Melanjutkan bahasan postingan sebelumnya terkait pengobatan mama saya yang tengah dilakukan, beberapa waktu lalu mendapatkan informasi plot twist, dugaan penyalahgunaan kewenangan dan penginputan informasi yang ngasal pada riwayat kesehatan pengobatan mama saya.
Saya jadi penasaran dengan proyek kesehatan nasional terkait TBC yang katanya sudah terintegrasi satu atap, sehingga riwayat pengobatan pasien bisa diakses dimanapun di Indonesia ini.
Sehingga saya mau tahu proyek nasional yang dimaksud seperti apa, ruang lingkupnya dan apa saja yang dikerjakan dalam proyek ini, berdasarkan informasi yang saya temukan di internet.
Ini perlu supaya bisa menjadi second opinion agar tidak dibodohi oleh tenaga kesehatan karena ketidaktahuan atau kurang informasinya pasien terhadap proyek strategis kesehatan nasional.
Karena ada isu² bahwa ini adalah proyek yang didanai oleh sumbangan pihak asing, dimana karena dapat dana cuma² akhirnya seperti dimanfaatkan oleh oknum² di fasilitas kesehatan, terutama di daerah² yang tingkat korupsinya tinggi, dimana budaya transparansi masih sangat langka di sana.
Proyek TB Nasional atau Proyek Eliminasi TB Nasional merupakan proyek kesehatan Nasional yang berfokus pada pengentasan kesehatan masyarakat terkait penyakit tuberkulosis (TB) atau TBC. Dimana pemerintah punya target elminasi penyakit TB pada tahun 2030.
Targetnya adalah penderita TB sebanyak 60 orang dari 100.000 penduduk pada tahun 2030.
Saat ini menurut data dunia, Indonesia menempati peringkat dua dunia sebagai negara dengan pasien kasus TBC terbanyak setelah India.
Proyek ini berhubungan dengan program² penanggulangan melalui pendekatan komprehensif seperti "Gerakan Indonesia Akhiri TBC". Nah semuanya ini diintegrasikan dalam layanan satu atap yaitu OSS TBC.
Inovasi layanan terpadu yang komprehensif di faskes tingkat #1 (puskesmas), untuk tes cepat molekuler (tes dahak/lidah) dan rontgen pinter berbasis AI, yang mana hasilnya bisa diperoleh dengan cepat dan gratis.
Berkaca dikasus ibu saya, dimana vonis TB beliau diperoleh di faskes tingkat #1 Puskesmas Perumnas Utara. Dari informasi di atas berarti, bisa saja di sana sudah tersedia tes cepat molekuler dan rontgen pintar. Untuk tes dahak oke saya coba untuk percaya itu dilakukan dengan 'benar', tapi kalau rontgen pinter ini rasanya tidak, karena ibu saya tidak melakukan rontgen sama sekali. Ini bisa dikatakan, rontgen pintar atau pasiennya yang 'dipintari'.
Proyek penanggulangan TB nasional oleh pemerintah ini memang diberikan secara GRATIS, dimana biaya pengobatan ditanggung oleh pemerintah, terutama pasien TBC reguler selama 6 bulan.
Serta pemberian obat pencegahan dan pemgawasan minum obat secara langsung melalui metode DOTS (Directly Observed Treatment Shortcource).
Jadi dalam program ini ada beberapa kelompok target pengentasan TBC nasional, yaitu:
🪢 Orang yang terdiagnosis TB tapi tidak memulai pengobatan
🪢 Orang dengan gejala TB yang tidak mencari pengobatan
🪢 Orang dengan TB yang datang ke fasilitas kesehatan tetapi tidak didiagnosis
🪢 Orang yang terdiagnosis TB dan diobati oleh pemberi layanan kesehatan tetapi tidak dilaporkan dalam program
🪢 Orang dengan pengobatan TB yang terlaporkan tetapi tidak sembuh atau tidak melanjutkan pengobatan
🪢 Orang yang terinfeksi TB atau beresiko tinggi menjadi sakit TB
Berkaca dari beberapa kategori di atas, saya coba memasukan kasus yang mama saya alami ini ke dalam kelompok mana?
