Hal-hal Yang Buat Tidak Nyaman di Sepanjang Margonda

Sepanjang jalan Margonda Raya, Depok makin hari makin padat saja. Kiri kanan jalannya kini diramaikan kedai, cafe atau warung-warung nongkrong yang menyediakan menu kuliner yang beragam, belum lagi ada mini market yang menjamur. Wajar saja, pengusaha kuliner dan mini market melihat potensi Jalan Margonda yang selalu ramai, bahkan cenderung padat. Di samping Jalan Margonda adalah jalan utama menuju Depok, di sekitar Margonda  ada kampus besar, seperti UI, Gunadarma, BSI serta lembaga-lembaga bimbingan belajar lain. Kampus-kampus ini punya banyak mahasiswa yang pasti tertarik untuk sekedar nongkrong atau wisata kuliner di kedai, cafe atau warung-warung makan tersebut dan juga kemudahan berbelanja. Belum lagi penglaju, pekerja dari arah Jakarta yang ingin mengisi perut sepulang kerja sebelum sampai rumah bisa memanfaatkan tempat kuliner yang beragam di Margonda Raya ini.


Makin menjamurnya beragam tempat kuliner dan mini market di Margonda ini juga jadi peluang usaha beberapa profesi informal lain, yang menurut saya profesi mereka lebih banyak mengusik kenyamanan. Ini pendapat pribadi saya yang sangat terusik dengan profesi informal yang muncul dari banyaknya tempat kuliner dan mini market sepanjang Margonda ini. Profesi informal yang saya maksud ini antara lain:

