Menjadi Putra Altar 'Lagi' Saat Misa Tutup Peti

Tuhan itu baik, menjawab rasa penasaran dan keinginan saya, entah bagaimana Tuhan menjawab itu.
Jadi saat Misa Kenaikan Tuhan, saya berujar dalam hati ketika melihat putra-putri altar bertugas dalam ekaristi kala itu, ada keinginan bertugas dalam ekaristi, memegang wirug. Saya pikir, kapan saya bisa pegang, mau ke sakristi sudah tidak banyak kenal dengan generasi baru putra-putri altar saat ini.

Waktu berjalan tanpa saya sadari, ada kabar duka dari kerabat. Kami sibuk dengan kedukaan dan kegiatan rutin novena pentakosta.

Eh delalah, pas kebetulan, dihari ini tanggal 8 Juni 2019, ada misa tutup peti untuk Kak Piter, atau Ignasius Piter Piatu yang berpulang. Romo Danang memberikan misa siang ini. Ternyata ada pendupaan dengan wirug. Dari pihak gereja hanya menghantarkan wirug dan perlengkapan pendupaan, tapi untuk yang bantu romo dupa tidak ada. Akhirnya delalah, saya mengalir begitu saja jadi asisten romo untuk pendupaan.

Saya akhirnya seperti nostalgia menjadi putra altar lagi. Ya meski tidak memakai jubah putih, saya hanya memakai baju biasa. Romo menugaskan saya sebagai asisten untuk pendupaan. Menjaga wirug tetap menyala untuk pendupaan. Romo awalnya bilang, dipakai saat awal dan persembahan, eh ternyata sampai akhir dipakai.

Jadi di awal itu dipakai saat setelah lagu pembukaan, romo mendupai meja yang dijadikan meja altar dan sekelilingnya termasuk mendupai peti jenazah dan pernak-perniknya. Lanjut kemudian pada saat masuk persembahan, saat romo mempersiapkan roti dan anggur sebelum konsekrasi. Lanjut saat doa syukur agung, nah saat ini sebenarnya inisiatif saya, karena mantan PA, jadi ketika prosesi ekaristi ada wirug dupa, saat konsekrasi ya sekalian lah. Setelah itu, saya pikir sudah selesai, wirug saya simpan. Tadinya saya mau matikan dengan air, tapi saya pikir nanti saja lah kalau misa selesai. Eh benar, pas selesai komuni, romo memanggil saya, menanyakan 'api' masih ada. Ditanya seperti itu saya langsung paham, bahwa perlu pendupaan lagi saat pemberkatan peti. Saya ceklah, dan beruntung arang masih menyala sedikit, bisa untuk mendupai.


Ya begitulah kisah jadi PA dadakan, setelah pensiun lama. Ada kebanggaan dalam hati, kesenangan tersendiri, dan saya rasa Tuhan baik, dia mendengar gumaman saya dalam hati dan menjawabnya.

Saya menyadari, sebenarnya Tuhan itu pasti menjawab doa, harapan, permohonan atau apapun itu dalam konteks positif, hanya waktunya kapan tidak ada yang tahu, bisa cepat bisa juga tidak sama sekali. Satu hal yang pasti, dia memberikan apa yang kita butuhkan, bukan apa yang kita 'inginkan'. Dibaca ya, kata bertanda kutip, artikan dengan luas kata tersebut.

Sayangnya ya, tidak ada dokumentasi saya saat jadi PA dadakan. Saya sudah coba minta foto ke kerabat yang waktu itu jadi sie dokumentasi, tapi apa daya hanya beberapa foto saja. Walau begitu, catatan ini bisa jadi pengingat yang baik, meskipun kalau ada foto jauh lebih baik.

Begitulah kisah menjadi PA dadakan setelah pensiun cukup lama. Ya mudah-mudahan, ada kesempatan reuni jadi PA saat ekaristi dengan personel generasi awal saat dulu saya masih PA. Amin. -cpr-

Posting Komentar

0 Komentar