Membaca Fabel Perlu Pendampingan

Baru hari ini saya menyadari setelah 30 tahun saya lahir, dan 17 tahun mengenyam pendidikan sejak dasar hingga pendidikan tinggi. Menyadari tentang apa?

Awalnya saya ditunjukan atasan saya soal sebuah video yang disebarkan di media sosial. Video itu menceritakan lalu lintas di jalanan di luar negeri, entah di Jepang atau Korea, yang jelas masih wilayah Asia. Divideo itu dikisahkan, lalu lintas sedang padat merayap. Situasi ini terjadi karena ada laka di depannya.

Sebenarnya, kondisi lalu lintasnya tertib, berbaris rapih. Sepertinya lalu lintas kendaraan terjadi di jalan bebas hambatan. Tidak lama, semua mobil yang mengantri dalam barisan kemacetan bermanuver ke kanan. Yang di sisi kanan bergeser ke kanan dan yang di kiri bergeser ke kiri. Pada awalnya saya tidak menyadari apa maksud dari semua kendaraan berlaku demikian. Selang beberapa detik, di video ditunjukan ada dua mobil melintas di tengah, di jalur tersisa dari hasil saling menggeser tersebut. Jadi, semua pengendara mobil sengaja membuat jalur terbuka untuk kendaraan kepolisian dan jalur evakuasi.

Hmm, suasana yang jelas berbeda jika terjadi di Indonesia. Yang terjadi adalah crowded, banyak pengendara yang memaki, marah dan lain-lain. Malah situasi yang lebih parah membuat traffic jadi tidak bisa bergerak sama sekali atau mengunci.

Dari video tersebut, ada pertanyaan, apa sih yang membuat situasi berbeda ini? Banyak faktor sih sebenarnya. Namun di sini saya hanya ambil "seupil" contoh atau mungkin hubungan, apa si sebenarnya yang membuat mental bangsa kita seperti itu.

Fabel adalah cerita yang menceritakan kehidupan hewan yang berperilaku menyerupai manusia, meski terkadang juga memasukan karakter manusia dengan porsi lebih sedikit. Fabel merupakan cerita fiksi atau hayalan.

Sejak kita kecil, kita pasti tidak asing dengan yang namanya dongeng, fabel atau cerita-cerita yang mengisahkan tentang interaksi binatang atau tumbuhan atau juga manusia. Dongeng atau fabel atau kisah-kisah fiksi itu dianggap sebagai pembelajaran bagi anak-anak usia dini, karena dianggap punya "nilai" untuk mengajarkan sesuatu dan sekaligus membuat anak-anak usia dini menjadi ingin tahu, untuk belajar membaca atau memahami sebuah cerita atau kisah.

Cerita-cerita ini bisa saja dibuat untuk jadi bahan bacaan anak, untuk menarik minat baca anak-anak diusia dini.

Namun, tanpa kita sadari dongeng atau fabel atau kisah-kisah tersebut tidak semuanya memberikan atau membagikan nilai-nilai yang baik. Justru kalau kita jeli, dan memahamin apa yang dikisahkan, diceritakan tersebut punya dampak yang kurang baik jangka panjang, jika tidak ada peran "penerjemah" yang baik ketika menjadi perantara anak membacakan kisah-kisah tersebut atau mendampingi anak ketika membaca cerita-cerita tersebut.


Ilustrasi

Sebagai contoh, saya ambil cerita tentang seekor kancil yang terjebak dalam sebuah lubang. Suatu ketika, ada kebetulan seekor harimau lapar melintas di lubang itu dan si harimau melihat ada kancil di sana. Bagi harimau yang lapar, kancil adalah santapan tanpa perlu berusaha lebih untuk menangkap dan mengejar. Tidak beberapa lama, ada seekor gajah pun melintas lubang itu, si gajah melihat ada harimau di sana. Si kancil sadar, bahwa hidupnya sedang dalam bahaya. Akhirnya dengan akal cerdik (baca: licik) kancil, kancil mengarang cerita, bahwa sebentar lagi akan terjadi bencana besar, itu kenapa si kancil bersembunyi di dalam lubang itu. Cerita fiktif si kancil ini membuat si harimau percaya, bahkan si gajah yang tadinya sekedar melintas mendengar kisah fiktif si kancil jadi percaya. Si gajah pun mendekat ke lubang itu. Si kancil berusaha meyakinkan gajah dan harimau. Akhirnya mereka pun percaya dan berusaha untuk turun ke dalam lubang itu. Gajah pun berhasil turun ke dalam lubang, tidak lama harimau pun ikut turun ke dalam lubang. Si kancil sadar bahwa tubuh gajah yang besar akan membantu dia bertolak melompat ke atas, apalagi dibantu ada si harimau yang masih ada di atas tubuh si gajah. Kancil pun memanfaatkan tubuh harimau untuk melompar keluar naik ke atas. Kancil pun selamat dan berhasil meloloskan diri. Sadar keduanya telah tertipu oleh kancil, mereka berdua pun kecewa berat. Kekecewaan ini membuat perut lapar harimau makin menjadi-jadi, karena di sana hanya ada gajah, harimau berusaha memakan gajah, gajah pun berusaha membela diri, akhirnya mereka terlibat perkelahian demi untuk bertahan hidup. Si kancil dengan senangnya, pergi meninggalkan mereka berdua.