  • Tukang Parkir Liar
Seperti yang saya katakan tadi di atas, banyaknya tempat kuliner dan mini market di Margonda ini dimanfaatkan oleh segelintir orang untuk mengais rejeki instan dengan meminta pungutan tidak resmi kepada kendaraan yang diparkir di sepanjang Jalan Margonda, tepatnya ya di depan kedai, cafe atau warung kuliner, bahkan mini market, ATM yang tersedia. Pungutan yang mereka minta ke pengunjung ini jelas tidaklah resmi, karena tidak ada tanda/ bukti retribusi. Apa yang  mereka lakukan nampak "liar" begitu saja. Mereka pun tidak berseragam, hanya bermodalkan peluit. Bahkan mereka pun tidak bermodalkan recehan untuk kembalian. Kalau pengunjung memberi lebih terkadang mereka tutup mata, anggap uang kembalian itu "pemberian cuma-cuma". Parahnya lagi, atitude mereka yang tidak pantas ketika pengunjung tidak memberikan bayaran parkir. Saya lebih senang menyebut mereka "tukang palak" karena atitude mereka ini. Memang ada pula yang ramah dan saya sangat hargai itu.
Tarifnya yang mereka kenakan dahulu hanya seiklasnya, dari jaman Rp 500,00 masih bisa mereka terima, kemudian naik menjadi Rp 1.000,00, sekarang naik menjadi Rp 2.000,00. Terkadang jika kita membayar hanya Rp 1.000,00 mereka memasang muka masam. Inilah yang jadi awal bibit-bibit saya katakan mereka sebagai "tukang palak".
Paling menyebalkan adalah ketika kita hanya mampir ke mini market untuk membeli sesuatu atau ambil uang di ATM misalnya dan tidak lama, tetapi kita harus membayarkan Rp 2.000,00, padahal barang yang kita beli tidak sebesar pungutan liar itu. Ini lah yang jadi sangat menyebalkan. Apabila tidak diberi, tukang parkir liar ini akan bertindak tidak mengenakan. Ini jadi sumber ketidaknyamanan yang pertama saya sebut.
Solusi yang baik mungkin bisa mengikuti cara parkir meter seperti yang dilakukan Pemprov DKI Jakarta. Parkir meter bisa jadi solusi, mengurangi makin menjamurnya tukang parkir liar. Atau mereka ini dibina lebih lanjut oleh dinas terkait.
  • Pengamen
Hal yang membuat tidak nyaman selanjutnya adalah pengamen jalanan. Pengamen ini beragam, ada yang memang musisi jalanan, anak-anak jalanan yang berlagak bak musisi jalanan mulai dari usia anak-anak, remaja, bahkan sampai yang sudah berumur, dangdut gerobak, ondel-ondel boneka, hingga anak-anak punk yang sekedar mengamen alakadarnya untuk dapat uang. Ruang gerak mereka ini sebenarnya tidak menyasar tempat-tempat kuliner, justru sasaran mereka adalah angkutan umum dan perempatan lampu lalu lintas, U-turn (jalur lambat). Mereka mulai melihat tempat kuliner yang mulai ramai sebagai potensi mengais rupiah.
Meski begitu, yang saya amati, pengamen-pengamen ini juga ada areanya masing-masing untuk bagi hasil, jadi misalkan ada pengamen baru datang mengamen di daerah pengamen lama, biasanya pengamen lama datang mengusik. Kemudian hasil pengamatan lainnya, musisi jalanan berusia 25-35 menyasar tempat kuliner, untuk pengamen anak-anak hingga remaja tanggung, terumasuk anak-anak punk umumnya mereka menyasar angkutan umum.
Intinya apa yang mereka lakukan ini membuat ketidaknyaman sosial. Sebenarnya jika mereka tidak mengganggu tidak ada masalah, namun makin ke sini jumlah mereka semakin banyak. Akhirnya muncul persaingan untuk mendapakan rupiah. Lama kelamaan, pengamen-pengamen ini mulai menggunakan cara pemaksaan untuk mendapatkan uang. Memang mereka selalu menggunakan kata-kata pengantar yang nampak sopan, tetapi intinya adalah pemaksaan. Jika kita tidak memberikan uang, mereka tak segan berkata kasar sambil bergumam, dan memasang muka masam.
Paling menyebalkan adalah ketika sedang asyik menyantap kuliner, datanglah satu orang pengamen, selang beberapa menit datang lagi, lagi datang, datang lagi, bahkan jika dihitung dalam beberapa menit kita habiskan makanan sudah ada 5-7 pengamen mungkin. Dan saya lihat mereka ini silih berganti saja, karena saya pernah menemukan pengamen yang sama datang ke tempat yang sama bahkan ketika saya masih di sana. Menyebalkan!!!
Pemerinta Kota Depok sepertinya harus mencari solusi untuk masalah ini, "pembersihan" rutin harus dilakukan, karena jelas hal ini jika dibiarkan akan semakin mengganggu kenyamanan. Ketegasan aparat dinas terkait harus jadi ujung tombak, jangan hanya panas-panas tai kucing saja.
  • Pengemis
Hal lain yang tidak kalah mengganggu adalah profesi pengemis, termasuk manusia gerobak. Sama seperti pengamen, profesi pengemis ini menyasar lokasi yang sama yaitu tempat-tempat kuliner, angkutan umum dan perempatan lampu lalu lintas, U-turn (jalur lambat), JPO (fasilitas umum).
Pemerintah Kota Depok juga harus membenahi masalah ini, karena sama seperti pengamen, jika dibiarkan akan menimbulkan permasalahan sosial lain. Pada intinya, kenyamanan sosial dikorbankan.
  • Pedagang Asongan
Pedagang asongan sebenarnya menurut saya tidak begitu mengganggu, tetapi perlu ada pembinaan bagi mereka, agar mereka bisa diarahkan ke lokasi yang lebih baik. Terkadang pedagang asongan ini berjalan, keliling, atau bahkan menjajakan dagangan di perempatan yang mana akan mengganggu lalu lalang lalu lintas yang sudah padat. Apa yang mereka lakukan ini sudah baik, positif, berusaha untuk mendapatkan rupiah, meski begitu apa yang positif ini harus diarahkan agar tidak menjadi masalah baru kedepannya. Peran pemerintah Kota Depok harus ada di sana.

Inilah catatan saya, catatan tentang pendapat pribadi tentang beberapa profesi yang jadi sumber ketidaknyamanan di Margonda yang semakin ramai. Semua ini haruslah jadi perhatian pemerintah terkait agar pertumbuhan "mereka" ini tidak semakin menjamur. Setidaknya ini jadi tantangan bagi pemerintah Kota Depok untuk menciptakan pemerataan pendapatan, sehingga ketika kesempatan kerja bisa mereka nikmati mereka, dan mereka yang seharusnya masuk diusia sekolah bisa menikmati masa sekolahnya tanpa harus pusing dengan urusan perut, permasalahan sosial yang menimbulkan ketidaknyaman ini bisa teratasi. Kini masing-masing pemerintah daerah sedang berlomba bagaimana mensejahterakan masyarakatnya, masa Kota Depok yang dekat dengan ibukota negara tidak mampu bergeliat membuktikan jajarannya mampu melakukan yang terbaik. Ini adalah pertanyaan yang harus dijawab calon kepala daerah periode selanjutnya, karena pimpinan daerah periode sekarang ini tidak mampu berbuat banyak meski menghabiskan dua periode. cpr.

Posting Komentar

0 Komentar