Tragedi Sepakbola, "Tragedi Kanjuruhan", Salahkan Mental yang Tak Bisa Menerima Kalah!

Awal Oktober ini dalam sejarah, dirayakan sebagai peringatan atas tragedi G30 S/PKI yang terjadi sebelumnya, dimana pada tanggal 1 Oktober diperingati sebagai Kesaktian Pancasila.

Tahun 2022 ini terjadi sebuah sejarah baru pada tanggal 1 Oktober ini, tragedi dalam di dunia olahraga sepakbola.

Ratusan nyawa jadi korban akibat kerusuhan setelah pertandingan sepakbola antara Arema Malang vs Persebaya Surabaya di Stadion Kanjuruhan, Malang.

Pertandingan tersebut dimenangkan oleh Persebaya, dengan skor 2-3. Arema sebagai tuan rumah harus kalah di kandangnya sendiri.

Saya pribadi berpendapat inilah yang memicu turunnya para suporter Arema sebagai buntut kekecewaan atas tak mampu menerima kekalahan. Mereka turun ke lapangan mengejar para pemain dan official. 

Kata beberapa pendukung suporter, apa yang dilakukan suporter turun ke lapangan untuk memberikan dukungan moril ke pemain Arema yang tertunduk lesu karena kalah di kandang, di depan ribuan fans fanatik.

Namun ada pula suporter lain yang bertindak tidak seperti yang disampaikan pendukung yang tidak mau kalau tragedi ini dipicu oleh kelompo suporter. Mereka menamai yang bertindak liar itu adalah oknum. Yakni mereka yang memukul petugas, memukul pemain.

Untung saja dalam pertandingan ini sudah diantisipasi, dimana suporter Persebaya dilarang hadir. Apabila suporter Persebaya ada di TKP, yang terjadi akan berbeda, headline beritanya akan lain, yang terjadi adalah berita dengan tajuk bentrok antar suporter.

Sehingga yang muncul adalah hal lain, ketika mencari kambing hitam, polisi kebetulan jadi kambing hitamnya, karena usaha polisi meredam masa menggunakan gas air mata. Kebetulan juga polisi menanggapi massa yang membludak ini dengan aksi represif alias berlebihan.

Polisi sebenarnya juga sudah antisipasi dengan menyarankan agar pertandingan tidak diselenggarakan malam hari, namun saran itu diabaikan panitia penyelenggara.

Ilustrasi, dokumentasi setelah kejadian, gambar diambil dari Google, rilis dari Antara.

Alhasil ketika kerusuhan terjadi, korban ratusan orang berjatuhan, masyarakat sekarang mencari siapa yang salah, semua disebut, polisi, panitia pertandingan, PT Liga, PSSI, hingga stasiun televisi yang mengejar rating ketika pertandingan diselenggarakan malam hari karena banyak yang nonton juga kena tuduhan sebagai biang kerok.

Tapi dari itu semua gak ada yang mempermasalahkan mental. Ya mental, karena semuanya berawal dari mental. Mental bangsa Indonesia itu gak sehat, harusnya disadari itu. Mental tidak bisa menerima kekalahan, itu yang harusnya jadi sumber masalah dan itu yang perlu dibina.

Dalam setiap perhelatan kompetisi, menerima kekalahan itu jadi sesuatu yang sulit. Jujur bahkan diri saya pun menyadari itu.

Contoh paling jelas bisa  dilihat ketika Pemilu, mereka atau partai yang kalah seolah-olah gak mau kalah, menyalahkan ini itu dan mengkambinghitamkan ini itu, untuk mendukung bahwa kekalahannya adalah sebuah kesalahan, playing victim dll.

Pendidikan mental yang harusnya diberikan kepada bangsa ini, dalam kasus tragedi Kanjuruhan ini, masalah mental yang sebenarnya jadi utamanya. Mental para suporter.

Mau pertandingan diselenggarakan subuh, malam, pagi, siang, sore, gak akan ada masalah. Mau menang, kalah atau apapun, tidak akan ada masalah jika semua pihak belajar menerima kekalahan, dan kalah menang adalah bagian dari permainan yang dianggap fair play.

