Merasakan Jadi Commuter Dengan Moda Lain

Selama ini, saya memang kurang tertarik dengan mobilitas menggunakan angkutan umum, terutama untuk mobilitas ke kantor. Karena, membuat tidak 'bebas', memilih kemana pun ingin pergi. Kemudian, banyak waktu terbuang, karena habis stug dimoda transportasi umum. Memang itu terbukti, apalagi di ibukota, waktu kita hanya akan terbuang sia-sia untuk berkeliling apabila menggunakan angkutan umum. Kecuali, spot satu dengan yang lain berada di akses yang mudah dijangkau.

Kendaraan pribadi jadi moda transportasi yang saya gunakan untuk mobilitas selama ini. Praktis, efisien waktu dan biaya, mudah dikendarai. Kendaraan pribadi itu adalah motor tentunya, karena jika mobil, tentunya tidak memenuhi syarat efisien waktu dan biaya, terutama untuk mobilitas di ibukota sehari-hari. Justru, saya memberi stampel, mobil adalah sumber kemacetan, karena sebagian besar badan jalan habis 'dimakan' ukuran mobil itu sendiri. Berbeda dengan motor yang lebih ringkes. Hanya saja, motor yang tidak tertib jadi sumber kesemrawutan sekarang ini.

Pertengahan Agustus 2017 ini saya putuskan mencoba merasakan jadi pengguna moda transportasi lain, baik yang umum dan yang alami yaitu BTW (bike to work).

Memakai opsi transportasi alami, yaitu dengan gowes sebenarnya menyenangkan, tetapi resikonya di jalanan ibukota rasanya cukup tinggi di tengah lalu lintas yang sangat semrawut dan padat sekali. Apalagi, belum ada fasilitas khusus yang mendukung transportasi ini.

Memilih opsi transportasi umum pun komentar saya, cukup menyenangkan. Karena, kebetulan rute dan akses saya menuju moda transportasi umum ini mudah. Kos saya hanya berjarak kurang lebih 700 meter jika ditarik garis lurus dari stasiun kereta listrik, yaitu Stasiun Pondok Cina. Kemudian, letak kantor saya pun di posisi strategis yang mudah dilintasi. Ditambah lagi sejak ada ojek online, akses ke semua spot jadi lebih mudah. Belum lagi, akses saya menuju Trans Jakarta pun tidak jauh dari kantor.

Saya rasakan naik kendaraan umum adalah waktu saya banyak terbuang dan ongkos yang harus saya keluarkan jadi lebih tinggi. Bayangkan jika dengan motor, cukup dengan 20rb saya bisa pulang pergi kantor 2-3 hari. Tapi dengan kendaraan umum, untuk pulang pergi kantor menghabiskan 6rb untuk KRL, 3,5rb untuk Trans Jakarta dan 12rb untuk ojek online. Total budget sehari adalah 41,5rb. Mahal!!! Boros!!! Tapi saya tidak menolak, apabila disediakan budget khusus untuk itu selama sebulan, saya mau deh naik angkutan umum, dengan syarat tidak mengurangi jatah budget saya yang lain. Hehehe

Itu dari sisi biaya, kalau dari sisi waktu tempuh, untuk berangkat saya butuh waktu 1,5 jam berangkat dan pulang 3,5 jam. Untuk pulang jauh lebih lama, karena saya memilih naik Trans Jakarta dulu ke Stasiun Kota, baru lanjut ke Stasiun Pondok Cina. Kalau mau cepat, saya sebenarnya bisa memilih moda lain, tapi sepertinya harus merogoh kocek lebih.

Kesimpulannya, naik angkutan umum itu cukup menyenangkan karena saya bisa melakukan aktivitas cuci mata, lihat jalanan tanpa harus lelah berkendara, kemudian bisa tidur sejenak sambil menunggu sampai di tempat tujuan. Hal lain yang jadi alasan untuk tidak memilih opsi ini adalah tidak ada efisiensi biaya dan waktu, tercatat di atas hitung-hitungannya. Kemudian lagi, apabila traffic pengguna lagi tinggi, di dalam KRL atau Trans Jakarta itu sangat amat tidak manusiawi, seperti berasa dalam box penggilingan daging, karena semua manusia berhimpitan dalam sebuah box. Itu sangat tidak nyaman. Tapi, ya itulah serba-serbi menggunakan angkutan umum. Semuanya dikembalikan ke opsi, penggunanya. Bagi saya, sesekali coba-coba tidak apalah, terutama ketika ada rejeki lebih untuk dihamburkan, transportasi umum bisa digunakan.

Ini catatan saya, sekaligus, testimoni bagaimana jadi commuter dalam beberapa hari terakhir.cpr.

Posting Komentar

0 Komentar