Siapa yang gak kenal dengan almarhum Pak Bondan Winarno, jaman ketika sosial media streaming video belum dikenal luas, beliau dikenal dengan jargonnya, "pokoe maknyuss".
Siapapun yang dengar jargon itu pasti teringat dengan beliau. Jaman beliau masih ada, reviewer makanan yang paling dikenal dan dipercaya ya beliau ini, itu menurut saya, entah bagaimana menurut kalian?
Kalau sekarang mah, sejak Pak Bondan dikenal itu, akhirnya banyak yang mengikuti jejaknya, bahkan orang² biasa seperti kita juga berusaha 'berkarir' di bidang ini (baca: tukang cicip makanan).
Pak Bondan Winarno wafat pada 29 November 2017 karena penyakit kelainan jantung. Beliau dikenal juga sebagai wartawan dan penulis, bahkan sempat menjadi politikus juga lho ternyata. Sempat menjadi calon legislatif melalui Partai Gerinda namun gagal.
Kenapa saya bahas nama almarhum Pak Bondan ini?
Itu karena terpancing ketika melihat timeline media sosial yang membahas kelakuan seorang food vlogger, yang kena nyinyir oleh mayoritas netizen. Lalu kemudian netizen membandingkannya dengan food reviewer legendaris Indonesia, almarhum Pak Bondan Winarno.
Ilustrasi, gambar diambil dari Google.
Food vlogger 'apes' itu berakun Mgdalenaf, dimana dia berkomentar tidak dijamu pemilik restoran padahal mengklaim memiliki banyak pengikut di media sosial yang bisa menguntungkan pemilik restoran.
Cuplikan SC di atas diambil dari artikel berita dari CNN, link berita lengkap bisa dibaca di bawah ini.
Jaman Pak Bondan masih malang melintang di televisi, istilah food vlogger belum dikenal. Setelah media sosial streaming mulai dikenal, ya banyak orang² yang membuat 'acaranya' sendiri, mereview makanan, seperti halnya yang dilakukan Pak Bondan dulu. Ada yang melalui acara televisi konvensional, dan ada yang melalui channel video streaming YouTube.
Kalau istilah food blogger itu sih sudah ada, ya sejak blogger atau media blog ada, review soal makanan itu sudah dilakukan oleh banyak blogger sebelumnya, reviewnya ya via tulisan dan gambar foto dokumentasi mereka.
Istilah 'food vlogging' berasal dari video blogging. Para food vlogger biasanya mengunjungi restoran atau pilihan atau undangan, mencicipi makanannya, dan berbagi pengalaman atau review secara keseluruhan.
Nah ketika saat ini banyak yang berprofesi sebagai reviewer makanan, pas ketemu reviewer makanan yang nyeleneh kelakuannya, netizen itu langsung membandingkannya dengan legenda reviewer makanan Indonesia.
Semua orang mengakui keobjektifitas Pak Bondan ketika mereview makanan yang beliau cicipi. Hal paling sederhana adalah dengan membayar makanan yang beliau cicipi, jadi ketika beliau datang ke suatu tempat untuk wisata kuliner, beliau ini melakukannya sama seperti pengunjung lain, datang dan membelinya, lalu kemudian dicicipi dengan teknik dan stylenya, layaknya reviewer makanan.
Sedangkan baru² ini ada seorang food vlogger yang berkomentar disuatu channel YouTube, bahwa orang ini berharap 'gratisan' dari makanan yang dia review ini. #ngarepgratisan
Sebenarnya sih sama saja ya, mentalnya itu sama seperti mental endors barang. Itu yang membedakan antara almarhum Pak Bondan dengan mayoritas reviewer makanan yang beredar saat ini.
Ketika mau mereview sesuatu dan lalu kemudian dipost dimedia sosial pribadi atau akun lain, berharap mendapatkan barang sampel dari si empunya barang. Bukan dengan cara membeli sendiri.
Contoh misal review makanan, ada itu kedai kaki lima, misalnya 99 Steak, nah ingin direview nih, tapi si pereview ini berharap menu yang akan direview ini diperoleh cuma-cuma alias gratis, barulah akan direview.
