Akhirnya Jadwal Kontrol dan Hasil Lab. Dahak Jadi, Gimana Hasilnya?

Bukan waktu yang sebentar lho, dari tanggal kunjungan pertama rujukan di RS Prima Husada sampai tiba hari ini kunjungan 'kontrol' dan sekaligus menunggu membaca hasil uji lab. dahak hasilnya seperti apa? 


Minggu, 16/11 saya buka app JKN dan lakukan booking untuk kunjungan kontrol tgl 18/11 lusa, diperoleh nomor antrian #6. Jam prakteknya ya jam 13:00 - 17:00
.
Ilustrasi, gambar diambil dari Google

Tiba di lokasi langsung menuju loket ambil nomor dahulu, lalu tunggu panggilan di meja pendaftaran JKN untuk konfirmasi ke poli paru. Nanti di sana dapat antrian lagi soalnya, berdasarkan pengalaman sebelumnya. 


Saya tiba di RS sekitar 14:41, ambil nomor antrian terlebih dahulu. Dilayani sebentar, prosedur standar, difoto juga, terus lanjut ke poli paru. 

Nah ada yang plot twist, ini agak membagongkan jadi sebelum kami ke RS, tiba² ada WA dari laboratorium RS Prima Husada, cuplikannya begini:
"selamat siang bu, menginformasikan bahwa pemeriksaan dahak TCMnya tidak jadi dilakukan karena ibu sudah menjalani pengobatan, dan selesai di bulan juni 2025 kemaren mohon maaf atas keterlambatan pemberitahuannya bu 🙏🏻🙏🏻"

Nah jadi kaget dong, lha lalu tanggal 5/11 pagi saya antar sampel dahak satu botol itu diapain kalau memang dari rekam medisnya tercatat bahwa pengobatan selesai di bulan Juni 2025.

Harusnya dihari itu sewaktu saya memberikan sampel atau seminggu itu sudah bisa diketahui. Toh pihak kami sudah menanyakan itu hasilnya tapi bilangnya belum saja. Jadi ya sudah kami menunggu dengan 'tidak sabar', karena ya sejak tanggal 4/11 tidak ada pengobatan apapun, jadi bener² pasien dibiarkan bertahan dengan sistem imun natural. 

Oke kembali ke pembahasan tadi ya, saya jadi bercerita alurnya jadi maju mundur.

Jadi habis dari pendaftaran sebelum ke poli paru saya ke laboratorium dulu, saya minta penjelasan mereka, dan mereka jelaskan sesuai apa yang di WA, saya coba jelaskan bahwa di Juni tidak ada tes dahak apapun. Tapi mereka di sana mengarahkan ke poli paru saja nanti dijelaskan oleh asisten dokternya. 

Jadi kami ke poli paru dan di sana dijelaskan kronologis berdasarkan data riwayat pemeriksaan di sistem JKN, data yang ada di mereka ini memang lebih lengkap dibandingkan data riwayat di aplikasi JKN pasien. 

Plot twist, jadi setiap pasien yang sudah mendapatkan vonis TB baik itu yang bener atau yang asal²an itu akan masuk ke sistem monitoring pasien khusus TB dan terintegrasi nasional, karena sudah menjadi program pemerintah. Entah itu yang TB atau yang sudah masuk ke rujukan poli paru di seluruh faskes di Indonesia Raya ini. Sehingga data mama saya itu terbaca dan terekam di sana, bahkan termasuk keanehan jika apa yang direkam tidak sesuai dengan realita setelah dicroscek ke pasien. 

Dijelaskan bahwa memang benar ada periksa dan ada diagnosa ke arah TB di Desember 2024 lalu, lalu katanya pada periode Des 2024 - Juni 2025 ada beberapa kali tes dahak yang menyebutkan hasilnya negatif, sampai akhirnya dinyatakan per Juni 2025 pengobatan selesai. 

Padahal pada periode tersebut tidak ada pengobatan yang dilakukan, tes dahak hanya sekali dilakukan di awal waktu pemberian vonis dan itupun dari negatif diralat jadi positif, obat sempet diminum tapi membuat kondisi kesehatan makin drop, diganti obat tapi tidak dilanjutkan karena vonis tidak dapat dipertanggung jawabkan secara transparan. 

Dari sini saya pribadi membaca, pasien ini dianggap sakit TB secara sistem komputer saja, tanpa data pengobatan yang jelas, tenaga medis di faskes Cirebon ini hanya memvonis berdasarkan gejala klinis saja, tanpa rontgen, tanpa hasil tes dahak yang transparan. 

Lalu itu dari informasi yang disampaikan asisten dokter di RS Prima Husada ini ada beberapa kali tes dahak sedangkan mama saya hanya tes sekali sewaktu awal di fasilitas Puskesmas Perumnas Utara, dengan menyerahkan dua botol sampel, dua botol itu diberikan oleh pihak puskesmas untuk menyimpan sampel dahak.

