Makin hari sepertinya kehidupan sosial di negara ini makin sulit. Berkaca dari Jepang dan Korea, di sana justru kekurangan penduduk, sampai harus negara mengeluarkan kebijakan membayar bagi penduduknya yang mau bekeluarga atau mempunyai keturunan. Ya, dua negara itu krisis penduduk.
Berbeda dengan di negara ini dimana penduduknya berlimpah. Saking berlimpahnya penduduk² usia produktif dengan segala latar pendidikannya tidak mampu terserap lapangan kerja. Ini belum termasuk penduduk² tanpa latar pendidikan, entah bagaimana terserap lapangan kerja.
Sedangkan semua tahu spesifikasi atau requirment untuk mayoritas lapangan pekerjaan di negeri ini harus high value. Lalu bagaimana nasib yang low value?
Pada akhirnya yang jadi masalah sosial ini adalah yang low value. Pada dasarnya yang low value ini harusnya mengasah kemampuan, namun terkadang tidak terkelola dengan baik pada akhirnya tuntutan ekonomi memaksa mereka memilih hal² negatif daripada kreatif.
Situasi saat ini, dari sisi pengusaha sendiri hampir sama, mereka tidak memilih cara kreatif, lebih memilih cara praktis untuk memperkecil kerugian. Akhirnya 'menghalalkan' segala cara. Pemangkasan biaya adalah hal paling mudah mengurangi beban. Siklus perputaran uang di perusahaan seperti berjalan lambat, akhirnya supaya tak terseret arus, pemangkasan adalah solusi.
Banyak cara pemangkasan biaya dilakukan, dari mengurangi karyawan yang jenisnya beragam, ada yang harian/ kontrak lepas (walaupun ini harus sudah hilang menurut aturan, tapi banyak perusahaan masih pakai cara ini, untuk situasi² seperti saat ini). Kemudian karyawan tetap 'kontrak', yang bertahun-tahun dikontrak durasinya berkisar dari yang tahunan, jadi semesteran, hingga caturwulanan, bahkan hingga bulanan. Kemudian karyawan dipaksa untuk mengundurkan diri, supaya tak membayar pesangon. Karena jika statusnya PHK, maka perusahaan dipaksa oleh aturan untuk membayar pesangon menurut undang². Apalagi ketika menjelang hari raya seperti saat ini, karyawan² yang berharap THR tapi dikondisikan kontrak kerjanya berakhir.
Semua hal dihalalkan untuk mengejar satu yang namanya efisiensi. Mereka tidak memilih jalan kreatif merubah kinerja tapi memilih cara yang paling instan menyelamatkan diri. Pada akhirnya cara² yang sama digunakan pekerja² aktif untuk menjadi oportunis. Kita bahas ini di segmen selanjutnya dipost ini.
Jadi sebenarnya antara karyawan dan perusahaan mereka sama, tidak memilih cara kreatif untuk bangun dari kondisi sulit, namun memilih jalan pintas.
Jika kondisi sudah seperti ini, perusahaan sebagai pemilik dan punya sumber daya modal akan mudah memulai usaha barunya di tempat yang sekiranya sesuai kemampuan dia. Dengan sebelumnya membuang 'beban-beban' biaya yang kita bahas di atas.
Tapi bagi pekerja² ini dipastikan hilang mata pencaharian, karena mau cari kerjaan baru saingannya besar dan terkendala hal yang saya utarakan di paragraf sebelumnya. Ya itu realita dan ironinya.
Perusahaan ini mau swasta atau BUMN polanya sama saja, jadi jangan pikir BUMN lebih baik, tidak!!! Lihat nasib BUMN saat ini, berapa banyak karyawan yang harus dirumahkan akibat efisiensi pemerintah demi program makan gratis?
Saat ini banyak pekerja² aktif, yang masih bekerja itu menjadi oportunis. Mereka yang masih bekerja itu pun bersaing dengan mereka yang sudah menganggur dalam mencari kerja.
Bisa dilihat di list seleksi aplikasi pencari kerja, untuk satu posisi tertentu dilamar oleh ratusan hingga ribuan orang, saya yakin proporsi antara yang murni nganggur dan yang pekerja aktif bisa dilihat oleh aplikatornya.
