Selalu Ada Alasan Untuk Setiap Kebijakan Pemerintah

Belakangan ada hal yang menggelitik yang membuat saya sebagai warga negara dibuat tertawa dengan perilaku kepala negara dan mantan kepala negara. Intinya sebenarnya, "ketersinggungan". Sedikit sensitif, apabila menyangkut sesuatu atau dijadikan pembanding atau perbandingan, dulu dan sekarang. Siapapun orangnya, selama manusia pasti akan bereaksi. Ini antar dua pribadi berbeda, bahkan kakak dan adik jika diperbandingkan, pasti akan menimbulkan reaksi.

Jika dilihat dari kacamata lain, bisa dibilang wajar juga membandingkan, dalam konteks positif. Karena, setiap kebijakan dengan catatan POSITIF tanpa ada tendensi usaha tertentu guna menguntungkan diri sendiri atau pihak lain, atau ketakutan membuat kebijakan pro rakyat, itu masih bisa dijelaskan, apa alasannya. Tapi jika kebijakan yang dikeluarkan ada tendensi negatif, saya rasa aksi reaktif itu sama seperti menutupi aib.

Jadi, apabila yang kita lakukan sebagai pemimpin ketika itu, memutuskan sesuatu, ada kebijakan yang diambil sudah benar, on the track, tujuan baik saat itu, tidak perlu terlalu reaktif menanggapi sesuatu. Karena, ada kewajaran pertanyaan awam warga negara pasti akan menanyakan hal yang sama? "Dulu tidak bisa, kenapa sekarang bisa?"

Reaksi yang disampaikan adalah seharusnya memberikan alasan yang logis. Karena akan selalu ada jawaban yang dikemukakan, atas keputusan yang pernah dilakukan. Tidak semua kebijakan pemerintah berkuasa saat itu, mampu dijelaskan kenapa. Setiap pemerintahan pasti melakukan itu, termasuk pemerintahan saat ini. Suatu saat, apa yang dilakukan (baca: kebijakan) saat ini akan jadi pertanyaan dimasa yang akan datang. Apalagi jika pemerintahan baru ke depannya mampu membuat standar lebih tinggi dari sebelumnya.

Tidak akan muncul pertanyaan, jika pemerintahan yang baru punya standar lebih rendah dari pemerintahan yang baru.

Hal ini yang harus disadari oleh mantan presiden atau oleh pemangku kebijakan yang pernah mengambil kebijakan. Menyadari, kelemahan dan kelebihan apa yang sudah dilakukan. Jika kelebihan tidaklah perlu disombongkan, karena apa yang baik pasti akan meninggalkan bekas yang baik. Menyadari kelemahan, tidak perlu ditanggapi dengan "membela diri", sampaikan saja alasan ketika itu bukan untuk "membela diri" yang akhirnya membuat rakyat atau warga negara yang menonton "panggung" negara jadi tertawa, seperti yang saya alami sekarang ini.

Pemerintahan atau presiden saat ini pun punya potensi melakukannya dimasa yang akan datang, tapi itu tergantung kepribadian figur dalam menghadapi kritik, sindiran akan kebijakan yang pernah dilakukan ketika memimpin dulu. Tinggal kita buktikan dimasa datang? Apalagi jika standar yang dibuat pemerintah atau presiden masa depan lebih tinggi lagi.

Sebagai negarawan, seharusnya sudah siap mendapatkan "serangan" dibandingkan dan diperbandingkan dengan sekarang atau masa lalu atau dengan apapun. Hendaklah reaksinya juga seperti negarawan terbaik.

Apa yang saya kemukakan ini melihat reaksi SBY yang merasa tersindir dengan statement Presiden Jokowi saat beliau berpidato dalam Workshop Nasional Anggota DPRD PPP di Hotel Mercure, Ancol. Menyoal kebijakan BBM satu harga kenapa tidak bisa diwujudkan dulu (baca: dianggap menyinggung pemerintahan era SBY) padahal subsidi BBM di masa itu cukup besar Rp 340 triliun. Saya yakin, SBY punya alasan tentang hal ini, jika memang kebijakan saat itu benar, pasti alasannya bisa diterima masyarakat.

Tidak semua setiap kebijakan itu bisa memuaskan semua rakyat dari berbagai kalangan, karena selalu ada saja ketidakpuasan. Karena tidak ada pemimpin yang sempurna bagi semua pihak. Selalu akan ada ketidakpuasan. Namun, ketidakpuasan ini bisa diukur, dimana salahnya, jika pemimpin itu benar, ketidakpuasan itu akan coba diberikan solusi. Pertanyaannya, apakah tiap pemimpin terpilih mampu melakukan itu dalam waktu periode kepemimpinannya?

Sama seperti pertanyaan banyak oposisi tentang kebijakan Jokowi tentang infrastruktur yang dibangun simultan dan utang pemerintah yang dianggap membengkak. Pasti akan jadi pertanyaan. Tapi, alasan itu sudah bisa dijawab dengan hal fisik yang sudah diciptakan, utang yang dilakukan harus ada bukti fisik yang dihasilkan. Nah, reaksi seorang negarawan diuji dari kritikan atau banding, membandingkan, diperbandingkan. Reaksi nya lah seperti apa? Hal ini baru bisa dijawab seiring waktu, sebaik apa mental negarawanan itu.