Ya apabila ada serba-serbi di dalamnya dinilai ada ketidak- fair play -an, itu kembali lagi ke mental kejujuran dalam permainan. Lagi² mental orang² yang perlu dibina dalam hal ini. Terkadang memang banyak 'permainan' dalam pertandingan sepakbola, dari pengaturan skor, keberpihakan wasit dll. Tapi itu semua kembali ke mental orang² yang berkecimpung di sana, itu tandanya bermental sampah semua.

Meluas sedikit ke bangsa ini, coba lihat kerusuhan² yang terjadi di Indonesia, baik demo, tawuran, hingga kerusuhan terjadi dalam dunia olahraga, hingga saat konser musik semua dilakukan karena ikut²an, ketika temannya rusuh, ada keinginan untuk ikut² rusuh. Ini kan soal mental, berarti ada yang salah dalam psikis orang² kita, yang saya generalisir menjadi suatu bangsa. Nyatanya memang seperti itu, ketika ada kerusuhan dan menjadi headline, sudah pasti stampelnya adalah bangsa secara keseluruhan.

Saya dulu ketika jaman kuliah, pernah jadi bagian dari mereka, hingga akhirnya tersadar bahwa saya salah dan itu pengalaman sekali seumur hidup.

Waktu itu ada konser Slank di Stadion Satria, Purwokerto. Saya saat itu bersama teman² berniat menonton, tapi kita tidak membeli tiket. Tiketnya sebenarnya murah, tapi herannya saat itu saya tidak membeli, alasannya katanya bisa koq nonton gratis.

Ternyata, nonton gratis itu adalah menunggu "jebolan". Jebolan ini adalah ketika konser sudah dimulai beberapa lagu, penonton² yang tidak punya tiket di depan gerbang berusaha merangsek masuk dengan menjebol pagar depan. Dimana di pagar depan polisi berjaga dengan seragam anti huru-hara, mengantisipasi apabila terjadi rusuh. Memang pasti ada provokator, ada mulut² sampah yang memancing massa bergerak.

Saat itu saya ada di belakang, hanya melihat-lihat awalnya, tapi entah kenapa saya dan teman² jadi ikut²an maju merangsek ikut mendorong ke depan berusaha masuk. Sampai tanpa sadar saya itu sudah di depan gerbang dan memegang pintu besi gerbang. Akibat dorongan dari belakang, itu pagar jadi bergoyang hingga pagar nyaris rubuh, reflek saya memegang pagar besama orang² lain di sebelah saya. Saya cari teman² saya entah kemana.

Polisi yang melihat saya memegang pagar berpikir saya salah satu perusuh yang mau merusak, kondisi saat itu chaos ya, polisi menarik dan mementung orang² di depan pagar, saya tak luput jadi sasaran. Jaket saya ditarik polisi, punggung saya dipentung, dan bagian dada dan perut ditendang. Saya ingat itu sepatu polisi ada di dada saya.

Saya hanya berusaha untuk kabur, karena di dalam kepala saya berkecamuk, "Mampus, ketangkep polisi, masuk berita hanya karena dianggap perusuh diacara konser musik! Malu sama orang tua!" Hal itu terus ada dipikiran dan saya berusaha kabur dari polisi yang mencoba menangkap dan alhasil berhasil.

Setelah lolos saya cari teman² saya yang tercecer, ternyata mereka lagi asyik di depan nonton, mereka ternyata bisa masuk lebih dulu ketika gerbang rubuh. Kebetulan saya yang apes salah posisi, sehingga harus nyaris kena tangkep polisi.

Sejak saat itu saya kapok dan gak lagi² berpikir untuk menunggu jebolan atau rusuh. Punya duit nonton ya bayar, gak punya duit ya di rumah saja, titik!

Masa muda adalah masanya mencoba banyak hal, saat itu benar dan salah masih sulit dipastikan, yang ada hanya ikut²an, karena ada teman, ramai², ayolah. Namun sayangnya kesadaran masing² orang beda², menunggu waktunya kepentok baru sadar, ada yang 1x seperti saya, ada yang butuh 2-3x bahkan ada yang berkali-kali dulu baru bisa sadar, bahkan ada yang nyaris mau mati dulu baru kapok, malah terkadang tersadar ketika temannya sudah mati lebih dulu baru sadar.