Yang saya bagikan ini merupakan apa yang tergambar dimata, merupakan realita yang ada saat ini. Semuanya serba tidak jelas, tidak ada ketenangan untuk merajut masa depan dan kehidupan lebih baik, yang ada hanya ketidakpastian. Inilah situasi dunia kerja di Indonesia.
Pada akhirnya ujung cerita, karyawan² diminta menerima kondisi, teriak pun percuma, apalagi demo² yang menurut saya hanya buang waktu dan energi, karena tidak ada solusi dari demo itu, kalau pun ada sekecil debu, yang tertiup angin pun hilang gitu aja.
Karyawan diajak buat iklas menerima jika dizolimi, haknya dikebiri dengan situasi, dibenturkan pada keadaan. Berharap doa² yang tertindas dijabah dan diberikan ganti yang lebih layak.
Karyawan² oportunis tercipta, ada yang berhasil dan ada yang masih berharap. Yang berhasil itu seperti doa yang dijabah. Di luar sana, di perusahaan lain pun nampaknya sama saja, semua ini sawang sinawang. Pembedanya adalah pemegang pucuk pimpinan dimana perusahaan ini dikelola, jika dikelola dengan baik, saya kira mampu bertahan walaupun agak nakal. Tapi masih ada potensi maju dan berkembang. Repotnya kalau pucuk pimpinannya itu 'aneh', ya wasalam jika harapan mu itu 'gelap'.
Pekerja² yang saat ini masih aktif bekerja dengan kondisi terbenturkan sana-sini hanya bisa pasrah, meski mereka juga berusaha mencari loncatan terbaik mereka. Tapi mereka dibenturkan lagi pada realita, tajuk berita "PT Sritex bangkrut", "Mayora melakukan pengurangan karyawan", "PT Organon didemo terkait pemutusan kontrak kerja sepihak" dll., macam² lah topik² berita yang dikonsumsi pekerja² kita saat ini. Termasuk saya yang membuat postingan ini.
Lalu, mau dibawa kemana kah nasib pekerja ini? Apakah kami ini tidak bisa bekerja dengan mental yang baik, tenang, nyaman, untuk mengejar produktifitas, tanpa dibebani hal² non produktif. Apakah jangan² masalahnya ini karena kami tidak bersyukur? Hmm, rasanya tidak, jika kami tidak bersyukur, untuk apa ada aturan atau regulasi dari pemerintah. Jika aturan atau regulasi yang ada itu dipenuhi rasanya itulah rasa syukur terbaik, ketika aturan dipenuhi. Atau memang di negeri ini, "aturan ada untuk dilanggar."
Secara alam bawah sadar setiap pekerja yang ada itu pasti bersyukur, mengucap syukur dalam tiap doa mereka. Tetapi jika yang dia terima (-) dari yang memberi, tentunya bisa dibayangkan doa apa yang terpanjat? Ketika keterbukaan dan rasa saling memberi tercipta dalam ekosistem lingkungan pekerjaan, hubungan antara perusahaan dan karyawan baik, doa dan syukur terbaik akan terpanjat dari semua karyawan, sehingga mininal 1-2 doa terjabah itu adalah berkah buat semua. Tapi sayangnya, pihak pemegang modal tak pernah berpikir demikian, jika bisa dihalalkan, ya lakukan itu. Statement yang paling aman, "lebih baik hilang satu untuk menyelamatkan banyak orang."
Sebuah ironi yang harus diterima kita semua sebagai pekerja. Keinginan sederhana bekerja dengan tenang, nyaman, produktifitas meningkat dan bisa sejahtera, hanya akan ada dalam cerita dongeng untuk saat ini. Pemerintah yang menaungi kita semua (karyawan dan pengusaha) hanya bisa obral janji ketika kampanye. Pada akhirnya lingkarannya akan seperti ini terus.
Apakah kalian mengalami situasi yang serupa melihat kondisi secara umum saat ini? -cpr
#onedayonepost
#nasibpekerja
#postingpribadi
#opini
1 Komentar
Ya benar, semua bermula dari opini, opini tercipta karena realita dari lingkungan terdekat yang beropini, akhirnya ketika semuanya bersatu jadi gambaran realita yang sesungguhnya. #gelap
BalasHapusTinggalkan jejak, jika anda mampir ;p Terima kasih atas kunjungannya - cocoper6