Habis Hari Raya, Maksiat Lagi

Ramai headline berita pagi ini, KPK berhasil menangkap tangan kasus suap yang berhubungan dengan minyak dan gas. Kebetulan orang yang ketangkap KPK adalah mantan wamen ESDM yang awal Januari 2013 lalu menjabat ketua SKK Migas, sebuah lembaga baru yang sama saja fungsinya menggantikan BP Migas yang dibekukan Mahkamah Konsuntitusi karena dianggap menyalahi UUD. Menjadi heboh karena uang suap yang jadi bukti tangkap tangan melebihi rekor kasus suap tangkap tangan yang selama ini KPK tangani. Kemudian yang kena adalah pimpinan lembaga pemerintah pula, yang mana fungsi kinerja lembaga ini masih diperdebatkan.

Kalau buat saya sih ironis sekali. Kenapa? Ya ironis, kasus tangkap tangan ini mencuat baru beberapa hari setelah momen Idul Fitri yang dipercaya banyak orang bahwa semua dosa telah dibersihkan di hari nan suci dan fitri tersebut. Baru selesai dibersihkan dosa-dosanya eh sudah berbuat dosa lagi. tapi memang itulah contoh kasus yang bisa diungkap bahwa seperti itulah yang terjadi di masyarakat kita. Ketika hari raya semua berdandan dengan semua yaang serba putih dan nampak bersih, tetapi setelah hari raya berlalu apa yang buruk kembali dilakukan. Kebetulan saja kasus itu terungkap, tapi sebenarnya banyak di daerah kasus-kasus serupa masih aman terkendali bebas dari endusan penegak hukum.

Saya mungkin termasuk ke dalam kelompok orang yang senang melihat orang  susah, terutama mereka yang terjerat kasus korupsi dan atau kasus suap yang merugikan banyak orang dengan mengkebiri rasa keadilan masyarakat. Sampai celoteh kasar keluar, “Selamat menikmati suasana bui dengan tidur beralaskan sarung yang kau pakai ibadah beberapa hari lalu!” Kesenangan saya melihat orang macam ini susah karena ketika melihat tingkah yang bersangkutan sebelum terkena kasus. Ketika yang bersangkutan diwawancara media soal permasalahan migas yang terjadi di Indonesia, yang bersangkutaan seperti tutup mata dan mengatakan tidak ada masalah yang berarti di lembaganya, dan semua berjalan sebagaimana mestinya. Apalagi ketika yang bersangkutan membela mati-matian lembaganya ketika akan dibekukan oleh MK, ketika itu masih BP Migas. Tapi kini apa yang dikatakannya itu semua “sampah”, hanya tipuan kata saja, dan ternyata yang bersangkutan termasuk agen perusak bangsa. Patut disayangkan pula, yang bersangkutan nampak tak merasa bersalah atas apa yang sudah dipergoki KPK, mungkin jika KPK tak mengendus kasus ini, yang bersangkutan akan enjoy seperti penjahat berdasi yang dengan enaknya melemparkan senyum dimana-mana seakan-akan orang yang bersih.

Kasus suap dan korupsi masih menjadi bahaya laten di negeri ini. Sayangnya masih sedikit kasus-kasus serupa yang bisa diungkap dengan bukti yang gamblang di depan mata. Kasus lain yang beredar masih bisa dimanfaatkan pelaku berserta pengacaranya untuk berkelit dengan alasan karena kekurangan bukti untuk menjerat yang bersangkutan. Mereka yang menjadi agen perusak bangsa nyatanya enjoy menikmati hidupnya. Kenapa? Ya iya, ibaratnya setahun berbuat hal yang tidak baik, hanya dengan mudah dihapuskan dalam waktu 30 hari plus dua hari hari raya, dengan mengucapkan mohon maaf lahir batin, seakan-akan semua dosa yang selama ini dibuat sirna, dan setelah hari raya kembali melakukan hal yang tidak baik itu lagi.

Ya inilah ironisnya kehidupan yang terjadi sekarang ini. Agama bukannya menjadi alat perbaikan mental dan moral seseorang malah menjadi penghapus sakti yang bisa digunakan seenaknya sesuai kehendak. Ya melakukan korupsi atau memberi dan menerima suap tidak masalah, asalkan dana hasil korupsi atau suap itu bisa disumbangkan atau dizakatkan nanti di hari raya, supaya hartanya bisa dinyatakan bersih dan berkah jika dikonsumsi. Sepertinya suatu pemahaman agama yang salah. Dan tidak pernah diluruskan dengan baik.

