Hubungan Buruh dan Pengusaha

Tidak pernah ada habisnya jika kita membahas perselisihan antara dua belah pihak yang sebenarnya saling membutuhkan ini, yaitu buruh dan pengusaha. Mereka ini sering kita kenal dengan sebutan 'bipatrit'. Sebenarnya ada satu pihak lagi yaitu pemerintah yang mana posisi pemerintah adalah memfasilitasi keduanya agar sinergi. Bila ketiga pihak ini bersatu dalam satu perundingan atau dialog kita sering mendengar istilah 'tripartit'. Sama halnya dengan hubungan buruh dan pengusaha, pemerintah juga punya hubungan yang saling membutuhkan pula, jadi hubungan mereka secara ga langsung adalah segitiga yang saling terhubung satu sama lain.
Sejak dulu, ketika jaman revolusi industri permasalahan diantara ketiga pihak ini sudah ada, bahkan hingga sekarang permasalahan hubungan yang kurang harmonis kerap terjadi, apalagi ketika perekonomian sedang tidak stabil yang 'memukul' dunia usaha. Hubungan yang paling pelik adalah pada buruh dan pengusaha. Buruh selalu menuntut perbaikan kehidupan dan kesejahteraan, sedangkan pengusaha menuntut keuntungan dan produktivitas. Pemerintah memposisikan sebagai fasilitator, regulator serta menata kesemuanya agar berjalan dengan baik. Pemerintah punya kebutuhan sebagai pendapatan negara, bisa dari sektor pajak, penerimaan non pajak, serta perolehan devisa dari transaksi perdagangan baik ekspor atau impor. Bila kesemuanya berjalan dengan sinergi maka kehidupan ekonomi negara kita ini akan berjalan dengan sebagaimana mestinya, dan kesejahteraan yang diidamkan bisa diwujudkan.
Permasalahan yang dialami negara ini juga dialami negara-negara lain, terutama negara-negara yang sedang berkembang. Yunani yang sering saya dengar punya masalah pelik antara sektor pekerja dengan pemerintah, bahkan sampai tidak terciptanya iklim usaha yang kondusif. Idealnya memang terciptanya suasana yang kondusif, namun sampai saat ini hal itu tidak pernah terwujud. Kenapa?
Pertanyaan yang sama selalu terlontar setiap kali kita melihat kekisruhan hubungan bipatrit itu. Setiap hari buruh, buruh selalu memanfaatkannya untuk beraspirasi dalam hal ini berdemo, demo yang dilakukan cukup merepotkan dan membuat jalanan utama di ibukota macet parah. Beberapa waktu lalu juga terjadi demo buruh, buruh dari berbagai daerah sekitar Jakarta datang menuntut diberlakukan upah UMR yang telah ditetapkan Gubernur DKI Jakarta sebesar Rp 2.200.000,00. Memang selama ini permasalahn terkait demo dan tuntutan buruh adalah soal upah, serta jaminan kerja, pesangon, serta pemecatan/ PHK sepihak. Hanya masalah itu yang kerap diangkat dan dituntut para buruh kepada pemerintah dan pengusaha.
Sebenarnya apapun keputusan yang sudah dibuat oleh kedua belah pihak dengan disaksikan oleh pemerintah pun selalu tidak pernah ditepati, selalu saja ada klausal yang dilanggar, hal inilah yang membuat selalu munculnya peseteruan diantara mereka.
Saya mengamati sebenarnya diantara keduanya, dan pemerintah, pihak-pihak yang terkait tidak ada saling percaya. Buruh tidak percaya terhadap pengusaha dan pemerintah, begitupun pengusaha yang tidak percaya terhadap buruh, atau pengusaha tidak percaya terhadap pemerintah yang tidak mampu menciptakan iklim usaha yang kondusif. Hal inilah yang sebenarnya menjadi akar permasalahannya.