Entah ini pemberian dua botol ini adalah sistem yang benar atau salah, harusnya satu diberikan tapi ternyata diberikan dua, supaya hasilnya bisa dimainkan? *ini pikiran negatif saya yang sudah tidak percaya pada kebanyakan faskes yang ada di Cirebon ini. 

Kembali dijelaskan oleh asisten dokter seperti itu, bahwa pengobatan dianggap sudah selesai, karena menganggap hasil pemeriksaan di faskes asal (Cirebon) adalah proses yang benar. 

Lalu apakah sakit batuk yang sekarang ini adalah karena sebab lain? Kenapa sampel dahak yang diberikan atau diserahkan kepada RS Prima Hudada pada tanggal 5/11 itu tidak diujikan sehingga tidak ada hasil pastinya, apa yang terkandung dalam dahak yang dikeluarkan pagi itu? 

Jadi ini plot twist lainnya, jawabannya kenapa tidak diuji dahak karena untuk uji sampel dahak itu memerlukan reagen atau bahan uji pembanding yang harganya itu relatif mahal, kurang lebih 1 juta, ini kenapa faskes lanjutan atau faskes tidak bisa sembarang melakukan uji dahak jika pada proses sebelumnya diketahui sudah negatif. 

Nah pandangan ini jadi muncul karena ketidakpercayaan sistem kesehatan yang terjadi di wilayah Kota Cirebon. 

Di sini kami pun kesulitan punya data dan bukti untuk komplain ke pihak faskes asal (Cirebon), bahwa setiap uji lab itu selalu dapat hasil yang transparan. Alhasil dengan tidak adanya hasil tes dahak ini kami gak bisa komplain dan membuktikan sebenarnya sakit apa. 

Seharusnya memang punya 2nd opinion dengan tes lab mandiri ketika menemukan indikasi 'permainan' dalam vonis diagnosa kesehatan. 

Setelah kami juga jelaskan kronologis yang kami alami, prosesnya sejak awal dan mengkroscek dengan apa yang ada di sistem JKN ini, akhirnya ketemu titik temu, berarti saat ini batuknya mama saya ini karena hal lain. Hal lain itu apa, dokternya yang akan memberi tahu. Karena saat kami diskusi ini ternyata dokternya belum tiba. Jadi kami akhirnya menunggu di ruang tunggu hingga dokternya tiba. 

Jadi sementara ini, saya mengambil kesimpulan bahwa dua sampel dahak itu bisa jadi adalah untuk antisipasi 'permainan'. Hasil tes yang benar itu adalah negatif, selainmñ@@nsesuai informasi awal yang diterima mama saya. Selang seminggu di informasikan dari faskes pertama (Puskesmas Perumnas Utara) kalau hasilnya positif, dibagian yang menangani paru. Terus datang ke Puskesmas tersebut dan diberikan obat untuk TB tersebut. Kemudian obat itu diminum, ternyata ada efek samping gatal². Lalu berobat lagi ke dokter faskes pertama itu di Puskesmas yang sama, lalu sama dokter umum itu dirujuk ke RSUD Gunung Jati poli paru, di sana dikasi obat lagi tapi suruh coba², diminta mencatat efek samping jika meminum obat yang diberikan. Sejak saat itu mama saya berhenti dari pengobatan dan menganggap ada hal yang gak beres. Sakit pun sembuh dan mama saya kembali ke aktivitas seperti biasa, dan September 2025 pergi ke Pandaan ada acara lamaran saya. Di sana mama saya sehat fit normal seperti biasa. Barulah sepulang dari acara 21-09-2025,  barulah setelah beberapa minggu di Cirebon, mama saya sakit fluba karena kelelahan kebanyakan aktivitas. Barulah pada akhir Oktober 2025 mama saya berobat di Pandaan. Nah disaat itu ternyata di bulan Juni 2025 ada informasi bahwa mama saya itu dinyatakan negatif dari tes dahak, tes dahak yang kapan ya sedangkan tidak ada tes dahak dilakukan. Pada periode itu mama saya ada riwayat ke faskes hanya untuk periksa hipertensi dan gigi. Di saat inilah rupanya faskes di Cirebon ini melakukan permainan, dimana sampel dahak yang lain itu dijadikan dasar buat menginformasikan hasil negatif setelah proses pengobatan dilakukan, jadi supaya ada klaim pengobatan yang harus dibayarkan BPJS atas pengobatan yang dilakukan di RSUD/Puskesmas tersebut atas pasien yang divonis TB tanpa konfirmasi pasti, hanya berdasarkan gejala klinis saja, tanpa rontgen dan tanpa hasil tes dahak yang transparan. Ini adalah analisa dugaan saja bahwa ada permainan nakal atas vonis TB ini. Terduga permainan terjadi sejak di faskes pertama, Puskesmas Perumnas Utara yang tidak transparan dan tidak melakukan diagnosa secara komprehensif. Dimana vonis dilakukan hanya dari gejala klinis yang tidak didukung alat medis lain seperti rontgen, tes dahak yang kredibel atau instrumen lain yang bisa membuktikan pasien sakit TB secara valid. Dugaan lain lagi adalah laporan fiktif bahwa pasien telah melakukan tes dahak pada bulan dimana pasien sama sekali tidak berhubungan dengan tenaga medis dalam rangka pengobatan TB, sehingga di sini jelas ada pelaporan fiktif pada data rekam medis pasien. Ini masalah serius yang sebenarnya gak bisa dibiarkan, oknum tenaga medis di puskesmas perlu dinotif. 