Kisah di atas sangat sederhana, tapi punya makna atau nilai-nilai yang bisa diajarkan banyak hal kepada yang membaca atau mendengar cerita tersebut. Kisah di atas bisa berbeda-beda, tidak murni sama seperti itu ya. Jadi kalau ada yang pernah membaca kisah serupa, dan sedikit berbeda alurnya, ya harap dipahami, ini hanya contoh.

Pada umumnya, kebanyakan anak hanya akan mengambil nilai atau makna soal kecerdasan si kancil, yang ketika dalam keadaan terdesak bisa berpikir cerdik untuk kabur menyelamatkan diri. Tidak salah sih, memang benar, kancil itu cerdik melihat situasi.

Tapi, tunggu dulu pemahaman seperti ini perlu mendapat sentuhan agar tidak dipahami secara mentah-mentah begitu saja.

Mulailah membedah kisah tadi, guna mendapatkan pesan moral sesungguhnya, tidak hanya sekedar mengajarkan bagaimana kecerdikan digunakan, tapi ada hal lain yaitu sosial, bukan egoisitas. Kecerdasan yang dimiliki kancil lebih cocok disebut kelicikan, karena dia memanfaatkan untuk keuntungannya sendiri.

Kita hidup bermasayarakat, oleh karena itu kita pun harus bisa membaur dalam masyarakat, meskipun dalam masyarakat ada si jahat dan si baik. Sosok jahat diibaratkan si harimau dan sosok baik diibaratkan si gajah. Meskipun ada si jahat di sana, tapi bukan berarti kita membalas kejahatan dengan kejahatan. Sebab yang diajarkan dalam ilmu agama yang saya yakini tidak seperti itu, hukuman tetap ada, tapi datang dari yang lain, bukan kita.

Kemudian, gajah adalah yang tidak tahu apa-apa, dia datang melintas di sana, namun karena 'permainan' si kancil, si gajah terperdaya hingga akhirnya masuk ke lubang dan tidak bisa keluar, bahkan harus berjuang bertahan hidup untuk membela diri diserang si harimau.

Dari situ kita bisa refleksikan dalam kehidupan sehari-hari, terkadang kita bertindak seperti kancil, yang berusaha menghalalkan segala cara demi kepentingan pribadi, tanpa memperdulikan orang lain. Entah orang lain yang jahat atau baik, malah kecenderungan ketika ada orang baik kita lebih sering memanfaatkan kebaikan orang.

Kebiasaan ini terjadi secara tidak sadar dalam sikap dan kepribadian kita masa kini. Terbukti dengan kebanyakan karakter manusia masa kini, yang cenderung egoistis dan antisosial. Meski ada media sosial, namun sifat tingkah lakunya menunjukan hal yang sebaliknya. Menurut saya, itulah akibat pemahaman yang salah dan kurangnya menelaah kisah-kisah fabel, dongeng atau kisah-kisah fiksi lain yang kita konsumsi sejak kecil. Sehingga, menganggap apa yang dilakukan kancil adalah benar dan wajar dilakukan.

Di sinilah peran dan tugas orang tua, guru atau pendamping lain, ketika menemani anak diusia dini ketika mereka mulai belajar menyerap banyak hal, terutama tentang nilai-nilai yang baik dari sebuah kisah fiksi.

Pertanyaannya, bagi yang sudah jadi orang tua, sudahkah mulai melakukan peran ini? Atau mungkin, kita sebagai orang tua pun tidak mampu menelaah sebuah kisah fiksi ke dalam pesan-pesan moral yang jauh lebih baik? Malah justru kita sebagai orang tua menganggap hal tersebut wajar. Maklum orang tua masa kini adalah cetakan-cetakan masa lalu yang menganggap semua itu wajar-wajar saja.

Saya sendiri saja baru menyadari saat ini. Namun saya beruntung bisa memahami apa yang baik, yang seharusnya dipahami dari sudut pandang lain, yang lebih memberi manfaat lebih baik, bagi diri sendiri dan sesama.

Jadilah cerdas dan cerdik yang bermanfaat bagi sesama. Janganlah jadi licik yang justru memanfaatkan orang lain hanya demi kepentingan diri sendiri.cpr.

Posting Komentar

2 Komentar

  1. Jadi Inger jaman kecil demen banget baca cerita hewan. Ini Bagus sih buat pertumbuhan anak tapi setuju mesti tetep didampingi orang tua.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya, ternyata ya tana kita sadari, meski kisahnya nampak sederhana dan mudah dipahami, namun perlu peran orang tua di sana menemani anak membaca. Karena, memang sosialisasi primer ya dimulai dari keluarga.

      Situasi yang jarang ditemui sekarang, cetakan generasi muda sekarang lahir dan besar karena media sosial, tanpa perang orang tua, sehingga cetakan manusia2 nya jadi egoistis.

      Hapus

Tinggalkan jejak, jika anda mampir ;p Terima kasih atas kunjungannya - cocoper6