Pagi² baca timeline berita, tertulis intinya bahwa hubungan seks diluar nikah, dipenjara 1 tahun. Wow², setuju?
Soal RKUHP atau rancangan kitab undang² hukum pidana soal pasal hubungan seks ini sudah ramai dibahas dan dibicarakan sejak beberapa waktu yang lalu, sejak rancangan undang² ini masih draft, inti pasalnya sudah diungkap ke publik.
Saya sendiri belum dan gak keinginan membaca detailnya, karena baca judulnya saja sudah gak minat karena kurang sreg dengan aturan ini.
Tapi demi postingan ini saya coba mencari tahu pasalnya seperti apa:
Pasal 417 ayat 1 berbunyi:
Setiap orang yang melakukan persetubuhan dengan orang yang bukan suami atau istrinya dipidana karena perzinaan dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau denda Kategori II.
Pasal 418 ayat 1 berbunyi:
Laki-laki yang bersetubuh dengan seorang perempuan yang bukan istrinya dengan persetujuan perempuan tersebut karena janji akan dikawini, kemudian mengingkari janji tersebut karena tipu muslihat yang lain dipidana penjara paling lama 4 tahun atau denda paling banyak kategori III.
Publik secara umum ada yang pro dan ada yang kontra.
Kalau mau jujur saya ada dipihak yang kontra. Wow², why?
Bagaimana ya menjelaskannya? Hmm jadi begini, selama ini kan belum ada rancangan undang² ini, yang terjadi adalah ya natural dan alami, tiap orang punya kebebasannya masing², soal hubungan di luar nikah itu jadi keputusan pribadi masing² orang. Pelanggarannya adalah pada norma agama dan sosial saja.
Tidak ada hukuman yang memaksa para pelakunya, hukumannya tak kasat mata, karena hubungannya dengan dosa dan paling malu jika hukuman sosial dilakukan. Tapi soal malu pun ini asal tidak kepergok secara umum aja, misal gerebekan atau seks di lahan terbuka ketangkap warga lokal.
Kemudian juga, selama hubungan seks ini gak ketauan ya, hukuman sosialnya ini ya aman² saja. Hanya hukuman tak kasat mata yakni dosa yang bekerja dan urusannya dengan Sang Pencipta.
Lalu jika sudah diberlakukan RKUHP soal hubungan seks ini, toh ya akan sama saja? Selama gak ketauan ya akan baik² saja.
Lalu jika mau membuktikan harus seperti apa, itu pertanyaannya.
Saya coba ambil contoh kasus, ini dari pengalaman pribadi ya, walau ini kembali ke akar masalah, soal pembuktiannya seperti apa. Jika mau membuktikan, nanti dikejar ranah pasal hukum yang lain, soal memata-matai, membuntuti itu katanya ada aturan hukumnya juga. Lalu gimana untuk pembuktiaannya, apa harus ada video 'bokep' nya untuk jadi barang bukti?
Jadi ada pasangan CLBK, beberapa kali kerap dijumpai berhenti di ruko² gelap. Semua orang tahu, pandangan masyarakat ketika mobil berhenti di ruko gelap, bukan sekedar parkir, karena ada orang di dalamnya, dalam waktu tertentu.
Ilustrasi, ini contoh sebuah mobil yang biasa melakukan aksi parkir di ruko² gelap. Entah apa yang dilakukan. Apa yang ada digambar diperankan oleh aktor berpengalaman. Jika ada kesamaan dengan realita, itu hanya mereka yang baper.
Apa yang dilakukan?
Nah, bagaimana mengenakan pasal pasal pasangan tersebut?
Percuma jika aturan RKUHP itu ada tapi pada pelaksanaannya nanti di lapangan malah jadi sumber masalah tumpang tindih aturan lain.
Intinya mendapatkan bukti seperti apa, lalu delik aduan, laporan itu yang berlaku dari siapa?
