Murtad = Musuh / Khianat?

Agak unik memang ketika melihat respon orang yang menanggapi ketika ada 'saudara' seimannya pindah agama, atau bahasa kerennya murtad. Begitupun, yang sering, respon dari orang yang pindah agama itu, akhirnya menjelek²an apa yang dianut sebelumnya.

Hal² seperti itu umum kita lihat di lingkungan kita sehari-hari, di Indonesia. Entah di lingkungan nyata atau di sosial media. Ini bukan berarti saya membandingkan bahwa sosial media tidak nyata, sama² dunia nyata tapi hanya beda kita mengakses informasinya saja. Kalau lingkungan nyata maksudnya adalah lingkungan yang bisa langsung kita akses, sedangkan sosial media itu tidak bisa langsung kita temui, kita tahu melalui perantara 'sosial media' itu.

Baru² ini media kita diramaikan dengan pilihan seorang wanita, ibu dan bahkan oma atau nenek ya karena udah punya cucu. Beliau memutuskan untuk berpindah keyakinan, mengikuti keyakinan leluhurnya. Beliau ini ya publik politik, karena cukup dikenal berkecimpung di dunia politik dan sosial budaya. Kepindahan keyakinannya ini pastinya jadi sorotan.

Ilustrasi, gambar diambil dari Google

Banyak orang akhirnya bisa berkomentar mengenai keputusannya itu. Padahal urusan keyakinan itu sebenarnya hak asasi, jadi tidak ada urusan dengan orang lain.

Namun karena beliau ini orang yang dikenal luas, akhirnya banyak orang bisa saja berkomentar atas keputusannya itu. Ada yang menanggapi biasa saja, ya netral lah, tidak mau ikut campur ke urusan pribadi yang menjadi HAM. Ada pula yang membenturkan dengan dalil² keyakinannya, dengan maksud menakut-nakuti umatnya soal "kemurtadan".

Agama itu ada yang bilang adalah candu, jika tidak bisa dikelola dengan baik bisa jadi 'racun'. Contoh 'racun' seperti mental yang merasa paling benar itu yang menjadi perusak hubungan antar agama.


Berpindahnya keyakinan seseorang sebenarnya bukan suatu masalah, ya karena itu urusannya adalah antara individu dengan Tuhannya. Namun seringnya adalah manusia itu menjadi hakim bagi orang lain, seakan-akan paling tahu dan paling benar urusan menjudge bahwa si A salah karena 'murtadon'. Istilah yang saya gunakan untuk mempleseti mereka yang murtad.

Seperti yang saat ini terjadi, banyak tokoh² yang seolah-olah menjadi hakim atas pilihan asasi manusia. Memilih keyakinan atau agama adalah hak asasi, tetapi pilihan itu dianggap bisa dihakimi jika tak sesuai dengan apa yang dimau oleh 'si hakim' ini. Tokohnya siapa, tonton saja, kentara dan jelas koq siapa² mereka.

Mereka sulit menahan diri karena dorongan dalil², sehingga dengan mudahnya menjadi hakim atas manusia yang lain.

Tidak hanya itu, seringnya lagi adalah sikap tak arif dan bijaksana dari para 'murtadon'. Perilaku menjelek²an keyakinan yang lama diumbar bebas, untuk mencari dukungan, bahkan ada yang mencari sesuap nasi pentas dari panggung ke panggung, menjual kisah hidup lamanya.

Itu hampir terjadi di semua keyakinan, tetapi paling banyak itu bisa dilihat siapa. Itu kembali ke perilaku oknumnya yang mengiyakan secara gak sadar bahwa agama itu ya candu.

Seringnya lagi mereka yang berkoar dari panggung ke panggung ini tidak menjalankan amanah keyakinan sebelumnya dengan baik, beralasan A-Z, padahal dirinya sendiri tak mendalaminya dengan baik. Karena apapun keyakinannya jika dipahami dengan hati, hakikat kebenaran yang sejati akan dijunjung.

Perilaku yang paling arif ya ketika melakukan pilihan asasi ini adalah diam dan melakukan apa yang diyakini baru ini.

Namun berbeda di negeri +62, dimana ketika orang berpindah agama langsung menjadi konten dan dibahas berulang media satu dan lainnya. Yang akhirnya, pembahasannya memancing mereka yang berpikiran picik bersuara, ini yang memperkeruh suasana. Padahal ya sudah, pindah ya hak asasi tho. Asalkan habis pindah ya jalani keyakinan yang baru senormal mungkin, gak perlu jadi konten dan seolah-olah sedang mendulang 'crypto'.

Ada hal menarik, ketika melihat konten pindah agama, dimana si pelaku ini berkisah sotoy dan ngarang, ujungnya menjelek-jelekan agama lama. Padahal ya, menjalani agama sebelumnya saja tidak dengan baik, tapi seakan-akan sudah paling khusuk. Belum lagi dibumbui hoax² yang sotoy, ngaku² jebolan dari pendidikan keagamaan lah, mantan pemuka agama lah dll. Yang pada akhirnya jadi bahan lelucon bagi yang mengerti. Kalau yang gak ngerti sih, akan terkagum² dengan kehoaxan yang dibuat pelaku.


Dari contoh itu, mungkin saja nih lho, karena menyadari diri bahwa kawannya yang murtad dari agama lain bersikap menjelek-jelekan agama lamanya, seakan-akan 'berkhianat', jadi mereka takut karma, suatu saat ada orang lain juga melakukan hal yang sama pada agamanya. Nah jadi sebelum itu jadi, munculah statement² "khianat" dll.

Sedangkan, minim sekali diagama lain, ada yang pindah lalu menjelek-jelekan bahkan berbuat hoax, ngaku sana-sini demi konten dan demi diundang ceramah. Rata² mereka yang berpindah dari agama lain justru lebih baik daripada yang sudah memeluk agama tersebut dari lahir. Tapi tentunta dengan tidak menjelek-jelekan agama sebelumnya lho.


Kita bisa belajar dari sini, bahwa agama, keyakinan itu adalah hak paling asasi manusia, camkan dan sadari itu, dan kita sebagai sesama manusia tak berhak mencampuri urusan manusia dengan Tuhannya, Tuhan itu satu, yang berbeda adalah cara menyakininya. Hormatilah keputusan orang lain dan jangan jadi hakim untuk orang lain atas keputusan berpindah keyakinan. -cpr-

Posting Komentar

0 Komentar