Perempuan Disunat? Hari Tidak Ada Toleransi Bagi Mutilasi Alat Kelamin Perempuan Internasional (International Day Zero of Tolerance for Female Genital Mutilation)

Adakah yang tahu setiap tanggal 6 Februari diperingati hari apa? Pastinya tidak semua tahu, kecuali aktivis perempuan, yang memperjuangkan hak asasi kaum perempuan di seluruh dunia.

Hari ini diperingati sebagai hari internasional, dimana tidak ada toleransi terhadap mutilasi pada organ kelamin perempuan. Dikenal dengan Hari Tidak Ada Toleransi Bagi Mutilasi Alat Kelamin Perempuan Internasional (International Day Zero of Tolerance for Female Genital  Mutilation).



Sunat sendiri diperkirakan lahir dari kebudayaan Mesir Kuno, namun ada pula yang menyebutnya lahir dari kebudayaan Arab Selatan dan sebagian Afrika. Praktik sunat ini sering digunakan sebagai ritual keagamaan, ritual kedewasaan, hingga hukuman pada masa perang. Praktik ini umum di beberapa negara di Afrika, seperti Mesir, kemudian oleh suku Inca, Aztec, Maya, hingga suku Yudaisme dan Muslim. Praktik sunat di Mesir sudah dikenal 2.400 SM, itu terjadi pada kaum pria/ laki-laki. Namun bagi orang Yunani, praktik sunat dianggap aneh. 


Kembali ke topik yang mau saya bahas, hari peringatan internasional ini mulai diperingati sejak tahun 2012, ditetapkan oleh PBB melalui lembaga terkaitnya, dalam hal ini WHO (World Health Organization).

Sunat? Bagi saya pribadi, istilah 'sunat' lazim, bagi kaum pria, seperti cuplikan sejarah persunatan tadi. Ternyata, entah penyetaraan gender atau apa, sunat juga diberlakukan pada kaum wanita lho. Saya pernah mendengarnya beberapa waktu silam, tapi kali ini saya rasa perlu mengetahuinya lebih dalam.

Pada awalnya, saya berpikir, bahwa keadilan pria dan wanita adalah, pria harus sakit mengalami sunat dan wanita melahirkan. Tapi lama-lama saya berpikir juga, ternyata tidak adil, wanita melahirkan berkali-kali, sakit berkali-kali (jika punya anak banyak) sedangkan laki-laki hanya cukup sekali. Memang sih itu kembali kepada kodrati, jadi, "adil tidak adil" ini, tidak bisa digunakan. Saya salah memahami keadilan di sini.


Apa itu sunat perempuan?
Kembali ke konteks. Apa itu sunat perempuan? Sebenarnya, mekanismenya hampir sama dengan sunat pada laki-laki, yakni ada bagian organ reproduksi yang "dipangkas". Hanya saja, sunat pada perempuan dipermasalahkan karena tidak ada manfaat medisnya, justru sebaliknya. Sunat pada perempuan hanya berhubungan pada nilai budaya, moral dan agama yang memaksakan hal ini, yang jika dipikir secara logika keilmuan tidak sesuai.

Oleh karena itu, banyak aktivis perempuan yang berjuang menolak keras praktik pencideraan seperti ini.

Praktik sunat perempuan ini dikenal di negara-negara Afrika, Timur Tengah, Asia termasuk Indonesia, meskipun di Indonesia dianggap 'berbeda' praktiknya. Paling umum adalah di negara-negara yang didominasi oleh mereka yang punya keyakinan bahwa praktik ini adalah "kewajaran" atau bagian budaya dan bagian ajaran tertentu.

Praktik sunat atau khitan wanita diberikan definisi resmi oleh WHO, UNICEF dan UNFPA pada tahun 1977, sebagai praktik penghilangan sebagian atau seluruh bagian luar kelamin perempuan atau perlukaan lainnya pada organ kelamin wanita untuk alasan non-medis.

Kapan praktik ini terjadi, yakni pada usia beberapa hari setelah kelahiran sampai masa pubertas. Namun, yang sering terjadi dilakukan ketika masih bayi.

Praktik ini biasanya dilakukan oleh tukang sunat tradisional, menggunakan pisau kecil. Prosedurnya bisa berbeda-beda di tiap negara, dan tergantung kelompok etnisnya. Jika di Indonesia bisa saja dilakukan oleh tenaga medis.

Secara umum, ada beberapa tipe/ cara/ model sunat pada wanita ini, seperti tercatat di bawah ini:
+ Tipe I: Praktik sunat dilakukan dengan cara pengangkatan sebagai atau seluruh klitoris perempuan. Termasuk pengangkatan preputium (kulit di sekitar klitoris). Dalam di dunia medis disebut klitoridektomi.
+ Tipe II: Dikenal dengan istilah 'eksisi'. Dimana, pengangkatan dilakukan sebagian atau seluruh klitoris dan labia minora (kulit tipis seperti lidah yang berada di sekeliling vagina.
+ Tipe III: Dilakukan dengan cara menjahit labia menjadi satu, dengan tujuan membuat lubang vagina menjadi lebih kecil. Dalam dunia medis, praktik ini dikenal dengan istilah infibulation.
+ Tipe IV: Merupakan klasifikasi sunat perempuan dimana dilakukan semua tindakan pada bagian luar kelamin (vulva), dengan cara menusuk, melubangi, menggores, atau pemotongan di daerah genital.

