Kembali sosial media diramaikan dengan berita soal konflik antara karyawan dan perusahaan, dimana ada hak² yang terabaikan oleh perusahaan, dimana pada akhirnya karyawan memilih jalur sosial media untuk menyampaikan kekecewaannya yang kini menjadi konsumsi publik.
Padahal dalam hubungan industrial ini selayaknya ada pihak yang menengahi yakni pemerintah dalam hal ini Kementrian Tenaga Kerja.
Namun pada kenyataannya, hasilnya ya sama saja, endingnya selalu sama tidak ada solusi dan resiko kehilangan pekerjaan atau 'dikebiri' hak² nya, dibuat tidak nyaman pada akhirnya kehilangan pekerjaan juga.
Pakai cara halus dan cara blow up media itu menghasilkan ending yang juga sad ending, jarang yang berujung indah, dalam hal sengketa Bipartit ketenagakerjaan ini.
Ilustrasi, tripartite. Gambar diambil dari Google.
Saya pernah membuat postingan tentang topik serupa beberapa tahun yang lalu, ketika itu entah terpicu dari kasus apa, saya buat postingan tersebut. Begitu pun kali ini saya terpicu membuat postingan baru karena kasus baru lagi ditahun ini.
Baca juga: Hubungan Buruh dan Pengusaha
Tapi karena saking banyaknya masalah yang tak pernah bisa terpuaskan oleh lembaga ketiga ini, maka sosial media dirasa lebih ampuh mendapatkan perhatian semua pihak. Kalau tidak dibahas di sosial media maka isu² seperti ini hanya akan menguap begitu saja.
Karena akan selalu ada imbas ketika seorang karyawan itu mengeluh, atau menyampaikan kekecewaan atau mengajukan haknya kepada perusahaan, pasti ada imbas.
Seperti tidak dilakukan perpanjangan kontrak, diperlakukan kurang nyaman, hingga pemotongan atau hal² yang secara gak langsung merugikan si karyawan yang bersuara.
Itulah yang perlu diperhatikan ketika kita sebagai karyawan mau dan ingin bersuara, pertimbangan² yang banyak itulah yang akhirnya membuat karyawan jadi malas dan akhirnya memilih bungkam.
Sedikit berkaca dari kasus Erna, buruh dari perusahaan aparel di daerah Grobogan, Jawa Tengah ini.
Ini penilaian dari kacamata saya ya, yang sekilas mengikuti kasus ini. Ybs. ini baru bekerja di perusahaan tersebut, kebetulan ybs. informasinya dipilih sebagai sekertaris dari serikat pekerja di perusahaan itu yang baru dibentuk.
Rekannya yang terpilih menjadi ketua serikat pekerja ini mendapatkan nasib yang kurang mengenakan, informasinya kontraknya tak diperpanjang. Entah karena alasan apa perusahaan tak memperpanjang kontraknya, tapi terkadang soal begini perusahaan selalu 'menang'.
Bagi perusahaan yang baca komentar saya misalkan reply komen di sosmed, pasti akan balik mengkontra saya, itu pasti.
Oke back to topik. Nah dalam proses kerjanya si Erna ini komplain, karena sering pulang malam alias over time. Dalam dunia kerja, overtime ini kan ada hitungannya, disebut lembur. Nah lemburan ini tidak ada upahnya, dimana sistemnya tukar jam atau tukar libur, begitu informasinya.
Yang jadi masalah lagi, ketika mau ambil hak tuker lembur ini sulit, apalagi kelas buruh, tapi giliran yang kelas supervisornya atau atasannya itu mudah.
Nah di sini sudah ada kesalahan 2x kan, lembur ditukar jam atau libur, dan proses pengajuan liburnya sendiri dipersulit. Padahal kalau aturan mainnya mau seperti itu dimana lembur ditukar libur atau tukar jam, silakan saja asal ya konsekuen, sedangkan realita ini tidak seperti yang diharapkan.