Kalau lihat dari kategori di atas, rasanya itu lebih cocok ke : "orang dengan pengobatan TB yang terlaporkan tetapi tidak sembuh atau tidak melanjutkan pengobatan" atau "orang yang terdiagnosis TB tapi tidak memulai pengobatan".
Jadi dari dua tersebut ada yang bisa dianalisa:
#1 Mama saya terlaporkan divonis TB, menurut data riwayat kesehatan satu atap atau OSS TB itu dinyatakan bahwa mama saya sudah negatif dan pengonatan selesai, dibuktikan hasil tes dahak tiga bulan terakhir (-).
Faktanya: mama saya divonis TB dengan tanpa diagnosa pasti, hanya mengandalkan tes dahak yang ambigu, serta tidak transparan disampaikan hasilnya. Kemudian vonis diberikan tanpa data dukung lain, misalnya rontgen. Tau² divonis TB tapi anehnya di riwayat JKN dituliskan dengan diagnosa yang ambigu. Tetapi di data OSS TB dianggap pengobatan berjalan, sedangkan sejak vonis diberikan, mama saya nyatakan penolakan karena tak transparan dan tidak melanjutkan pengobatan. Tetapi fasilitas kesehatan bisa menyatakan negatif dengan tes dahak fiktif, karena mama saya tidak datang ke fasilitas kesehatan selama pengobatan 6 bulan tersebut. Pada saat itu kondisi kesehatan mama saya normal pulih seperti biasa, karena sejak awal gejalanya hanya flu batuk biasa saja.
#2 Terdiagnosis TB tapi tidak memulai pengobatan. Pada kasus mama saya hal ini tidak bisa dinyatakan sesuai juga, karena sejak awal penentuan atau diagnosa TB ini tidak dilakukan secara benar, tes dahak awal yang dilakukan ambigu plus tidak menggunakan alat dukung diagnosa lain rontgen atau tes darah atau lainnya. Hanya tes dahak yang tidak transparan hasilnya seperti apa, hanya dibilang (-), eh keesokannya dinyatakan jadi (+). Sehingga jika dikatakan terdiagnosis TB tapi tidak memulai pengobatan ya jadi wajar, karena vonisnya saja tidak jelas.
Pertanyaan selanjutnya, apakah Puskesmas Perumnas Utara itu mendapatkan bantuan fasilitas kesehatan pengujian sampel TB secara cepat?
Pemerintah mewajibkan untuk semua fasilitas kesehatan melaksanakan program ini. Kegiatan penemuan, pengobatan dan pencegahan dalam rangka penanggulangan TB, WAJIB dilaksanakan oleh seluruh fasilitas kesehatan:
⛳ Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama (FKTP) (meliputi Puskesmas, Klinik Pengobatan, Dokter Praktek Mandiri/DPM)
⛳ Fasilitas Kesehatan Rujukan Tingkat Lanjut (FKRTL) (meliputi Rumah Sakit pemerintah, RS swasta, RS Paru/RSP, Balai Besar Kesehatan Paru Masyarakat)
Ada hal yang perlu diketahui dalam hal diagnosa kasus TB ini, ada beberapa hal:
Pemeriksaan Utama: pemeriksaan dahak mikroskopis untuk deteksi basil TBC, lazim dikenal dengan (BTA).
Pemeriksaan Penunjang: foto toraks, biakan, dan uji kepekaan dapat digunakan sebagai penunjang diagnosis jika diperlukan, namun tidak boleh menjadi satu-satunya dasar diagnosis.
Berkaca dari kasus yang dialami mama saya, saya jelaskan berkali-kali dalam tiap penjelasan, bahwa ketika vonis hanya dilakukan berdasarkan tes dahak saja.
Ternyata itu merupakan pemeriksaan utama. Justru yang lainnya seperti foto toraks hanya pemeriksaan penunjang. Tapi keterangan yang saya berikan garis bawah, kenapa tidak dituliskan padan pemeriksaan utama, sehingga pemeriksaan utama dan penunjang harus dilakukan bersamaan untuk pendukung vonis.
Dengan melihat aturannya yang demikian, bisa saja tenaga kesehatan fasilitas kesehatan pertama akan berkelit, pemeriksaan utama sudah dilakukan, pemeriksaan penunjang yang sekedar penunjang saja yang penting sudah dilakukan yang utama.