Lalu, atas dasar apakah dilakukan praktik semacam ini?
Praktik ini lahir ketika masyarakat dunia pada umumnya masih berkutat pada ketidaksetaraan gender, dimana perempuan masih menjadi pihak lemah atau kaum nomor dua. Praktik ini merupakan usaha untuk mengontrol seksualitas perempuan, serta pemahaman soal kesucian, kemurnian, kesopanan.

Selain itu, keyakinan tertentu menambah pemahaman bahwa praktik ini adalah sesuatu yang benar dan baik untuk dilakukan, karena ada dalam ajaran agama, yang diyakini. Walau terkadang, ada saja sanggahan bagi mereka yang sadar akan nilai-nilai hak asasi manusia yang sesungguhnya.


Manfaat Secara Medis
WHO sebagai organisasi kesehatan dunia, yang resmi diakui secara internasional, mengatakan tidak ada manfaat apapun dari praktik ini bagi kesehatan perempuan itu sendiri. Justru yang terjadi adalah hal sebaliknya.

Dampak negatif dari praktik sunat pada perempuan ini antara lain:
(-) Hilangnya sensitifitas pada organ intim perempuan, akan sangat mempengaruhi rangsangan, stimulus, pelumasan alami ketika proses hubungan intim terjadi. Disfungsi seksual.
(-) Pendarahan yang mengakibatkan shock atau kematian.
(-) Infeksi pada seluruh organ panggul.
(-) Retensi urin, karena pembengkakan dan sumbatan pada uretra.
(-) Disfungsi haid, seperti mengakibatkan hematocolpos (akumulasi darah haid dalam vagina), hematometra (akumulasi darah haid dalam rahim), hematosalpinx (akumulasi darah haid dalam saluran tuba).
(-) Infeksi saluran kemih kronis.
(-) Inkontinensi urin (tidak dapat menahan kencing)
(-) Bisa terjadi abses, kista dermoid dan keloid.


Bagaimana dengan Indonesia?
Indonesia termasuk salah satu negara Asia yang melakukan praktik ini. Biasanya dilakukan ketika perempuan masih bayi. Merupakan suatu tindakan turun temurun, misalnya si mbah putri dulunya mendapat sunat perempuan, lalu melanjutkan pada anaknya (ibu), nah anaknya ini (cucu) pun dilakukan hal yang sama, dan seterusnya. Belum lagi, keyakinan tertentu mengganggap praktik ini bagian dari menjalankan ajaran agama.

Hal umum yang dilakukan di Indonesia terkait sunat pada perempuan ini antara lain:
(-) Secara simbolis, menempelkan gunting, pisau atau silet pada klitoris.
(-) Secara simbolis, menggores atau menusuk klitoris.
(-) Secara simbolis, menyentuh atau membersihkan klitoris dan alat kelamin perempuan bagian luar dengan sepotong kunyit atau daun kelor atau tumbuhan lain sesuai dengan budaya yang berlaku di daerah setempat.
(-) Memotong sedikit atau semua penutup atau kulup klitoris.
(-) Memotong sedikit bagian dari klitoris.

Fatwa tahun 2008 dari keyakinan tertentu mengatakan bahwa sunat perempuan boleh dilakukan asal tidak menyimpang. Yang wajib melakukan sunat adalah laki-laki dan pada perempuan merupakan makrumah. Mereka menegaskan batasan atau tata cara khitan perempuan ini harus sesuai dengan ketentuan 'syariah', yaitu:
(-) Dilakukan cukup dengan hanya menghilangkan selaput (jaldah atau praeputium atau kulup) yang menutupi klitoris.
(-) Tidak boleh dilakukan secara berlebihan (insisi dan eksisi).
Sunat pada perempuan yang dimaksudkan ini bukan termasuk tindakan yang dikategorikan sebagai female genital mutilation (FGM) oleh WHO.


Komnas Anti Kekerasan Terhadap Perempuan, punya pendapat berbeda, bahwa sunat yang dilakukan pada wanita baik simbolis atau lebih dari itu merupakan suatu tindak kekerasan.

Tahun 2006, Kementerian Kesehatan RI mengeluarkan larangan sunat perempuan yang dilakukan oleh petugas kesehatan. Melalui Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 1636 Tahun 2010 tentang Sunat Perempuan, pemerintah mencoba melindungi hak asasi kaum perempuan dari praktik yang tidak ada manfaatnya bagi kesehatan perempuan itu sendiri.


