Nostalgia Old City

Iseng sepulang misa, pengen jalan-jalan, tapi bingung kemana ya? Transportasi yang mudah dijangkau hanya ada krl commuter. Akhirnya, iseng taping saldo e-money, masih ada saldo, akhirnya lanjut deh taping digate. Masuk deh ke peron, tujuan diputuskan main ke Old City saja deh, yang praktis. Ya, sekalian nostalgia, karena Old City adalah tempat saya pertama kali mengenal ibukota, tempat dimana saya tidak pernah bermimpi berinteraksi dengan kota ini.


Tempat yang pertama saya kunjungi adalah halaman pedestrian Museum Bank Indonesia. Suasana siang ini cukup ramai pengunjung yang juga sedang berakhir pekan di sini, lalu lintas juga relatif padat mobil pribadi. Di tempat ini dulu saya pertama kali kenal ibukota, berinteraksi dengan keras dan panasnya ibukota. Di sini ada pedagang asongan, abang ojek sepeda, penjual makanan, pedagang uang, kemudian terkadang juga jadi tempat ngetem supir angkot, supir bajaj dan banyak orang lalu lalang, baik pekerja serabutan atau pejalan kaki biasa.

Saya pertama kali ke sini sekitar tahun 2010. Tidak banyak perbedaan suasana, dulu dan sekarang, mungkin perbedaannya adalah Museum Bank Indonesia sedikit lebih baik sekarang, dibandingkan dulu, jadi penampilan pedestrian di depannya jadi lebih fresh saja.



Lanjut saya berjalan ke sisi samping Museum Bank Indonesia, di sana masih ada pohon yang jadi pelindung terik ketika dulu saya 'bermain' di sana. Aroma yang tidak bisa saya lupa adalah aroma pesing khas amonia. Maklum, banyak manusia-manusia layaknya binatang yang suka kencing sembarangan, alasannya karena sulit menemukan WC umum. Suasananya pun tidak jauh berbeda, hanya lebih fresh karena daerah ini sedang ditata.


Lanjut saya jalan ke arah kali besar. Saya ingat dulu, di kali ini baunya cukup mengganggu. Wajar saja, kali ini jadi tempat buang sampah, buang air kecil, buang limbah dan lain-lain, ditambah air di kali ini tidak mengalir dengan baik jadinya mengganggu pernafasan. Tapi akhirnya ketika gubernur berganti, direzim Jokowi, Ahok dan Djarot lokasi ini dapat perhatian untuk ditata. Di jembatan ini saya pernah merasakan pergantian malam tahun baru 2011.

Kali ini, saya ke sini, di kawasan ini sedang mengalami penataan, air di kali ini sepertinya lagi dikuras habis, mungkin untuk memperbaiki sistem irigasinya dan membersihkan endapan lumpur yang jadi sumber bau selama ini. Saya tidak dapat lihat proyek pengerjaannya, karena ditutupi bedeng seng di sekelilingnya.

Komentar saya berjalan kaki dari depan Bank Mandiri, kemudian melintas di pedestrian Museum Bank Indonesia lalu ke kali besar di belakangnya adalah, akses pejalan kaki yang tidak terlalu difasilitasi. Pedestrian dibatasi separator yang cukup besar, jadi rintangan tersendiri bagi pejalan kaki. Wajar, separator ini ditempatkan untuk menertibkan pengguna sepeda motor yang sering lupa diri, seenak-enaknya melanggar peruntukan, dan juga sering dijadikan lokasi parkir liar. Mungkin karena alasan ini, pengambil kebijakan menggunakan separator untuk membatasi. Namun, efeknya adalah bagi pejalan kaki. Kemudian, maklum juga di kali besar, karena lagi ada proyek penataan jadi akses pedestrian di sana terambil oleh proyek yang sedang dikerjakan.


Lanjut lagi saya mulai masuk ke lapangan di tengah bangunan-bangunan tua, ya di sinilah pusat aktivitas pengunjung Kota Tua. Banyak sekali pengunjung di sini, baik turis lokal maupun asing. Ada yang berfoto, bermain sepeda, sekedar duduk lesehan sambil bercengkrama, banyak aktivitas di lokasi ini.

Dulu di area ini banyak pedagang souvenir yang menjajakan dagangannya. Namun, Pemda DKI Jakarta di era Ahok melakukan penataan. Meski penataan ini tidak diiinginkan pedagang di sana. Pedagang souvenir dan makanan ternyata saya lihat kini berjualan di sisi samping jalur menuju Stasiun Kota, tepatnya di seberang Bank BNI, memakan area pedestrian. Situasi ini memang mengganggu pejalan kaki.


Beberapa menit saya habiskan duduk di pusat aktivitas pengunjung di Kota Tua ini. Sambil mengingat-ingat kenangan tentang tempat ini, ketika dulu bersama sahabat semasa kuliah nongkrong di sini, kemudian bersama my mom dan my brothers, kemudian juga bersama opung a.yani purwokerto dan fam, pernah juga mampir ke sini dengan sepeda saya ketika ikut fun bike HUT TNI dan kenangan-kenangan lainnya.


Suasananya secara umum tidak banyak perbedaan, dulu dan sekarang, penataan yang dilakukan tidak terlalu mencolok, tapi tetap berasa. Yang belum bisa dihilangkan adalah aroma pesing terkadang masih tercium, kemudian pengunjung yang kurang tertib membuang sampah pada tempatnya, jadi masih terlihat kotor sampah-sampah berserakan. Saya masih berharap, tempat ini bisa seperti di negara lain, jadi ketika datang ke tempat ini komentarnya "berasa bukan di Indonesia ya", kalau sekarang sih masih berasa Indonesianya, soalnya masih bau pesing sih hahaha. Tidak tahu juga sih, kelakuan warga kota tua di negara lain seperti apa, sama seperti di Indonesia kah atau mereka bisa menghargai warisan budaya ya?

Inginnya bisa masuk ke museumnya tapi karena suasananya ramai sekali, jadi tidak kondusif, jadi mungkin lain waktu saja. Maklum, saya tidak begitu suka dengan hiruk pikuk orang, apalagi kalau tidak teratur, jadi ruwet lihatnya. Mungkin, berkunjung saat hari biasa bisa jadi solusi.

Sepertinya saya cukupkan catatan saya kali ini. Ya sampe jumpa dicatatan saya yang lain. Semoga Kota Tua tetap jadi wisata budaya dan wisata yang murah meriah. Siapa saja bisa ke sini untuk nostalgia masa lalu, dan menikmati bangunan tua era kolonial dulu. See you next post.cpr

Posting Komentar

0 Komentar