Seharusnya ya, kaya begitu harusnya beli sendiri, baru lalu kemudian direview, jadi kan bisa lebih objektif. Meski bisa saja si pereview ini gak terima kalau dikatain gak objektif, tapi sadar atau tidak ketika mendapatkan sesuatu (makanan, barang atau jasa) yang mau dikomentari tapi barang atau jasanya diberikan cuma-cuma, maka akan membuat reviewnya jadi tidak objektif.
Saya punya blog pribadi, yang isinya coba saya pisahkan berdasarkan sesuatu genre atau niche tertentu, salah¹ nya ada blog yang saya gunakan khusus membahas produk² yang saya beli dan isinya itu review terhadap produk yang saya beli itu.
Ketika saya mereview produk atau jasa apapun itu, semuanya ya dilakukan karena saya membeli produknya, baik barang maupun jasa. Ketika saya merasa tertarik pada produk barang jasa maka akan saya bahas dan direview, dan menyimpannya diblog pribadi saya.
Namun bukan berarti saya gak pernah dapat barang atau jasa gratis. Apapun barangnya ketika saya sedapatnya atau sekedar pinjam (untuk barang), dan saya suka, tentunya saya akan review dan mencatatkannya diblog saya, untuk sebagai catatan pribadi, tapi jika itu dibaca dan dijadikan referensi visitor yang datang ke blog saya ya itu gak ada masalah.
Namun tahun² belakangan kan banyak endors yang mereka mendapatkan barang cuma², lalu direview di akun sosial media mereka, selain mendapatkan produk atau jasa, mereka juga dapat uang/ upah jasa endors tersebut. Biasanya sih untuk mereka dengan akun sosmed dengan follower banyak dan cukup dikenal orang banyak.
Potensi inilah yang coba diikuti sebagian kecil orang, ya meski followernya sedikit dan gak begitu terkenal, mereka menggunakan cara yang sama. Intinya sih ujung² nya bisa dapat barang atau jasa gratisan, minimal itu.
Bahkan saya punya teman, dia punya produk, temannya lagi itu diberi uang untuk membeli suatu barang (biasanya makanan) dari online shop yang akan direview. Yang punya online shop ya kalangan dia² juga. Jadi, si temannya ini diberi uang misalnya 100K, untuk belanja barang di online shop S misalnya. Dibayarkan 100rb plus ongkirnya. Tapi ketika dikirim barangnya gak sejumlah 100rb, hanya 50rb saja, tapi temannya disuruh konfirmasi kalau yang diterima sejumlah 100rb, kemudian setelah itu memberikan review bagus di toko dan satu lagi harus mereview barangnya itu di akun sosial medianya. Jadi begitulah cara main dunia reviewer, penuh dengan tipu² ya kalau begitu.
Contoh ☝️itu yang kebetulan saya ketahui dari teman saya yang menerima barang. Ya tujuannya meningkatkan performa online shop nya dan untuk meyakinkan kualitas barangnya itu bisa diterima publik lho.
Itulah realita dunia reviewer saat ini. Memang ada juga yang reviewer jujur, objektif dan apa adanya, dan dia bener² review barang dan jasa seperti dia menjadi konsumen, dia beli, dia coba untuk makanan dan pakai barang & jasa, lalu kemudian menilai apa yang dia rasakan sesuai seobjektif mungkin.
Saya sendiri ketika menilai suatu barang dan jasa, masih belum murni objektif, karena ketika saya memilih barang dan jasa itu murni keinginan dan kesukaan saya, kecuali saya hanya ingin coba saja.
Bahasan soal review atau komentar saya terhadap produk² yang saya beli bisa dilihat di Naturality Shop. Di sana saya bahas produk barang dan jasa atau wisata kuliner yang memang saya ingin bahas.
Semua orang berhak menilai dan berkomentar terhadap sesuatu barang atau jasa yang dia gunakan, entah (+) atau (-) kembali ke pengalaman masing² ketika first impresion.
Namun jika niatnya menyombongkan diri dimedia publik rasanya tidak etis ya, kecuali konsepnya stand up comedy, it's oke, saya yakin orang² akan berpikir atau berkomentar lebih (+), tapi kalau konteksnya sombong, seperti case cuplikan SC di atas tadi, pasti netizen akan bereaksi (-), apalagi kalau terkesan meremehkan.
Bagaimana dengan pendapat kamu? -cpr-
0 Komentar
Tinggalkan jejak, jika anda mampir ;p Terima kasih atas kunjungannya - cocoper6