Pandangan yang saya miliki saya akui masih sangat subjektif. Dalam hal ini saya lebih cenderung mendukung pergerakan buruh untuk menuntut keadilan terhadap pengusaha. Kemudian, untuk pemerintah tuntutannya adalah penciptaan iklim usaha yang kondusif serta penegakan klausal-klausal ketenagakerjaan yang dilanggar oleh pengusaha. Pemerintah juga dituntut mencipatakan iklim usaha yang minim biaya tinggi. Toh selama ini ekonomi biaya tinggi tidak mampu diselesaikan pemerintah sebagai fasilitator dan regulator serta penindakan. Biaya tinggi itu akan membebani pengusaha dalam menjalankan usahanya. Pengusaha sudah cukup menanggung beban biaya atas upah, janganlah dibebankan biaya-biaya lain-lain yang tidak jelas, sedangkan daya saing ekonomi yang harus diperhatikan. Bila suasana yang kondusif itu tidak tercipta, sampai kapan pun daya saing ekonomi kita akan rendah.
Kalau saya berpendapat, semua bermula dari pemerintah, disamping saya berpihak pada buruh sebagai pihak yang lemah. Pengusaha selama ini dianggap pihak yang berkuasa karena mereka punya sumberdaya keuangan yang bisa mengatur kekuasaan. Hal inilah yang harusnya coba dihilangkan pemerintah. Oleh karena itu kenapa untuk menyelesaikan masalah ini harus dimulai dari ketegasan pemerintah terhadap fasilitator, regulator, serta penindakannya. Selama ini yang terjadi kekuatan uang dari pengusaha dapat mengatur pemerintah, sebaliknya pemerintah takut akan pergerakan mobiliasi buruh besar-besaran.
Pemerintah hendaknya memulai kinerjanya dengan efektif, terutama Kementrian Tenaga Kerja, yang berhubungan langsung dengan masalah ini. Kebijakan dan arahan tegas presiden juga harusnya membantu arah kebijakan semakin jelas dan tegas, agar semua pihak bisa terakomodir. Sebenarnya bila kesejahteraan buruh diperhatikan, otomatis kesejahteraan masyarakat secara agregat pun meningkat, karena sebagian besar masyarakat Indonesia diisi kaum buruh atau pekerja. Bila ekonomi bawah baik, perputaran ekonomi di bawah akan berjalan, pengusaha pun dengan sendirinya akan berjalan, karena tingkat konsumsi dan produksi bisa sinergis. Pemerintah juga mendukung kemudahan-kemudahan fasilitas dunia usaha, dalam rangka menekan biaya-biaya tinggi, dengan begitu daya saing ekonomi pelan-pelan akan tumbuh.

Saya sendiri punya pengalaman tidak cukup baik dengan hubungan industrial, meski tak sampai clash, hanya ada perasaan tidak sependapat. Saya sebenarnya hanya sebagai karyawan, namun terkadang perusahaan itu bertindak sesukanya, hanya mementingkan keuntungan semata, tanpa memperhatikan kesejahteraan dari karyawannya. Perusahaan selalu bersuara bahwa mereka selalu mengalami kerugian, bahwa untuk keterbukaan terhadap keuntungan perusahaan tidak pernah dibuka secara transparan terhadap karyawannya. Perusahaan hanya memikirkan keuntungan untuk sebagian gelintir orang saja di petinggi-petinggi manajemen.
Perusahaan dimana saya bernaung sekarang ini lebih mementingkan berinvestasi untuk menguntungkan sebagian orang saja daripada berinvestasi menjaga assetnya yaitu karyawannya. Memang asset yang jelas mereka perhatikan adalah soal pengelolaan AR, tetapi jelas juga bahwa karyawan juga merupakan asset yang harus dijaga dan diperhatikan kesejahteraannya. Namun di sini tidak, karyawan sekali lagi hanya dianggap sapi perahan saja. Hal yang tidak habis saya pikirkan, kenapa begitu piciknya "mereka".
Sebuah pemikiran yang mungkin dimiliki seseorang yang belum terjun ke dunia wirausaha. Tetapi apa yang saya alami, mudah-mudahan jadi pelajaran agar tidak ada lagi korban karena ambisi mencari keuntungan lebih tanpa memperhatikan kesejahteraan karyawan. Sepertinya untuk menjadi enterpreuner sejati, bukan hanya membutuhkan jiwa wirausaha, modal, tetapi juga jiwa sosial untuk membantu sesama. Jika itu dimiliki, kemungkinan terciptanya perekonomian berbasis kerakyatan akan tercipta. Sesuatu yang sangat sulit terwujud di dunia yang masih diperbudak oleh modal dan uang. Karena memang tidak bisa dipungkiri uang memegang peran luar biasa dalam dunia bisnis.
Bila kita mencari kehidupan dunia yang idealis sungguh tidaklah mungkin, karena sampai kapan pun dunia yang sejati adalah seperti ini. Bila kita ingin merubahnya harus dimulai dari diri sendiri. Menjadi pengusaha yang sesuai dengan idealnya, mudah-mudahan bisa diwujudkan sekarang atau di generasi selanjutnya. (^_^)?


Posting Komentar

0 Komentar