Kembali ke soal tragedi yang terjadi kemarin, sebagian besar orang menyalahkan pihak keamanan yang menggunakan gas air mata (GAM). Itu menurut mereka yang katanya ada di lokasi, mereka menyalahkan polisi.


Bagi saya, pendapat pribadi saya terhadap para perusuh memang biasanya orang² pelanggar, dan mereka senang menyalahkan pihak yang mentertibkan, mereka gak suka kalau ditertibkan. Pada kondisi huru-hara, polisi menggunakan GAM untuk menghalau massa.

Namun masalahnya ada aturan yang melarang menggunakan GAM di stadion dan apalagi diarahkan ke tribun, kepada mereka yang tidak berpotensi merusuh.

Jika massa normal, baik² saja, tidak rusuh, saya yakin polisi gak akan menembakan GAM. Jika polisi melakukan itu, jelas mereka yang patut disalahkan, jelas itu.

Sekarang kembali lagi, yang jadi masalah itu kenapa massa turun ke lapangan dan akhirnya dianggap memicu kerusuhan.

Apa yang terjadi jika polisi tidak berbuat apa² ketika massa turun ke lapangan?


Kemudian jika suporter membela diri mereka gak rusuh, lalu kenapa kendaraan yang dinaiki oleh official tim Persebaya digutuki batu? Jika itu bukan bentuk kekecewaan karena tim Arema kalah bertanding, lalu dilampiaskan ke tim yang menang.

Mereka yang mendukung Arema dan suporternya tidak terima jika mereka dikatakan tidak siap menerima kekalahan dan mengambinghitamkan polisi atas kerusuhan yang terjadi.


Saya sempet beradu komentar dengar salah satu netizen, yang mendukung suporter, intinya dia menganggap yang buat rusuh ini oknum bukan suporter. SC nya bisa dilihat di bawah ini:



Jujur saja saya tetap tidak setuju, intinya ini ulah suporter yang gak tertib. Mau alasan seperti apa, ulah mereka toh terlihat menggutuki rantis yang dinaiki tim Persebaya, lalu itu apa? Oknum?

Selalu saja yang disalahkan oknum, itu cara yang paling aman untuk mengamankan suatu kelompok dan komunitas. Sama seperti para dukun, gak mau disalahkan, selalu dikatakan oknum, kemudian polisi yang gak bener selalu dikatakan oknum, padahal ya yang muncul sedikit dibaliknya bisa lebih dari itu, apa layak dikatakan oknum?

Oknum selalu jadi kambing hitam, selalu dan selalu. Itu kenapa bangsa ini gak pernah belajar, karena selalu menyalahkan oknum.


Saya juga mencoba sumber² berita, tentang apa sebenarnya yang terjadi di sana.

Semua pihak di sana berpeluang melakukan kesalahan, dan semuanya diawali dengan suporter yang merangsek turun ke lapangan. Entah apa niat suporter, meski mereka beralibi memberikan support langsung pada pemain mereka yang kalah, namun upaya suporter turun ke lapangan dalam jumlah massa yang banyak ini bisa saja disalahartikan dengan usaha rusuh, melihat hal ini bisa saja petugas awalnya bertindak mencegah, namun aksi represif petugas ini dibalas dengan aksi oleh suporter , entah mereka ini disebut oknum atau suporter. Okelah kita sebut oknum, daripada menciderai mereka sebagai suporter fanatik.

Kesalahpahaman inilah yang mungkin saja bisa jadi pemicu pertikaian di lapangan dan polisi menganggap ancaman dan menggunakan GAM untuk menghalau massa.

Kesalahan petugas lagi memang terpancing aksi reaksi dari massa dengan bertindak represif, itu nampak dari video² yang beredar. Ditambah lagi aksi petugas menembakan GAM ke arah tribun.

Suporter sendiri bertindak salah dengan turun ke lapangan, bahkan ada yang jelas² menyerang petugas dan official dari tim lain, kemudian petugas di sana terlihat jelas menggunakan GAM yang mana, GAM ini dilarang dipergunakan di stadion. Ditambah ada video yang nampak memperlihatkan petugas menembakan GAM ke arah tribun penonton.

