, kamu (hei orang tua!) bertanyalah, darimana si anak berperilaku seperti itu. Justru kamu sebagai orang tua harus cari tahu! Bukannya menyalahkan pihak lain.

Pendidikan primer anak itu dimulai dari keluarga. Jadi berarti ada masalah dalam pendidikan primer keluargamu, catat itu!


Guru dalam hal ini pihak sekolah pun sama. Seharusnya mengajarkan anak pola didik yang tidak reaktif terhadap sesuatu. Biasakan untuk menelaah terlebih dahulu ketika ada suatu aksi.

Repotnya kalau guru² muda itu karakternya ya reaktif juga, jadi anak didiknya dipastikan akan mencontoh guru macam begini.

Guru yang reaktif memang tidak banyak, jadi masih lebih baik, sehingga kesalahan terbesar memang ada pada keluarga. Kesalahan pihak sekolah atau guru adalah tutup mata dan belum bisa jadi sarana merubah atau menetralisir pendidikan primer yang buruk dari keluarga² anak² muridnya.

Karena kembali lagi tidak semua pendidikan primer keluarga² anak didik mereka itu sehat, mayoritas ya banyaknya itu pendidikan primernya memprihatinkan. Gak melulu keluarga kaya saja, keluarga miskin hingga menengah punya potensi yang sama, punya pendidikan primer yang buruk di keluarga masing². Sehingga lagi² anak mereka mencontoh hal² yang kurang baik.


Jadi ketika wajah anak² generasi ke generasi saat ini kelakuannya begitu, itu tanda cerminan dari pola didik dan asuh keluarga² muda saat ini, kaya tai juga.

Kalau anaknya tai ya orang tuanya ya minimal ee, atau ya sama² tai juga.

Kesimpulan saya, kenapa anak² generasi saat ini seperti itu, itu karena pendidikan primer dalam keluarga tidak berjalan baik dan yang patut disalahkan adalah orang tuanya dalam mendidik. Titik! Jadi ketika sang anak berbuat perilaku tidak terpuji dan cenderung ke arah kriminal, orang tuanya juga harus mendapatkan sanksi.

Ini sebagai pentuk preventif agar semua orang tua itu gak bisa sembarangan mendidik anak, karena ketika si anak ini melakukan sesuatu yang tidak baik, maka pertanggung jawabannya juga ada pada mereka, supaya mereka gak lepas tangan.


Ini pendapat pribadi saya, jujur saja geram lihat kelakuan anak² ingusan yang sok jagoan, menganiaya temannya, adik kelasnya, kakak kelasnya atau siapapun dengan cara tidak berperikemanusiaan.

Minimal kalau berkelahi, ribut, berantem, ketika melihat lawan sudah menyerah, kalah, itu ya tidak menyerang membabi-buta, prinsip olahraga nya juga dipakai lah, fair play. Ini kalau mau ikut aturan main begitu. Bukan pakai prinsip rimba. Dalam perang saja ada aturan mainnya, tidak boleh membunuh lawan yang sudah menyerah. Ini ekstrim ya, bukan diartikan mengamini perilaku kekerasan. Poin bertuliskan miring ini hanya 'apabila'.

Tetap pada prinsipnya, apapun itu jadilah pribadi yang tidak reaktif, terutama dalam hal perilaku dan tindakan. Lebih baik ditindas daripada menindas, karena perilaku superioritas atau jagoan cenderung memberikan dampak negatif.

Hanya yang bermental pahlawan sajalah yang bisa mengelola superioritas dengan baik. Jadi sadar diri jika anda hanya manusia biasa, gak sok kaya jagoan. Cacat itu!


Pengalaman Bullying
Saya pernah mengalami bullying ketika saya baru pindah dari sekolah swasta Katolik ke sekolah negeri pada tingkatan SMA. Saya sendiri yang menginginkan pindah ke sekolah negeri, untuk agar saya dapat wawasan, pertemanan yang lebih luas dan heterogen.

Masuk ke sekolah negeri sebagai minoritas pasti memberikan tantangan tersendiri, apalagi ini pertama kalinya ada di lingkungan heterogen.