Akhirnya mungkin ini juga aspirasi dari karyawan² lain yang gak berani bersuara, dan ybs. bagian dari pengurus inti serikat pekerja, mungkin ya ada beban moral untuk menyuarakan ini. Alhasil kasus ini viral, ramai dan jadi konsumsi publik.
Perusahaan pun akhirnya kebongkar trik² nya dalam soal manajemen gaji soal lembur dll., alhasil hal ini jadi celah perusahaan mendapatkan sorotan dinas terkait. Hal ini jelas merugikan perusahaan, dimana sistem ini sudah berjalan selama ini dan dianggap 'aman', tapi gara² ulah satu orang ini jadi ramai.
Otomatis perusahaan dalam hal ini HRD kan menilai negatif terhadap karyawan ini, dianggap api dalam sekam. Otomatis pula, penilaian yang jadi syarat perpanjangan kontrak akan mendapat nilai (-). Ini jelas jadi hak prerogatif perusahaan, dan wajar saja manager HRD perusahaan ini menyampaikan statement diplomatis, ketika suatu saat kontrak si karyawan vokal ini tak lagi diperpanjang.
Kasus² seperti ini sering terjadi dan bukan lagi rahasia, walaupun perusahaan ya kerap menutup-nutupi. Banyak juga yang berusaha membungkam karyawan dengan banyak cara, dengan intimidasi secara halus.
Serikat pekerja yang harusnya umum ada di perusahaan², berusaha untuk tak dibentuk dengan ya itu tadi, tekanan² tidak langsung, dengan statement² yang secara gak langsung menekan.
Bagi karyawan² yang paham pasti memahami soal ini, dan lebih memilih diam dan cari aman, apalagi ya baru bekerja dan membutuhkan uang/ penghasilan.
Bahkan dalam seleksi, pihak HRD itu sudah menggunakan teknik psikologi, dimana karyawan² yang punya bibit vokalisme, kritis dipastikan tidak masuk seleksi lebih lanjut.
Balik lagi, jika ini dibaca oleh orang² HRD yang pro, pasti akan mengelak dengan sanggahannya, padahal di lapangan yang sering umum terjadi ya begini ini. Pihak HRD itu memang diseting untuk pro perusahaan, dan mereka seakan-akan dibuat buta, padahal ya mereka juga buruh, namun terkadang prinsip tidak merasa senasib ini yang membuat mereka acuh dan bodo amat, yang pasti karena takut kehilangan pekerjaan. Ya itulah yang terjadi dimana pun.
Satu sanggahan bagi yang pro, "anda berkomentar seperti ini karena anda belum menjadi pemilik perusahaan!"
Ya itulah kalimat kontra yang saya tunggu, jadi sebelum mereka jawab, sudah ada di kepala saya kalimat itu.
Oleh karena itu, ketika kita berada di posisi yang gak mengenakan seperti itu, kita bisa berkaca, jika nanti kita, anda menjadi pengusaha, ya dari kecil dari bawah, berusahalah untuk menghargai karyawan.
Memang, gak semua karyawan itu punya atitude baik, itu pasti, dan patut dipahami bersama, ada karyawan yang mental kerjanya malas tapi banyak bicara ada.
Jadi kita harus memahami juga karena kita pernah jadi karyawan, harusnya bisa memahami dari bawah. Karyawan itu berteriak ketika ada hak mereka yang hilang, karyawan sama seperti rakyat, ketika rakyat itu diberikan kenyang mereka akan diam, mereka pun akan dengan iklas dan dengan hati membela negara, begitu juga jika konteksnya perusahaan.
Karena karyawan menyadari dia hidup dari perusahaan itu jadi dia gak akan meracuni sumber hidupnya sendiri. Logika ini yang perlu dipahami.
Aturan² yang jelas diterapkan secara adil jangan bagi yang kroco tajam, giliran yang atasan tumpul. Ya begitulah adanya, seperti hal sepele yang terjadi di tempat saya bekerja, yaitulah serba-serbi dunia perburuhan.
