Aparat Berompi Hijau dari Kaca Helm Saya


Beberapa waktu lalu, entah masih atau tidak, Polisi Lalu Lintas di Jakarta dan sekitarnya sedang gencar mengadakan operasi simpatik. Operasi lalu lintas yang dilakukan di ruas-ruas tertentu pada jam tertentu dalam rangka penegakkan aturan lalu lintas jalan raya. Jadi wajar saja kalau di jam-jam tertentu ada gerombolan polisi lalu lintas yang beseragamkan rompi hijau-hijau berada di sisi jalan melakukan penyetopan kendaraan, dalam rangka memeriksa surat-surat atau memang menilang yang melanggar.
Situasi macam begini buat saya sedikit takut dan tidak. Awalnya saya ke Jakarta saya tidak merasa takut dengan itu yang namanya polisi lalu lintas. Saya biasa menyebutnya ‘aparat berompi hijau’. Saya tidak pernah merasa takut karena saya tidak melanggar aturan lalu lintas, saya selalu berusaha patuh di jalan. Rambu-rambu yang jelas saya lihat sudah pasti saya patuhi, karena saya takut bukan sama aparatnya tapi saya takut bila melanggar aturan.
Pertama kali masuk Jakarta dengan kendaraan pribadi (motor), sungguh kaget, luar biasa padatnya dan luar biasa tidak tertibnya, saya sampai bingung bagaimana menyesuaikan diri dengan lalu lintas yang macam begini. Contoh saja, pada saat lampu merah, pada ruas jalan di lampu merah kan ada garisnya, tapi di Jakarta, garis itu tidak bermanfaat, karena kendaraan terutama motor berhenti di depan garis itu pada saat lampu berwarna merah. Geleng-geleng saya punya kepala, sambil bergumam dalam hati : “kalau begini apa tidak kena tilang?” Yang membuat saya bingung, saya berhenti di belakang garis itu, kebetulan mungkin menghalangi kendaraan di  belakang saya yang ingin maju melampaui garis, motor saya diklakson, saya bingung, kalau saya maju saya takut melanggar, kalau tidak maju berisik dengan klakson kendaraan di belakang saya. Akhirnya saya menahan diri, saya maju sedikit, dan memberi celah untuk kendaraan itu lewat, lalu saya mundur lagi sedikit.
Ada lagi soal belok kiri tidak boleh langsung, posisi saat itu saya sedang di kiri jalan. Berdasarkan aturan yang baru kan memang tidak boleh langsung, saat lampu lalu lintas menunjukkan warna merah kecuali ada tanda lain. Nah, di sana tidak ada tanda lain, tetapi kendaraan di sana melaju seenaknya untuk belok kiri, kalau ada yang menghalangi tak segan untuk meng-klakson atau memaki. Nah, kalau kita maju, ikut arus kiri jalan terus, saat ada aparat lihat, kalau kita sedang apes, disempritlah kita, kena tilanglah sudah, yang rugi siapa? Aparat tidak pernah mau tahu kesulitan kendala yang dialami pengendara, kalau aparat liat kita melanggar ya itulah kesempatan untuk ditilang. Padahal belum tentu kesalahan itu karena kita. Walah, Jakarta memang kota keras dan gila. Padahal aturan lalu lintas yang segitu banyaknya dibuat di kota ini untuk seluruh Indonesia, tetapi ternyata di kota ini tidak beres menerapkan aturan itu.
Polisi di wilayah Jakarta dan sekitarnya (Depok, Bekasi, Tanggerang dan daerah lain penyangga Jakarta) dan bahkan mungkin di daerah-daerah lain, tidak memiliki jiwa mengayomi. Ya itu terlihat karena aparat bertindak ketika terjadi pelangaran, bukan mencegah terjadinya pelanggaran. Hal ini jelas terlihat saat kendaraan yang masuk jalur busway. Seharusnya aparat berada di depan pintu masuk jalur busway, untuk mengingatkan agar kendaraan melihat rambu yang ada supaya jangan masuk jalur itu. Tapi kenyataannya aparat berdiri jauh ke dalam jalur, sehingga saat ada kendaraan yang masuk perangkap tinggal aparat menindaknya. Itulah buruknya pelayanan kepolisian terutama polisi lalu lintas.