Entah bagaimana kasus ini akan bergulir, yang pasti Kapolres Malang yang menjabat saat terjadinya kejadian ini harus dicopot dan digantikan. Ini umum terjadi di korps kepolisian ketika terjadi sebuah kasus yang menyedot perhatian besar.


Dulu mahasiswa juga selalu disalahkan ketika rusuh, seiring waktu ketauan bahwa mereka memang disusupi oleh orang² yang memanfaatkan situasi. Inilah yang dinamakan oknum. Kini kalau ada demo mahasiswa mereka mulai menyisir untuk membedakan mana mahasiswa asli mana yang bukan.

Sepertinya para suporter harus belajar dari mahasiswa untuk membedakan mana oknum mana bukan. Tapi harus diawali dengan suporter itu bertingkah berbudaya dan tertib. Apakah bisa?

Tidak tahu dan saya gak terlalu yakin mereka mampu, cuma waktu yang bisa buktikan dikemudian hari gak ada kasus rusuh hanya karena kalah main, atau kalah dicurangi atau hal lain. Karena itulah yang jadi cara mudah memancing mereka untuk gak tertib dan berbudaya.

Banyak orang yang mendapat serangan ketika menyampaikan pendapatnya ketika menyalahkan suporter dalam hal ini. Mungkin jika saya menyampaikannya secara langsung disosial media publik pasti juga akan mendapat kecaman.

Tapi satu hal, suporter itu harus dididik mentalnya supaya belajar menerima kekalahan dalam bentuk apapun. Siap menang berarti siap juga untuk kalah, jangan mau enaknya saja.

Adu argumentasi boleh saja, kalau saya berprinsip asap terjadi karena api, nah dari mana api itu dipantik? 

Tidak mudah jadi suporter yang cerdas, tertib, beretika dan berbudaya. Tapi kita masih bisa berusaha jadi lebih baik dari sekarang, tanpa menunggu korban berjatuhan lagi, lagi dan lagi. Tapi kalau tidak mau sadar diri ya sulit, jangan heran ke depan masalah serupa akan terjadi lagi, dengan korban sedikit atau lebih banyak. Semua dimulai dari kalian yang merasa diri sebagai suporter. -cpr-

Posting Komentar

1 Komentar

  1. Dari hasil tim independen pencari fakta, untuk kasus ini menemukan pihak2 yang bertanggung jawab, ada beberapa pihak yang sudah ditetapkan tersangka sejak tim independen ini bekerja, salah satunya memang polisi disalahkan keterkaitan dengan penggunaan gas air mata, ditemukan juga gas air mata yang sudah kadaluarsa.

    Ini tidak mengurangi pendapat saya, bahwa tidak hanya soal pihak2 yang sudah disebutkan ini untuk bertanggung jawab, tapi mental suporter kita itu harus diajarkan untuk tertib. Oke saat ini mereka semua bergandengan tangan saling support, tapi apakah ini bisa bertahan, itu yang perlu dibuktikan ke depan. Nanti ketika suasana persaingan kembali, apa yang sudah dijalin ini lupa semua, seakan-akan tragedi yang sudah terjadi tidak diingat lagi, karena suporternya sudah ganti generasi. Mengingat generasi2 muda yang mentalnya kurang terdidik jadi biang keladi masalah diwaktu yang akan datang.

    Pendidikan mental ditingkat sekolah sepertinya tidak bisa dianggap remeh karena ini akan berpengaruh ke kehidupan sosial mereka, jangan sampe punya mental rusuh dan mental pelanggar aturan yang berjamaah. Tipe orang kita kan lebih mudah kesulut ketika berjamaah, namun ketika menjadi individu bisa dipastikan lebih santun, tapi kalau sudah berjamaah itu mental rusuhnya bisa muncul seketika.

    Tetapi jika mentalnya sudah sehat, mau berjamaah atau sendiri, ya tetap saja tak terpengaruh. Justru kalau semuanya baik, ya berjamaah yang baik, bukan rusuh.

    Tetap saya menyalahkan ke mental orang yang perlu juga dibina, jangan diabaikan.

    BalasHapus

Tinggalkan jejak, jika anda mampir ;p Terima kasih atas kunjungannya - cocoper6