Isu SARA di Pilkada? Apa kata dunia?

Beberapa waktu lalu, sebelum pilkada DKI Jakarta putaran kedua digelar, atmosfer persaingan antarcalon gubernur sangatlah panas. Berbagai cara dilakukan masing-masing tim sukses untuk menarik simpati pemilik suara, yaitu warga Jakarta. Adu visi-misi, adu janji, adu iklan, adu debat, sampai perang urat syaraf terjadi. Bahkan sampai kampanye hitam juga dilakukan, hanya saja sulit membuktikan siapa yang benar-benar melakukannya.
Tidak hanya itu saja yang diadu, bahkan sampai berbagai macam isu dikeluarkan untuk menjatuhkan lawan, dalam rangka menarik simpati pemilik suara. Isu yang paling merebak ketika itu adalah ketika digulirkannya isu SARA. Sampai kasus isu SARA ini melibatkan tokoh pemuka agama. Memang, pemuka agama tersebut mengaku bukan dari tim sukses salah satu calon. Kasus ini memang sampai ke tangan lembaga terkait, namun pada akhirnya dinyatakan tidak bersalah dan diselesaikan dengan damai. Meski begitu, isu SARA sudah merebak, dan sudah diamini bahwa isu ini dikeluarkan untuk menjatuhkan lawan.
Akhirnya pilkada DKI Jakarta pun digelar, hasilnya pun sudah bisa dilihat meski baru hasil sementara. Dari hasil itu, isu SARA yang bergulir beberapa waktu lalu tidak menjadi masalah bagi pemilih. Isu SARA hanya dianggap pepesan kosong belaka, karena masyarakat pemilih sudah cerdas, mereka tidak termakan isu-isu yang sebenarnya hanya menguntungkan pihak-pihak tertentu saja.
Hal ini pun dibuktikan oleh survei yang dilakukan lembaga survei, seperti yang diberitakan VOA Bahasa Indonesia, pada artikel yang berjudul Lembaga Survei Indonesia : Isu SARA Tak Pengaruhi Pilkada DKI. Berdasarkan survei yang dilakukan pemilih di Jakarta sebanyak 21% merupakan pemilih dengan pendidikan S1 ke atas, dimana mereka punya akses terhadap media sangat besar. Disampaikan di sini bahwa pemilih dengan tingkat pendidikan yang lebih baik, lebih kritis.
Menurut Direktur Eksekutif Komunikasi Lembaga Survei Indonesia Burhanudin Muhtadi, penggunaan isu SARA (Suku, agama, ras dan antar golongan) yang terjadi dalam kampanye pemilihan gubernur Jakarta tidak terlalu berpengaruh signifikan karena sebagian masyarakat Jakarta lebih mengevaluasi kinerja Fauzi Bowo sebagai Gubernur yang dinilai gagal dalam mengatasi permasalah Jakarta seperti kemacetan dan banjir.
Semua sudah terjadi, hasilnya sudah terlihat. Setidaknya hal ini bisa jadi pelajaran bagi tim sukses pemenangan siapa saja, entah walikota, bupati, gubernur atau bahkan pemilihan presiden. Isu-isu yang tak berbobot macam SARA tidak usah lagi digunakan. Setidaknya gunakanlah cara yang lebih elegan dan berpendidikan. Meskipun masyarakat Indonesia punya tingkat pendidikan yang tidak cukup baik, namun sebenarnya masyarakat Indonesia punya potensi untuk berpikir cerdas, kepada siapa suara mereka disalurkan. Apa kata dunia jika cara-cara ini masih dipakai untuk memenangkan pasangan calon pimpinan daerah atau pimpinan bangsa?
Sekarang ini yang diperlukan adalah kinerja nyata. Siapa yang tulus berpihak pada rakyat dan terbukti bisa memberikan kesejahteraan pada rakyat, disitulah suara rakyat ada. No SARA no Black Campaign! Jadilah tim sukses dan pemilih yang cerdas! Cpr.

Posting Komentar

2 Komentar

  1. Terbukti bukan, JokowiAhok menang dengan meyakinkan atas FokeNara!

    BalasHapus
  2. Hingga akhirnya, Jokowi lanjut memimpin Indonesia, dan Ahok memimpin Jakarta dengan gaya kepemimpinan yang unik dan mampu membuat perubahan dibandingkan dengan pimpinan sebelumnya. Jakarta berubah lebih baik dengan ketegasan dan bertindak benar. Akhirnya semakin ke sini makin jelas apa yang salah dalam pembangunan daerah. Sosok pimpinan yang berani jujurlah kuncinya.Berani melawan elit dewan yang licik. Semoga makin menjamurlah pimpinan macam Ahok. Beruntung Bandung punya Ridwan Kamil, Surabaya punya Risma. Ayo mana lagi sosok pimpinan daerah yang hero!

    BalasHapus

Tinggalkan jejak, jika anda mampir ;p Terima kasih atas kunjungannya - cocoper6