Hal-hal macam itulah yang membuat aparat kurang diminati, aparat hanya membuat takut dan panik. Yang tidak melakukan kesalahan saja terkadang dihentikan laju kendaraannya hanya untuk dilihat surat-suratnya, padahal surat-suratnya lengkap. Tingkah aparat yang macam beginilah yang sepertinya tindakan iseng-iseng berhadiah. Dulu, setiap saya tersasar tidak tahu arah, polisi lalu lintas yang dijadikan tempat untuk bertanya. Tapi sekarang melihat tingkah aparat yang seperti itu, takut rasanya untuk bertanya. Dipikiran kita terlintas, pasti ini polisi mencari-cari kesalahan kita. Meskipun kita tidak salah. Nanti tinggal pinter-pinter berdebat, kalau kita ngotot, kita lagi yang salah, dengan alasan melawan aparat. Aparat yang macam begini yang harus dibina. Atau kalau tidak bisa juga berubah ke arah yang lebih baik wajib dibinasakan.
Saya pernah pengalaman tidak menyenangkan dengan ‘aparat berompi hijau’. Ketika di Depok, kebetulan malam hari, saya habis dari terminal Depok, kebetulan saya lupa menyalakan lampu utama, tetapi lampu senja saya nyala. Saat di tikungan, ada polisi yang menyetop motor saya. Saya bingung, saya merasa tidak ada yang salah. Polisi itu diam saja, dan hanya meminta surat-surat. Sembari saya mengambil surat-surat di dompet, saya bertanya : “Salah saya apa, pak?”, eh itu polisi diam saja. Surat-surat saya keluar, langsung saja dia ambil lalu dibawa ke pos (warung tegal, memang pos nya tersembunyi di dalam warung di pinggiran pojok lampu merah ITC Depok). Di sana surat-surat saya diberikan pada aparat lain yang bertugas mencatat. Saya cari tahu kesalahan saya apa, ternyata lampu. Akhirnya saya ke pos warteg itu, dan berdebat di sana, tapi apa boleh buat saya tetap ditilang dan saya harus menebusnya Rp 50.000,00 di Kejaksaan Negeri Depok. Aparat yang mencatat sih bilang, kalau dia yang menyetop pasti saya akan diberitahu, tapi dia bilang yang stop anda suruh ditilang saja, jadi dia tidak bisa melepaskan saya. Dalam hati ini, keras berteriak mengumpat aparat. Hal kecil macam ini kan masih bisa diingatkan kenapa harus langsung tindak, toh itu bukan kesalahan fatal dan saya bukan kondisi mengemudi sambil ngebut. Ini juga contoh aparat yang maaf ‘**parat’. Saya tahu saya melanggar, karena lalai, tapi masih bisa diingatkan, toh kelistrikan di motor saya masih berfungsi dengan baik. Saat itu saya benar-benar marah, wajar hanya hal sepele, hilang uang segitu. Sampai sekarang, saya masih simpan dendam dengan sikap polisi macam begitu. Sampai sekarang saat saya melintas depan polisi lalu lintas, saya selalu memainkan lampu utama saya, kedap-kedip. Tidak tahu, hal itu terjadi begitu saja, karena rasa jengkel saya yang belum hilang. Karena saya selalu berusaha mematuhi aturan, tetapi kenapa saya dihukum/ ditilang karena apes. Untuk apa saya mematuhi aturan kalau begini, apa bedanya dengan pengendara lain yang jelas-jelas mereka melanggar. Sejak saat ini juga saya mulai ragu untuk bertanya apabila saya salah arah ingin mencari tujuan, ada rasa keengganan untuk bertanya pada aparat.
Masalah-masalah seperti yang saya ceritakan di atas kerap terulang, karena atasannya biasanya tutup mata melihat hal ini. Misalkan dikonfirmasi langsung, mereka hanya bilang “tidak ada aparat macam itu, itu hanya ulah oknum”. Itulah pernyataan atasan yang tidak mendidik. Sampai kapan pun wajah polri tidak akan pernah baik. Seharunya atasanya selalu membina bawahannya agar benar-benar menjadi pengayom yang benar. Kalau hal ini tidak dibenahi polisi akan terus dijadikan kambing hitam karena tingkahnya sendiri. 
Saya sendiri rindu polisi yang pengayom, selalu mengingatkan dengan ramah, menindak dengan santun, menjawab dengan sabar. Polisi yang begini sungguh langka sekali, apalagi di Jakarta. Masih ada waktu untuk polisi berbenah, saya dan juga mungkin rakyat lainnya masih sabar menunggu wajah polisi kita berubah. Briptu Norman mungkin menjadi pionir polisi yang berwajah jenaka namun tegas. Tapi sayang Briptu Norman bukan ada di jalanan seperti ‘aparat berompi hijau’. Tapi harapan akan lahirnya polisi berwajah ramah tetap ada. Ini tulisan keluar dari hati yang paling dalam kalau melihat aparat di jalan. Ya semoga polisi yang diharapkan segera lahir. Maju terus kepolisian RI, terutama polisi lalu lintasnya! Cpr.

Posting Komentar

0 Komentar