Hal lain yang membuat saya tertawa adalah reaksi yang dilakukan SBY melalui akun twiternya, yang terkesan "membela diri", dan memang membela diri. Beliau sepertinya tidak mau memaparkannya dimuka umum. Jadi, pertanyaan orang awam yang sudah jadi pertanyaan publik menurut dia tidak perlu diumbar dimuka umum. Karena menurut saya, itu dianggap menjatuhkan.

Padahal sih, tidak usah seperti itu, seharusnya sih ya calm down, kalau memang apa yang dilakukan dahulu sudah sesuai alasan yang tepat saat itu. Statement yang seperti ini:
"Saya mengikuti percakapan publik, termasuk di media sosial, menyusul pernyataan Presiden Jokowi yg salahkan kebijakan SBY 5 th lalu. Pak Jokowi intinya mengkritik & menyalahkan kebijakan subsidi utk rakyat & kebijakan harga BBM, yg berlaku di era pemerintahan saya. *SBY* *SBY* Saya minta para mantan Menteri & pejabat pemerintah di era SBY, para kader Demokrat & konstituen saya, TETAP SABAR. *SBY*,""
"Justru kita harus bersatu padu. Juga makin rukun. Jangan malah cekcok & beri contoh yg tak baik kepada rakyat. Malu kita. *SBY*. Tentu saya bisa jelaskan. Tapi tak perlu & tak baik di mata rakyat. Apalagi saat ini kita tengah menghadapi masalah keamanan, politik, & ekonomi. *SBY*,""

Memang balik lagi ke karakter pemimpin menghadapi kritikan, banding dan membandingkan dan dibandingkan. Apakah tenang atau reaktif? Tidak kaget sih kalau kenal SBY, bahkan ditengah pemerintahannya, aksi seperti ini sering kita lihat. Maklum meski beliau seorang militer, namun sangat perasa. Jadi apapun yang disangkutpautkan, disindir atau semacamnya selalu ditanggapi dengan reaktif ala SBY.





Saya sendiri pun pengen tahu, apa sih alasan pemerintahan lalu menjawab soal hal ini? Akankah dijawab dalam perkembangan politik ke depan? Mungkin perkembangannya akan saya tampilkan di kolom komentar di bawah.

Namun satu pendapat pribadi saya, hmm, terlalu seperti anak kecil untuk menanggapi hal seperti ini sebagai figur yang pernah memimpin negara, calon-calon negarawan. Karena kembali lagi, saya pun akan menggunakan perbandingan figur lain seperti mantan presiden BJ Habibie yang masih juga dipertanyakan kenapa Timor-timor bisa lepas, pada awalnya saya mempertanyakan kebijakan itu, tapi seiring waktu saya bisa memahami itu. Tapi reaksi beliau saya bilang tidak seperti anak kecil, beliau sudah menjadi negarawan. Begitupun Megawati, banyak hal kebijakannya yang dipertanyakan soal menjual aset negara ketika itu. Bahkan sampai saat ini saya belum dapat jawaban. Namun beliau tidak reaktif, mungkin karena karakternya begitu. Meski tidak reaktif, saya masih belum menganggap beliau negarawan, karena aksi "diam" nya.

Nah sekarang tinggal kita lihat aja bagaimana perkembangan ke depan, semua kebijakan punya alasan yang berhubungan dengan faktor-faktor yang terjadi saat itu. Apa saja itu ya hanya pengambil kebijakan yang bisa menjelaskan. Tinggal dipaparkan dengan gamblang. Tinggal, bagaimana nanti masyarakat mencerna hal tersebut, karena tidak bisa dengan selali dua kali, maklum tingkat literasi bahasa warga kita cukup rendah. Apalagi jika sudah disusupi tendensi pengaruh-pengaruh politik kekuasan dan dukung-mendukung.

Saya cukupkan kegelian melihat twit dari sang mantan terhadap jaman now. Yang pasti situasi ini akan dimanfaatkan oposisi yang tidak kreatif untuk memanfaatkan keadaan. Mari kita amati saja kedepannya.cpr.

Posting Komentar

1 Komentar

  1. Wakil Ketua Umum Partai Demokrat Syarief Hasan mengklaim subsidi Bahan Bakar Minyak (BBM) di era Presiden keenam RI Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) mampu menyejahterakan masyarakat.

    Ia menganggap kebijakan tersebut berhasil sebab mampu mencapai indikator utama, yaitu peningkatan kesejahteraan rakyat.

    "Kebijakan itu paling penting indikatornya berhasil atau tidak adalah penurunan kemiskinan dan peningkatan kesejahteraan. Dan sudah terbukti (di era SBY)," kata Syarief di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Jumat (18/5/2018).

    Sumber: kompas.com

    BalasHapus

Tinggalkan jejak, jika anda mampir ;p Terima kasih atas kunjungannya - cocoper6