Pahala vs Materialistis: Langkanya Lahan Parkir Mobil Strategis

Pertumbuhan kendaraan saat ini relatif cepat. Ya bayangkan, yang dulunya tidak punya mobil sekarang pada punya. Otomatis, awalnya memang tidak mempersiapkan lahan khusus untuk garasi akhirnya saat punya mobil, parkirnya bingung. Ujungnya parkir di badan jalan atau di depan rumah orang atau bahkan numpang (gratis).

Saya sendiri merasakan pengalaman itu. Keluarga saya memang bukan dari keluarga mampu. Punya mobil memang bukan prioritas kami, meskipun di rumah tersedia garasi, namun hanya layak untuk motor. Memang motor jadi kendaraan utama terpilih sejak dulu. Seiring waktu, mobil jadi kebutuhan juga. Namun, budget terbatas tidak memungkinkan merombak rumah yang sudah ada untuk menyediakan garasi tambahan. Akhirnya, mobil diparkir di depan rumah, pinggir jalan yang 'tanggung', besar tidak kecil pun tidak.

Situasi yang sama mungkin juga dialami keluarga lain di sepanjang jalan di mana keluarga saya tinggal. Dulu, jarang sekali yang punya mobil di sepanjang jalan 'komplek'. Tapi sekarang, hampir satu rumah satu mobil. Masalahnya ya sama, tidak ada garasi. Akhirnya ya pada parkir di depan rumah.

Jadi masalah ketika semua kendaraan terpakir di depan rumah, jalan yang 'tanggung' jadi terhambat kendaraan yang terpakir. Seperti zig zag gitu, kalau masing-masing pemilik memarkirkan tepat depan rumah, sisa space untuk jalanan ya jadi seperti gang. Kondisi ini jelas mengganggu pengguna jalan, apalagi jalanan depan rumah saya semi 'komplek' alias masih jalan umum, bukan jalan model perumahan komplek cluster.

Itu terjadi di kota asal saya, kota kecil. Pastinya masalah yang sama juga terjadi di kota besar. Situasinya pasti akan lebih sulit, karena traffic lalu lintas yang lebih tinggi. Belum lagi, kota besar rawan kriminalitas ranmor. Resiko kendaraan yang terpakir di dalam garasi atau lahan parkir saja punya resiko ranmor apalagi yang terparkir 'sembarangan'. Otomatis, lahan parkir jadi penting dipikirkan jika mau punya mobil.

Oleh karena sulitnya memarkirkan mobil di rumah. Mobil keluarga saya bawa ke ibukota. Untungnya saya punya home stay yang punya lahan parkir luas, jadi saya sendiri tidak kesulitan dengan namanya parkir.

Masalah di kota besar, lahan parkir yang minim terkadang jadi masalah. Demi mendapatkan lahan parkir strategis itu, pemilik mobil kadang parkir sembarangan, di depan rumah orang lah, di tikungan jalan, di lahan kosong berpemilik (parkir tapi tanpa ijin). Belum lagi orang ibukota itu materialistis, jadi semua 'jasa' harus diikur dengan uang.

Seperti lahan kosong, sebenarnya itu potensial jika digunakan untuk parkir. Namun terkadang si pemilik lahan tidak iklas begitu saja memperbolehkan orang lain atau tetangga memarkirkan kendaraan di sana. Ada biaya yang harus dibayarkan. Jadi ketika ada yang parkir tidak ijin (bayar), pasti jadi masalah, minimal ribut atau diusir. Tapi wajar karena itu hak si pemilih lahan.

Memang, lahan kosong strategis itu bisa jadi potensi pendapatan (passive income). Tapi ketika terjadi di lingkungan tetangga, akhirnya membuat orang lain menilai materialistis. Tapi tidak bisa disalahkan juga, karena memang realistis. Hal ini kembali kepada pilihan dalam hidup, ketika mengejar materi atau pahala.