Apakah hanya petugas yang melakukan razia barulah aturan tersebut berlaku? Seperti razia yang dilakukan pol PP, Polisi, Babinkantibmas, Linmas dan Dinas Sosial ke hotel², losmen² atau mobil² goyang.
Percuma jika ada aturan ini tetapi pada akhirnya tidak berjalan, toh biarlah seperti saat ini, mengalir begitu saja, toh ada aturan lain yang bisa jadi acuan untuk memberikan pelajaran.
Belum lagi jika mereka yang jadi pelaku itu orang hukum, pemegang ijasah sarjana hukum, bahkan pernah kena kasus hukum pula dan ditebus, ini misalnya, yang berasa gak usah baper juga. Ini hanya contoh kasus saja, jika seperti itu.
Itu kontra menurut pendapat saya atas ketidakpercayaan pada pelaksanaan aturan ini, implementasi dari aturan ini. Karena untuk membuktikannya, kita sebagai masyarakat apakah punya andil dalam aturan ini?
Balik lagi ke aturan RKUHP yang sedang diajukan dan dibahas di DPR untuk disahkan ini.
Urusan hubungan seksual di luar nikah ini kan sebenarnya kembali ke hak asasi si pelakunya kan. Seperti apapun yang jadi pilihan si pelaku ini, kan dikembalikan ke pelaku sendiri. Selama hubungan tersebut dilakukan di tempat tersembunyi, tidak dimuka umum dan gak melanggar aturan yang sudah ada, kan itu hak para pelaku. Apa hak kita memaksakan kehendak kita pada orang lain?
Itu sih jadi pertanyaan saya. Why, negara mengatur sampai ke hal yang lebih ke privasi ya?
Saya pernah dikomplain terkait privasi ini. Itu saya dikomplain untuk hal privasi yang sebenarnya itu termasuk ranah mata, selama kelihat mata, apa itu jadi privasi, orang kelihatan mata.
Itu pun tidak mengorek-orek atau membuka² barang atau benda yang jadi ranah pribadi, semua dilakukan atas apa yang terlihat. Lalu masalahnya dimana? Sisi privasi mana yang dilanggar?
Lain soal kalau sampai buka² chat WhatsApp orang lain lalu membacanya dan menjadikannya bahan roasting dan jadi bahan membully orang lain, bukan kah itu jauh lebih menyalahi aturan privasi?
Kembali ke topik, secara umum jujur saya tidak begitu setuju dengan RKUHP ini. Dengan banyak pertanyaan² tadi. Jika pun harus diketok palu dan dijalankan, harapan saya sih agar bisa diimplementasikan saja dengan baik.
Dunia barat itu bisa jadi negara maju tanpa harus ribet dengan aturan² seperti ini lho. Apa mungkin pepatah, "banyak jalan menuju Roma" sedang dibuktikan negara ini, kita tunggu saja apakah ada hasil yang (+) dari rancangan undang² ini.
Itu saja sih komentar saya untuk menanggapi pro kontra pembahasan RKUHP di DPR. Kesimpulan saya pribadi, tidak setuju!!! -cpr-
2 Komentar
Hari ini RKUHP diputuskan disahkan DPR RI, maka berhati-hatilah ...
BalasHapusBeberapa penjelasan terkait KUHP yang telah disahkan kemarin:
BalasHapusLalu, bisakah sembarangan orang menggerebek pasangan kumpul kebo? Jawabannya tidak.
Sebab, yang bisa mengadukan adalah suami/istri atau orang tua. Hal itu diatur dalam Pasal 412 ayat 2:
Terhadap Tindak Pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dilakukan penuntutan kecuali atas pengaduan:
a. suami atau istri bagi orang yang terikat perkawinan; atau
b. Orang Tua atau anaknya bagi orang yang tidak terikat perkawinan.
Tinggalkan jejak, jika anda mampir ;p Terima kasih atas kunjungannya - cocoper6