Pada kesempatan lain, saya juga pernah mengkritisi atau berkomentar soal omnibus law, kala itu lagi ramai² nya orang berdemo menentang.
Saya punya pandangan lain soal ini, yang kali ini bertolak belakang dengan pandangan buruh pada umumnya, pada kesempatan itu jelas pandangan saya agak 'keras', dimana ya seharusnya buruh juga cerdas melihat aturan² baru, jika ada yang perlu dikritisi itu harus, tapi hendaknya tidak dengan aksi² anarkis dan demo yang cenderung destruktif.
Baca juga: Masih Soal Omnibus Law
Bagi mereka yang pro buruh ketika membaca postingan itu pasti akan berkomentar, mereka pasti merasa tersinggung, itu bagi yang bodoh pastinya tersinggung tapi bagi yang cerdas harusnya jadi bahan instropeksi. Karena pada postingan itu, jujur saja terganggu kala itu dengan demo² rusuh, apalagi aturan Omnibuslaw ini padahal ya ada yang pro ke buruh juga, hanya saja mereka gak baca dengan detail. Malah cenderung memberatkan pengusaha. Namun yang jadi inti adalah pemantauan pelaksanaan dari Omnibuslaw ini, percuma saja aturannya oke tapi kenyataan di lapangan tidak ada actionnya.
Lain padang lain belalang, lain lubuk lain ikannya. Lain di Grobogan, ada lagi di tempat yang lain, dimana 'tidak ada lembur', jadi statusnya dipekerjakan seperti hari biasa. Dimana tidak ada kalender yang harinya berwarna merah, bahkan Minggu sekalipun.
Lalu, jika bekerja dihari Minggu?
Dihitung seperti bekerja hari biasa. Lalu kapan liburnya? Liburnya adalah ditukar hari, jadi pada hari kerja bisa saja si pekerja ini distatuskan libur.
Kalau cara ini nampaknya masih memungkinkan, ini kan hanya caranya saja yang diakali yang penting hari kerja dalam seminggu kan klop, begitu si yang saya tahu. Tapi entah bagaimana dari sisi aturan ketenagakerjaannya seperti apa.
Masalah ketenagakerjaan nampaknya akan terus berjalan seperti ini. Karena tidak ada pandangan akan ada perubahan ke arah lebih baik antara pekerja dan perusahaan.
Pekerja ini pun tidak semua, karena pekerja² yang bekerja ini akan terbagi berdasarkan jabatan, masalah yang sering terjadi adalah pada karyawan kelas bawah, bagi karyawan yang punya jabatan tertentu, umumnya tidak akan berpengaruh pada setiap kebijakan² nakal perusahaan yang 'ngetrik'.
Maksudnya ngetrik ini adalah berusaha mengakali aturan² yang ada guna meminimalisir biaya dalam bentuk apapun, entah biaya pajak, gaji dll.
Alasannya adalah karena minim pemasukan, atau juga ingin meningkatkan laba bersihnya, kalau gak bisa menaikan pemasukan tentunya menekan biaya. Padahal kalau mau menaikan laba, tentunya ya harus ngepus lagi pemasukannya, karena sebenarnya biaya² tersebut kan sifatnya 'harus', karena begini ya jadi begitu.
Lagi² ini pendapat pribadi, yang belum menjadi pemilik perusahaan. Tapi harapannya ketika pernah jadi karyawan, jika kelak menjadi pengusaha atau pemilik perusahaan, hendaknya lebih amanah dan ingat masa susah ketika menjadi karyawan, jangan sampai jadi kacang lupa kulitnya, kira² begitu.
Kalau kalian bagaimana melihat kasus sengketa bipartit ini, sepemahaman atau punya pandangan revolusioner? -cpr-
0 Komentar
Tinggalkan jejak, jika anda mampir ;p Terima kasih atas kunjungannya - cocoper6