Ketika 'Nahkoda' yang Salah Membawa Kapal

Semua tahu bahwa nahkoda adalah orang yang berkerja mengendarai kapal laut. Karena yang bekerja mengendarai pesawat adalah pilot. Lalu yang mengendarai truk, mobil colt, trailler dan semua kendaraan disebut supir. 

Soal penyebutan profesi itu tidak akan ada yang komplain ya, semua tahu. Nah, kalau misalnya apakah mungkin jika ada contoh kasus, supir trailler misalnya dia mengemudi kapal laut? Atau misalnya, nahkoda mengendari pesawat terbang? Memungkinkan kah? 

Jawabannya mungkin saja dan jika mau bisa, tentunya dengan sertifikasi keahlian. Jika si A misalnya, dia belajar sertifikasi untuk mengemudi kapal laut dan menjadi pilot. Saya rasa masih memungkinkan.

Tapi jika tak punya kompetensi, hanya asal bisa saja, rasanya akan berbahaya untuk kendaraan yang dia bawa. Itu sudah pasti, jika tidak membawa penumpang pun, pasti akan membahayakan dirinya sendiri dan orang lain yang mungkin saja terimbas. 

Ilustrasi • source: kabar24

Saya mengawali dari analogi seperti itu. Supaya berpikirnya disederhanakan. Membandingkan dari kisah nyata kehidupan sehari-hari. 

Saya membayangkan bahwa sebuah perusahaan adalah sebuah kapal laut, yang melintasi samudra, dengan segala rintangannya yang ada di sana. 

Pemilik perusahaan atau manajemen inti atau kita sebut board of directors adalah nahkodanya. Karyawan-karyawan adalah anak buah kapal dan anak istri (keluarga) si karyawan adalah penumpangnya. 

Mulus tidaknya kapal ini berlayar menghadapi masalah di laut tergantung bagaimana kerjasama semua bagian yang ada di kapal tersebut. Nahkoda jelas mengambil peran yang utama di sana. Jadi ketika kapal karam atau terbebas dari karam, itu bergantung pada keputusan dari nahkoda itu sendiri. Jika keputusan salah, ya wasalam.

Contoh: ketika berlayar tidak selalu laut akan tenang, ada kalanya menemui badai. Ketika badai, layar seharusnya ditarik, supaya kapal tak terhempas. Saran para ABK sudah disampaikan, namun nahkoda pede dengan caranya, layar tetap terkembang. Alhasil angin dapat dengan mudah mengempas kapal kondisi badai seperti itu.

Keputusan yang salah akhirnya bisa saja mengandaskan kapal bersama semua isinya. Para ABK tak bisa berbuat apa-apa di atas kapal, karena ini kapal miliknya, nahkoda keras kepala lah yang menjadi pemiliknya.

Alhasil keputusan itu memang membawa kapal ke sisi sebuah tebing-tebing karang. Kondisi yang sedikit selamat sementara. Melihat kondisi ini bukannya menghindar dari tebing-tebing karang sang nahkoda mengambil keputusan aneh lagi, dia memutuskan membawa kapal di sisi tebing karang.

Dia terbiasa membawa truck besar di darat menyusuri tebing-tebing terjal dengan sukses dan itu prestasinya. Tapi dia tak paham, mengemudi truck dan mengemudi kapal sangatlah berbeda. 

Badai masih belum usai, hembusan angin kencang tetap menghempas kapal yang sejak awal masih menaikan layarnya. Alhasil kapal dihempaskan ke karang tajam dan membuat kapal karam sekarang-karamnya, dan usailah pelayarannya.

Ilustrasi • source: liputan6

Dari kisah sederhana inilah kita bisa menarik kesimpulan, bahwa apeslah semua anggota kapal itu dibawa oleh seorang nahkoda sotoy. Oke dia pandai dan ahli di darat, tapi laut bukan bidangnya. Hendaknya meskipun dia pemilik kapal, berikanlah tugas tanggung jawab pada bagian yang memang mampu. 

Semoga saja, apa yang dialami para ABK di cerita analogi di atas tak kita alami, semoga. Kita berdoa saja yang terbaik. -cpr-


Posting Komentar

0 Komentar