Saya bisa lihat, di depan home stay saya, itu ada lahan kosong. Dulunya lahan kosong itu tak berpagar, masih ditumbuhi ilalang dan satu pohon rindang. Sebelumnya di lahan kosong itu sering digunakan parkir mobil-mobil penghuni yang tinggal di daerah itu, yang kepentok tidak punya parkiran. Ada juga dijadikan home base driver ojol dengan mendirikan pendopo di bawah pohon, hingga tempat jualan mie ayam 'jenggot'.

Seiring berjalannya waktu, isu ekonomi membuat si pemilik tanah menertibkan lahan kosong itu, mengaspalnya dan memberinya pagar. Sehingga kini jadi lahan kosong tertutup. Otomatis, yang biasa parkir di sana jadi parkir sembarangan. Malah terkadang terparkir di depan pintu masuk home stay dimana saya tinggal. Sebenarnya lahan kosong dibiarkan kosong begitu, nampak sia-sia, tidak bisa jadi ladang amal.

Saya amati di sekitar home stay saya sendiri. Terbatasnya lahan parkir membuat beberapa orang yang punya mobil parkirnya jadi 'sembarangan'. Bahkan ada yang numpang parkir (tanpa ijin alias tak berbayar). Situasi ini kadang ya mengganggu keluar masuk kendaraan di lahan parkir yang memang jadi haknya.

Contoh di home stay saya, lahan parkir yang luas, jadi membuat orang ingin parkir di sana, sekedar titip. Tapi kalau penghuni kos sedang full stay, otomatis penuh, malah yang harusnya punya hak slot parkir jadi tidak bisa parkir gara-gara diisi mobil yang numpang nitip. Situasi ini jadi masalah tersendiri.


Akhirnya pengelola home stay sampai buat spanduk informasi berlatarbelakang merah, bertuliskan informasi bahwa lahan parkir ini hanya untuk penghuni, tidak untuk yang lain. Mentok pun tamu si penghuni, itu pun dengan syarat tidak boleh menginap, mobilnya.

Ini baru situasi masalah lahan parkir dari kacamata saya. Pastinya banyak masalah serupa di tempat lain, dengan kondisi lahan tinggal yang terbatas. Bisa lihat di perkampungan kumuh atau perkampungan penduduk biasa di Jakarta, tinggalnya di gang-gang tapi hampir kebanyakan mereka punya mobil, lalu dimanakah mereka memarkirkan kendaraannya?

Kisaran biaya parkir titip di lahan parkir umum atau tetangga sebesar 350K - 500K sebulan. Harga berbariatif lho, tergantung si pemilik lahan. Jadi dengan angka segitu, wajar saja pemilik lahan kosong lebih mementingkan materialistis ketimbang pahala surga.

Perbedaannya bertetangga di ibukota dan di kampung ya seperti ini. Tapi bisa saja pada waktunya nanti orang-orang di kampung berlaku hal yang sama, ketika dihadapkan pada tuntutan ekonomi.

Penggunaan stiker parkir menurut saya sih penting juga, sebagai penanda jika untuk parkiran penghuni. Kemudian, jika si pemilik lahan berniat mencari pahala, sebenarnya mudah saja meski harus sedikit repot. Jika lahan parkirnya mau digunakan free dalam arti terbuka khusus, untuk tetangga sekitar atau tamu, bisa menyediakan tempat khusus untuk menuliskan daftar hadir. Jadi siapa yang datang, memarkirkan kendaraan di lahan tersebut, harus mengisi daftar, berisi nama, no mobil, tanggal, jam datang dan jam keluar dan yang penting nomor telepon yang aktif bisa dihubungi. Fungsinya jika parkir ybs mengganggu pengguna lain atau menginformasikan hal-hal lain. Proses ini bisa dilakukan mandiri, berdasarkan kejujuran pengguna. Cara ini bisa jadi solusi mencari pahala.

Kembali, semua ke pilihan masing-masing kita, mau jadi seperti apa, atau mau mendapat apa? Lalu, bagaimana dengan pilihan mu? -cpr-

Posting Komentar

0 Komentar