Parahnya lagi kejahatan laten ini dilakukan mereka yang notabene orang pintar, dengan gelar kependidikan yang tidak sedikit. Masih percayakah pada orang pintar macam mereka? Kepintaran yang mereka miliki toh lebih banyak digunakan untuk ‘minteri’ orang lain. Mulai sekarang, kita harus berhati-hati pada orang pintar dengan titel doktor, profesor, guru besar atau tetek bengek gelar yang menandakan kepintaran seseorang, nyatanya hal tersebut tidak berguna sama sekali untuk kemashlahatan orang banyak justru lebih banyak merugikan. Lebih baik mencari orang yang sederhana tetapi punya moral dan mental yang baik, tidak sekedar berwacana namun pintar beraksi mengerjakan bagaiamana yang baik dan seharusnya dilakukan.

Sekarang, kita tunggulah beberapa waktu ke depan, siapa lagi yang akan terjerat kasus hukum dengan judul yang sama korupsi dan suap. Lalu untuk kasus bidang apa lagi nanti yang akan terungkap? Lalu nominal yang tertangkap tangan atau yang akan merugikan negara berapa rupiah ya? Saya akan menantikan berita tersebut dan akan tertawa puas melihat aksi mereka yang tertangkap tangan. Syukurin dan rasakanlah suasana bui!

Posting Komentar

2 Komentar

  1. Artikelnya menarik namun perlu diluruskan. Tidak ada hubungan antara hari raya dengan berbuat maksiat (korupsi). Perilaku korupsi biasanya sudah mendarah daging bagi pelakunya dan tidak mengenal waktu. Tergantung peluang dan niat dari si pelaku sendiri.

    Koruptor juga tidak bisa kita kaitkan dengan agama karena agama melarang kita mengambil barang yang bukan milik kita. Tuhan telah memperingatkan bahwa apa yang masuk ke lambung yang bukan hak kita kelak menjadi bahan bakar api neraka di kemudian hari.


    Zakat atau sedekah juga tidak bisa dijadikan alasan untuk korupsi dengan alasan "mau mencuci harta tsb" karena Tuhan memperingatkan harta yang kita dapatkan akan ditanyakan "darimana didapatkan dan digunakan untuk tujuan apa". Jadi alasan melakukan zakat sehabis korupsi tidak masuk dalam hitungan ini.

    Korupsi tidak bisa dikaitkan dengan agama tertentu namun tergantung dengan komposisi masyarakat. Semakin banyak penganut agama tertentu di suatu wilayah maka peluang melakukan perbuatan kurang baik juga semakin besar (ingat kurva statistik/distribusi normal).

    Makanya di daerah seperti Aceh pemeluk Islam berpotensi lebih besar melakukan hal kurang baik. Sebaliknya daerah di Toraja atau Manado, prosentasi umat Protestan lebih tinggi, sementara di NTT (termasuk Flores) atau Irian, prosentasi penduduk yg beragama katolik pasti lebih tinggi berbuat hal tsb dibanding agama lain.


    Dalam skala negara, pelaku korupsi yg ada di Indonesia kebanyakan muslim, di Philipina kebanyakan Katolik (termasuk presidennya), china kebanyakan komunis, Thailand kebanyakan budhist India adalah hindu, dan seterusnya.

    Oleh karena itu sepertinya tidak tepat kita "mengkambing hitamkan" Idul Fitri atau hari raya lain, seperti natal, galungan, waisak atau Cap Go Meh untuk mendiskreditkan perbuatan koruptor.

    Yang perlu kita lakukan adalah cegahlah hal tsb terjadi. Mulailah diri sendiri. Jauh lebih mudah mengubah diri sendiri daripada mengubah orang lain. Apakah kita sudah menerapkan perilaku yang jujur? Apakah kita tidak memanfaatkan orang lain. Apakah kita tidak menggunakan fasilitas yang bukan haknya kita. Tentulah hanya kita yg bisa menjawabnya.

    Salam.

    BalasHapus

Tinggalkan jejak, jika anda mampir ;p Terima kasih atas kunjungannya - cocoper6