Tapi pada tahun 2013, ternyata peraturan menteri tersebut dicabut, dengan adanya Permenkes Nomor 6 Tahun 2014. Pencabutan itu dikarenakan banyak pihak yang berfikir bahwa sunat perempuan yang dilakukan di Indonesia tidak sama dengan yang dilakukan di Afrika. Di Indonesia, sunat dilakukan dengan cara menggores kulit yang menutupi bagian depan klitoris dengan menggunakan jarum steril tanpa melukainya. Kemudian, bagi tenaga medis yang tetap melakukan sunat perempuan ini tidak ada sanksi yang diberikan.



Lalu bagaimana pada masa saat ini? Pro kontra yang terjadi, apakah masih layak sunat perempuan ini dilakukan? Kalau buat saya pribadi, jika tidak ada manfaatnya, buat apa masih dilakukan. Mungkin proses 'simbolis' yang tidak menyakitkan masih bisa, tapi ketika sudah melukai, rasanya terlalu dipaksakan. Tetapi kembali pada apa yang diyakini pastinya akan sulit, karena logika pun tidak akan diterima.

Hal terutama lagi adalah sosialisasi yang harus terus dilakukan, karena itu penting. Jika sosialisasi, topik diskusi dibawa lebih ke aspek ada tidak manfaat rasanya lebih penting. Tapi jika berbenturan dengan keyakinan itu yang agak sulit. Sosialisasi lebih menitikberatkan pada manfaat dan resiko yang bisa terjadi jika memaksakan praktik ini.

Tidak mudah mengubah kebiasaan, apalagi ada anggapan "manut wong tuwo", sebuah pandangan keliru jika tak melihat konteksnya apa dulu. Mulai dari kita, yang sadar dan paham, karena kita akan berkeluarga dan beranak cucu, sebarkanlah pemahaman yang logik dan masuk akal, supaya tidak terjerumus pada pemahaman yang salah.

Catatan ini saya buat, karena ingin tahu mengenai praktik sunat perempuan seperti apa, dan melihat bagaimana negara melihat praktik ini. Ternyata ya begitulah. Meskipun saya laki-laki, apapun itu, sunat pada perempuan tidaklah penting, apalagi sampai melukai, apalagi dipaksakan pada anak masih bayi yang belum bisa memilih apapun, pemaksaan hak asasi.

Kebetulan, pas pada peringatan hari anti-sunat perempuan, saya mendukung gerakan ini dan menggalakan sosialisasi mengenai ketidakmanfaatan praktik ini dilakukan, terutama bagi kesehatan perempuan itu sendiri, terutama wanita Indonesia dan seluruh wanita di dunia. Biarlah kaum pria saja yang tersunat, kaum wanita jangan, "berat, biar kami saja." -cpr-


Sumber Informasi:
Khitan pada Wanita. Wikipedia | diakses 06 Februari 2020
Sunat. Wikipedia | diakses 06 Februari 2020



Posting Komentar

6 Komentar

  1. iyaaa sih, menurut mitos ini demi menahan nafsu si prempuan. ga tau bner apa engga :D

    BalasHapus
    Balasan
    1. Perempuan juga manusia, sama seperti pria, apakah adil jika perempuan dibatasi sedangkan pria tidak? Semua manusia punya nafsu, tapi tidak dengan praktik ini, yang justru punya dampak negatif lebih banyak.

      Tindakan kriminal dewasa ini justru dilakukan oleh laki-laki, yang tak bisa menahan nafsu tadi. Lalu apakah perempuan harus selalu jadi korban, hanya karena mitos. #berpikirbersama

      Hapus
    2. waduh.. baru tau saya mas, kalu sunat perempuan untuk itu.. mungkin mitos kali mas!

      Hapus
    3. Iya mitos yang salah kaprah. Perlu sosialisasi yang gencar untuk melawan mitos yang kurang tepat ini.

      Semoga tak ada lagi korban2 mutilasi seperti ini yang dihadapi kaum perempuan di dunia.

      Hapus
  2. Pernah terinspirasi dari sebuah film robot, dimana kesadaran manusia dipindahkan ke robot, dan mungkin dengan cara itu manusia tidak perlu berkembang biak, tinggal menyalin kesadaran sebelumnya namun dengan memformat pemikiran sebelumnya dan jadilah mahluk baru yang perlu belajar seperti bayi.. seperttinya memang mustahil, hahah tuhan memang gak bisa ditandingi

    BalasHapus
    Balasan
    1. Film Robot? Sepertinya bagus, saya belum pernah nonton, nonton secuplik-cuplik saja, belum tuntas.
      Tapi memang Tuhan memang Esa, tiada tanding dan banding. Karena Dia yang paling segalanya di alam semesta.

      Hapus

Tinggalkan jejak, jika anda mampir ;p Terima kasih atas kunjungannya - cocoper6