Dagelan Titah Raja dan Rakyatnya - Bagian 1

Terpikir akan sebuah script sebuah drama, dimana ingin menggambarkan kegelisahan yang terjadi saat ini, ketika sebuah "sebuah kapal, di nahkodai banyak kapten, menyebabkan kapal ini berlayar tak tentu arah, apalagi ditengah badai."

Saya menggunakan analogi ini, meminimalisir pihak-pihak yang merasa jadi tokoh-tokoh dalam drama ini.

Ilustrasi • source: ciptaji.com

Titah Anget Tai Kucing

Di suatu daerah yang subur dan cukup sumber daya, berdirilah sebuah kerajaan tidak besar dan tidak juga kecil. Kerajaan ini dipimpin oleh seorang raja utama, namun ada pula raja-raja lain yang mengelilinginya. 

Titah raja adalah sesuatu perintah yang berharga dan harus dilaksanakan, bahkan termasuk raja-raja pendamping. 

Di kerajaan, sang raja ini punya penasihat yang kerap membantu mengurusi rumah tangga kerajaan, bisa dibilang dia adalah perdana menteri. 

Perdana menteri ini punya beberapa mentri yang membawahi beberapa bagian urusan rumah tangga kerajaan, guna menjalankan aktivitas kerajaan. 

Dibawahnya lagi ada abdi-abdi dalem yang sekaligus sebagai rakyat jelata, yang didukung dan mendukung kerajaan agar tetap berdiri. 

Sang raja dan raja-raja lainnya ini tidak tinggal di kerajaannya ini, dia tinggal di mansionnya di tempat lain yang jauh dari kerajaannya. Sehingga semua perintah diberikan secara 'LDR', dan semua ditanggung jawabkan ke perdana menteri. 

Sang Raja ini dikenal kerap banyak permintaan, dan dikenal sebagai raja yang punya visi yang sangat jauh di depan, dan punya cara berpikir yang 'unik', butuh pemahaman yang baik untuk mengerti apa mau dari sang raja. 


Suatu waktu, Sang Raja berpikir, ingin makan jajanan yang lagi naik daun, 'odading'. Sang Raja berpikir, andaikan kerajaan saya punya 'odading' sendiri, sepertinya baik, dan rasanya mudah membuatnya. 

Titah diturunkan ke kerajaannya. Perdana menteri menerima titah itu dan membahasnya dengan para pembantunya, mentri-mentri dan rakyatnya. 

Perdana menteri sadar, untuk membuat odading bisa saja dilakukan di kerajaan ini, tapi ada bahan-bahan yang tak tersedia, belum lagi alat-alat pendukung membuatnya pun tidak tersedia lengkap.

Perdana menteri menyampaikan situasinya, namun apa dikata, perintah Raja ya harus dilaksanakan. 

Alhasil, semua penghuni kerjaan 'kebakaran', menyiapkan apa yang dimaui oleh sang rajanya. Maka dipersiapkanlah segala sesuatu yang dibutuhkan untuk mengabulkan kemauan raja. Inventarisasi sumberdaya yang dimiliki. Yang tidak ada, dimintalah karena ini untuk mewujudkan kemauan raja. 

Untuk mewujudkan kemauan raja ini ada sesuatu yang harus dibiayai. Dimintalah ke pengelola kerajaan di mansion pusat. Kami membutuhkan ini-ini-ini. Pengelola kerajaan di pusat bertanya balik, "ini untuk apa?"

Kami pun heran, bukankah ini titah raja, koq kenapa mereka yang mengelola di mansion pusat tidak tahu. Akhirnya dijelaskan bahwa raja bertitah demikian bla bla bla bla. Setelah mendengar penjelasannya ini pun tidak langsung paham, dengan nampak berat dikabulkan lah request kebutuhan itu. 

Seiring berjalan waktu, semua pihak di kerajaan sudah memproses apa yang dimaui sangat raja, proses masih belum 100%. Tiba-tiba ada informasi baru, bahwa raja bertitah menginginkan hal lain. 


Tanpa banyak membantah, titah yang baru pun diterima. "Raja menginginkan rainbow cake!" Semua penghuni kerajaan bingung lagi, untuk membuat itu kita tak punya sumberdaya itu. Kalau hanya buat bolu biasa kita bisa. Ditawarlah titah itu, dan langsung ditolak mentah-mentah. 

Akhirnya sama seperti tadi sewaktu mau mempersiapkan membuat odading. 

Btw, odading yang lagi proses pembuatan itu akhirnya memang selesai, tapi jadi terbengkalai. Ketika dikirim kepada raja pun akhirnya hanya B saja, tidak ada appreciate kepada rakyatnya yang sudah berusaha membuat. 

Selanjutnya prosesnya mengabulan titah raja hampir sama seperti proses odading tadi. Belum selesai 100% ada lagi titah baru. Seterusnya saja seperti itu sampai tahun-demi tahun berganti. 

Sang rakyat akhirnya mulai memahami pola ini salah, namun tak bisa berbuat apa-apa memberi masukan pada Sang Raja, karena sang raja yang tetap merasa dirinya paling benar dan mempunyai segala sumberdaya nya. 

Rakyat pada akhirnya hanya bisa diam dan berpikir, ada yang salah di sini. Tapi apa daya, suara rakyat hanya setinggi akar rumput saja, tidak pernah bisa didengar, kalau pun didengar pun suara kami dianggap sok tahu. •bersambung

Posting Komentar

0 Komentar