Seharusnya dalam buku aturan main dituliskan secara jelas bahwa vonis itu minimal didukung dari lebih dari satu instrumen uji, bukan sekedar uji klinis saja.
Berikut ini buku panduan digital tenaga medis untuk penanganan pasien TB atau kasus TBC di Indonesia, klik link ini. Mudah-mudahan akan terus terhubung sehingga bisa diakses dan dibaca terus untuk membandingkan kesesuaian pelaksanaan di lapangan.
Berikut ini gejala klinis pasien TB, dengan usia > 15 tahun:
🩻 Batuk berdahak atau tidak berdahak tanpa melihat durasi
🩻 Nafsu makan menurun
🩻 Berat badan menurun
🩻 Lemah, Letih, Lesu (3L)
🩻 Berkeringat malam hari tanpa kegiatan fisik
🩻 Demam meriang timbul tenggelam tanpa sebab yang jelas
🩻 Sesak nafas
🩻 Batuk berdarah
Selain itu ternyata TB itu tidak sekedar TB saja, jadi ada yang murni TB dan ada yang juga menyerang organ lainnya bisa selaput otak, selaput jantung, kelenjar getah bening, tulang, persendian, kulit, usus, ginjal, saluran kencing, alat kelamin, dan lain-lain. Pengelompokan TB ada dua jenis yaitu: TB Paru dan TB Extra Paru.
Kembali ke soal pemeriksaan tes dahak, soal prosedur yang benar sesuai pedoman yang link nya saya berikan itu diatas adalah sbb. :
*ini bisa jadi dasar bahwa pelaksanaan yang dilakukan oleh tenaga kesehatan di faskes #1 Perumnas Utara sudah sesuai, hanya saja ketika penyampaian hasil itu tidak transparan
*proses selanjutnya dalam pengisian riwayat kesehatan pasien diisi dengan cara yang tidak benar, pasien tidak tes dahak tapi ditulis dilaporkan tes dahak, ini jelas pelanggaran prosedur
🕯 TBC dapat diketahui dengan pemeriksaan dahak
🕯 Pemeriksaan TBC diutamakan menggunakan Tes Cepat Molekuler (TCM), atau pemeriksaan mikroskopis apabila tidak tersedia pengujian TCM di faskes tersebut
🕯 Dibutuhkan 2x pengambilan sampel dahak per pasien, yaitu:
#1 Saat datang ke fasilitas kesehatan
#2 Saat dahak pagi, sesaat setelah bangun tidur
atau bisa juga dibalik
#1 Saat dahak pagi hari setelah bangun
#2 Saat datang ke fasilitas kesehatan
atau bisa juga
#1 Dapat juga sewaktu-waktu dengan jeda satu jam antar sampel satu dan sampel kedua
Ada catatan penting itu bisa dibaca pada BAB II, halaman 10, pada poin 2.2 Pemeriksaan Diagnostik TBC, di sana ada hal yang perlu dilakukan tenaga kesehatan, yang secara nyata tidak dilakukan oleh tenaga kesehatan di faskes #1 Perumnas Utara, ini yang bisa dijadikan dasar komplain atas transparansi pengecekan atau pemeriksaan pada suspect TBC, bahwa mereka tidak melakukan prosedur dengan benar.
Sepertinya sementara itu dulu deh informasi yang bisa saya bagikan dari apa yang saya temukan. Soal apakah Puskesmas Utara itu mendapatkan bantuan pengujian sampel cepat saya belum bisa jawab, akan saya cari tahu pada postingan berikutnya.
Kita lihat update berikutnya pada catatan masih membahas seputar TB, dan plot twist nya dalam pelaksanaannya di lapangan, soalnya ada indikasi nakal dan main² asal diagnosa. Kalau mau diskusi tolong isikan di kolom komentar. -cpr
#onedayonepost
#tbc
#informasi
#pengalaman
#postingpribadi
#kesehatan
%20(1).jpeg)
0 Komentar
Tinggalkan jejak, jika anda mampir ;p Terima kasih atas kunjungannya - cocoper6