Kebetulan ada juga teman yang juga sama pindah dari sekolah swasta Katolik, hanya kami beda sekolah. Meski begitu dia ini Muslim (ikut orang tua yang pindah agama). Saya berteman dengan teman saya ini. Jadi ketika awal masuk ke SMAN ini saya akrab dengan dia.

Nah ada lah teman lain yang bisa dibilang jagoannya nih, dari gaya ya petakilan lah, entah sebelumnya dia ini dari sekolah negeri lainnya (SMPN). Nah saya dan teman saya ini kerap jadi target pemalakan. Entah itu soal uang atau PR urusan sekolah.

Saya tipe yang tidak mau ribut dan memperpanjang, saya ikuti alurnya dan saya punya cara tersendiri untuk membalas atau membalikan keadaan. Kembali ke mental kita menghadapi situasi yang seperti ini, meski dalam posisi yang terbullying, tapi saya pribadi berusaha tetap menggunakan akal sehat untuk menguasai situasi.

Pada akhirnya saya bisa menyesuaikan diri, orang ini yang tadinya bisa dikatakan lawan pada akhirnya bisa jadi kawan, walaupun saya tipe penanda. Siapapun yang baik pasti akan saya tandai baik, tapi yang pernah memberi luka pasti akan saya tandai walaupun nampaknya baik² saja, karena saya tipe pendendam, walau sudah baik hal buruk ini akan saya ingat terus, bahkan sampai saat ini.

Meski begitu pertemanan ya tetap pertemanan, selama ada di circle itu, tapi ketika nanti saya sudah lepas dari circle itu, saya akan melupakannya dan mungkin saja tidak akan mengingatnya, saya akan cuek meski saya ingat semua perlakuannya.

Bahasa mudahnya, selepas dari circle itu, harapannya gak pernah ketemu dan berurusan dengan orang itu lagi, kalau bisa menghindar ya hindari, anggap saja orang ini sudah mati. Tapi jika terpaksa masih ada dalam circle, ya perlakukan senormal mungkin. Tapi jika bisa dihindari, ya hindarilah dan jangan berurusan lagi dengan orang ini.

Karena meski saya pendendam, saya bukan tipe yang mau mengotori tangan saya untuk membalaskan dendam, biar waktu dan karma yang membalasnya. Itu prinsip saya, jadi saya gak akan memilih cara reaktif dalam mengatasi aksi.

Itu pengalaman saya jadi korban bully, kuncinya adalah dimental dan bagaimana kita bisa menguasai situasi, jika anda lemah disuatu hal, gunakan cara lain supaya anda unggul di sisi yang lain, keunggulan itulah cara kita menguasai situasi. Jangan justru malah meratapi keadaan yang malah membuat kita tidak bisa berbuat apa².

Itu sih share sedikit pengalaman saya jadi korban bully, walau gak sehebat atau seberat korban bully yang lain, tapi setidaknya bisa dikatakan, bullying itu terjadi bukan saat ini saja, jaman generasi sebelumnya bullying itu ada dan akan selalu ada, karena akar masalahnya ada pada orang tua yang gagal mendidik anak² nya.

Apakah anda adalah orang tua yang gagal? Berkacalah pada diri anda dan cerminan anda, yaitu anak anda, ketika bagaimana dia bersosialisasi dengan teman² nya!

Pada tahun 2020 yang lalu saya juga pernah mereaksi dari aksi bullying juga, lagi² dilakukan oleh anak dibawah umur, postingan saya tentang itu bisa dibaca pada tautan dibawah ini.

Baca juga: Bullying

Di sana saya juga menceritakan pengalaman saya yang soal bullying.



Opini tiap orang pasti berbeda-beda, apalagi jika hal yang sama ditanyakan ke tipe orang reaktif, bermental jagoan, merasa mampu, menganggap semua orang sama, berani, tukang kelahi, pasti opininya berbeda. Yang pasti tidak akan mau disalahkan, itu jelas! Mereka akan membela diri dengan dalil² nya.

Ditunggu opini kalian dikolom komentar apabila merasa tidak sesuai dengan pendapat ini. Saya ingin tahu cara pandang orang melihat kasus ini, terutama mereka yang sudah jadi orang tua. Apakah terima jika disalahkan dalam kasus seperti ini? -cpr

#onedayonepost
#opini
#postingpribadi
#bullying
#orangtuatanggungjawab

Posting Komentar

0 Komentar