Waktu berlalu begitu cepat, tidak
terasa sudah dua tahun saya menjalani hidup di ibukota Jakarta. Sebenarnya
tidak murni di Jakarta, karena saya memilih tinggal di daerah penyangga
ibukota, yaitu Kota Depok, namun untuk aktivitas sehari-hari saya sering
bersinggungan dengan Kota Jakarta. Maklum saja, saya bekerja sehari-hari selalu
bersinggungan dengan kondisi lalu lintas Jakarta yang terkenal ruwet dan
semrawut.
Sejak dua tahun lalu memang kondisi
Jakarta memang sudah macet dan semrawut, bahkan dari sejak dulu. Sangatlah
kaget ketika pertama kali menginjakan kaki di ibukota ini. Suasana lalin yang
begitu ramai bahkan cenderung padat, ketidakteraturan selalu menghiasi jalanan
kota besar yang jadi ibukota negara ini. Jauh berbeda dengan situasi lalin di
kota lain di daerah. Memang jelas tidak seimbang membandingkan kota kecil
dengan kota sekelas ibukota. Namun ada nilai yang bisa atau pantas
dibandingkan, yaitu soal kedisiplinan serta ketertiban para pemakai jalan.
Kedisiplinan dan ketertiban
penngguna jalan di Jakarta jauh dari kata disiplin dan tertib. Jauh berbeda
dengan pengguna jalan yang ada di daerah. Memang tidak menutup kemungkinan juga
pengguna jalan di daerah ada pula yang tidak disiplin dan tertib dalam berlalu
lintas. Namun yang saya jumpai adalah orang di daerah lebih takut berbuat salah
atau melanggar dibandingkan orang-orang yang ada di Jakarta. Saya sedang
membandingkan daerah-daerah di Jawa Tengah yang kebetulan saya melintas atau
beberapa hari singgah di sana.
Jakarta tidak pernah lepas dari yang
nama nya kemacetan, karena kemacetan ini lah yang terkadang jadi kondisi
semrawut. Terkadang menjadi sulit membedakan sebab-akibatnya, apakah macet dulu
baru semrawut, atau semrawut dahulu baru macet. Karena kompleksitas kondisi
lalin di Jakarta membuat saya sulit membedakannya. Jakarta macet terjadi karena
ketidakdisiplinan dan ketidaktertiban pengguna jalannya. Tetapi Jakarta ini
memang sudah sampai pada taraf tertinggi antara perbandingan volume kendaraan dengan
volume jalan, sehingga timbul namanya macet.
Pikiran spontan yang terlintas ketika
saya sering mengalami kondisi over crowded di jalanan, “tertib = macet”. Sebuah
pemikiran yang aneh, koq kenapa perilaku tertib malah menimbulkan macet. Alasan
saya berpikir demikian karena, kalau “tidak tertiib = macet” itu sudah biasa
terjadi. Justru malah yang terjadi sekarang adalah “tertib = macet’.
Coba saja lihat di sebuah
persimpangan yang ada lampu merahnya. Di sana sudah diberi marka berupa garis
batas berhentinya kendaraan. Karena volume kendaraan yang tinggi, terkadang
garis batas atau marka ini diabaikan para pengendara baik motor maupun mobil.
Mereka kerap berhenti melewati dari garis tersebut. Kenapa, karena kalau mereka
tertib berhenti di belakang garis marka itu kondisi lali di belakang garis
dijamin menumpuk, begitu juga akan mengekor ke belakang, hal ini menimbulkan
yang namanya macet. Situasi ini bisa kita lihat sehari-hari. Inilah yang saya
katakan “tertib = macet”, karena kalau “tidak tertib pun sudah pasti macet”
jadi buat apa lagi tertib, toh sama saja tetab merasakan macet. Apa yang saya
tulis ini bukan mengajarkan untuk kita tidak tertib, namun hanya melihat
sesuatu yang terjadi di lapangan adalah demikian.
Awalnya saat menginjakan kaki ke
lalu lintas Jakarta yang padat ini saya kaget. Begitu tidak displin dan
tertibnya pengguna jalan di sini. Ketika saya berhenti di sebuah persimpangan
yang ada lampu merahnya, saya berhenti di belakang garis stop, namun kendaraan
di belakang saya sibuk membunyikan klakson agar saya maju untuk memberi jalan kendaraan
yang ada di belakang saya yang menyodok ke depan, padahal jelas saat itu lampu
lalu lintas menunjukkan cahaya merah yang artinya berhenti. Otomatis saya
tergusur ke depan dan akhirnya melanggar garis marka. Kemudian soal berhenti di
tikungan ke kiri mengikuti lampu lalu lintas. Padahal aturannya sudah jelas
sejak diberlakukan undang-undang yang baru,bahwa berbelok ke kiri mengikuti
lampu lalu lintas kecuali diarahkan oleh tanda lain. Kenyataannya aturan ini
dilanggar, saya pun mengalami diklakson kendaraan di belakang saya yang ingin
berbelok ke kiri. Kini setiap melewati tikungan ke kiri, ketika saya rasa aman
(dari kendaraan lain dan petugas) saya memilih untuk langsung berbelok, karena
kalau tidak arus kendaraan di belakang akan terhenti dan timbulnya macet.
Masih banyak lagi kenyataan di
lapangan yang jadi pembenar bagi saya kalau “tertib = macet”. Terlalu panjang
jika disebutkan satu-persatu. Kenyataan yang lebih parah lagi memang ketidakdsiplinan
dan ketidaktertiban ini juga sumber kemacetan yang terjadi. Hal ini sering
dilakukan oleh kendaraan umum, pejalan kaki, kendaraan pribadi baik motor
maupun mobil.
Bagi saya pribadi, untuk di jalan
raya, berusaha saja untuk tertib berlalu lintas. Kalau pun harus melanggar ya
sesekali tidak masalah asalkan tidak merugikan pengendara lain apalagi sampai
membahayakan, kemudian juga asalkan tidak terpantau petugas. Soalnya saya punya
pengalaman yang tidak mengenakan. Saya punya opini lain lagi bahwa “tertib dan
sanksi itu hanya apes-apesan”. Dulu waktu bulan-bulan awal saya di ibukota,
saya selalu berusaha tertib berlalu lintas, namun suatu ketika hanya karena
lalai sedikit saja, padahal itu jauh dari membahayakan pengendara lain saya
harus mendapat sanksi tilang. Bukan hal yang haram memang, jika kita kena
tilang. Namun yang jadi kekecewaan saya itu, ketika saya bertindak tertib tidak
apresiasi sama sekali, ketika salah sedikit padahal pada hal sederhana saya
harus kena sanksi. Bagi saya itu tidak adil, saya akhirnya jadi berpikiran lalu
buat apa saya tertib. Inilah juga yang jadi pelajaran lain bagi saya, “tertib
ketika dilihat petugas”. Cpr.
0 Komentar
Tinggalkan jejak, jika anda mampir ;p Terima kasih atas kunjungannya - cocoper6