Sangat berbahaya karena obat TB ini obat keras, jika memang tidak ada bakteri TB yang mau dimatikan tapi diberikan obat keras ini kan bisa berimbas ke penyakit lain. Itu kenapa saya, sebagai anak memutuskan untuk tidak melanjutkan pengobatan karena tidak ada dasar yang jelas. 


Masalah ini bisa berbahaya jika tidak ada kejelasan, karena kepercayaan pada tenaga medis di wilayah Cirebon bisa saja turun, dan bisa pula diduga bisa saja pasien² yang lain mengalami vonis suka² seperti ini. 

Saran saya, bagi yang berobat di wilayah Cirebon dan atau dimana pun itu harus berhati-hati pada vonis TB  atau sejenis, perlu dicek 2nd opinion. Obat TB itu keras, jika sakitnya bukan itu, maka resiko kesehatan akan menurun karena pengaruh obat yang tak sesuai sasaran. 

Jangan sampai jadi korban vonis diagnosa yang tidak berdasar. Jika mendapatkan vonis dengan data dukung lengkap: gejala klinis, hasil rontgen, hasil tes dahak, atau tes uji lainnya yang menjadi dasar validnya vonis dan disampaikan transparan kita wajib legowo menerimanya. 


Akhirnya dokter poli paru tiba dan dijelaskan semuanya, dari pihak pasien pun menjelaskan, diinformasikan kembali kronologis by sistem paru nasional, dijelaskan pula kenapa tes dahak tidak bisa sering karena ada biayanya yang cukup mahal, lalu disampaikan penanganan berikutnya. 

Jadi akan diberikan rekomendasi uji dahak kembali dan pihak dr. akan memberikan  rekomendasi uji ulang mengingat proses yang dilakukan di faskes sebelumnya (Jawa Barat) tidak bisa dijamin validitasnya karena ketidaksesuaian dengan apa yang diterima pasien. 

Tanggal 19/11 sampel dahak pagi disubmit ke laboratorium dan bulan depan dijadwalkan kontrol ulang untuk memastikan hasil sampel tersebut dan penanganan lanjutannya, apakah memang (+) atau (-), keputusannya perlu didukung bukti lain selain gejala klinis, hasil rontgen yang sudah dilakukan. 

Setelahnya kami ke informasi mengambil surat kontrol berikutnya, kemudian ke lab. ambil botol sampling, lalu kami pulang dengan segala informasi yang diterima itu, kita mengolah data dan menarik kesimpulan bahwa faskes di Cirebon ini ngawur dan tidak sesuai prosedur, motif mereka hanya mengejar klaim biaya atas prosedur penanganan TB yang dilakukan, mengingat berapa harga reagen pembanding untuk media uji tes dahak, belum dari obat. 


Update soal kontrol penyakit mama saya kali ini berakhir di sini, postingan tentang ini akan saya lanjutkan pada postingan berikutnya, saya akan mencari tahu soal prosedur sebenarnya dari pemberian vonis TB dan program TB nasional ini seperti apa. Untuk melihat dan menilai kira² motif apa yang mungkin jadi alasan kenapa faskes di Cirebon ini bisa² nya memanipulasi riwayat pengobatan pasien. 

Sampai jumpa dipostingan berikutnya. Kita akan bahas lebih lanjut, supaya tahu, karena jarang sekali tenaga medis menjelaskan secara gamblang, hal ini yang akhirnya memberikan kebebasan orang untuk menerka-nerka dengan situasi yang terjadi, mana yang benar dan salah jadi tidak jelas. Karena pasien hanya tahu logika bahwa ketika memutuskan sesuatu harus ada dasar, dan apa dasarnya akan kita bahas dipostingan selanjutnya. -cpr

#onedayonepost
#pengalaman
#postingpribadi
#umum
#bpjs
#tb

Posting Komentar

0 Komentar