Refleksi Pribadi: Duka Lion JT610 Jakarta - Pangkal Pinang

Senin pagi diakhir Oktober 2018 membawa duka bagi seluruh rakyat Indonesia, pastinya semua rakyat Indonesia merasakan duka ini, meski tidak ada sanak saudara yang jadi korban. Tapi duka ini sepertinya terasa, terutama pada mereka yang pernah naik pesawat terbang.

Entah apa yang dipikirkan dan dirasakan penumpang saat sebelum terbang hari itu, saat terbangun dari tidur, bersiap-siap pergi ke bandara untuk jadwal penerbangan, untuk urusan pekerjaan, pribadi dan lain hal.

Semuanya pasti berlangsung seperti biasa, suasana layaknya ketika kita mau pergi dengan pesawat, datang bandara, check in, boarding, lalu menunggu di ruang tunggu, menanti panggilan masuk ke dalam pesawat. Pastinya penumpang bersiap jauh-jauh sebelumnya, sebelum jadwal penerbangan pukul 06:20. Tidak akan bakal ada yang menyangka, bahwa setelah beberapa menit lepas landas, adalah waktu terakhir di dunia, dibawa ke udara lalu dihempaskan ke laut. Pukul 06:33 adalah waktu terakhir hilang kontak antara pesawat dan menara ATC.


Setiap kali saya membaca berita demi berita tentang kabar duka jatuhnya pesawat ini, saya seperti dibawa berimajinasi bahwa saya ada di sana, jadi bagian penumpang. Dimanakah saya sekarang ini? Saat malam, melihat langit mendung ditemani kerlap cahaya lampu gedung. Tim SAR, BASARNAS, Kepolisian, TNI dan unsur terkait bekerja mencari serpihan, kepingan dan puing pesawat dan jasad penumpang. Lalu, dimanakah saya? Tubuh yang lunak ini entah jadi apa ketika dihempaskan dari langit ke genangan air laut.

Saya memang sering sekali membayangkan situasi seperti ini ketika sedang berpergian dengan pesawat. Pergi dengan pesawat terbang memang memberikan sensasi tersendiri, antara hidup dan mati itu tipis sekali. Memang, moda apapun, kemungkinan untuk terjadi insiden tetap ada, namun pesawat menurut saya punya sensasi berbeda, karena kesalahan akibat disengaja atau tidak semua resikonya fatal. Angka harapan hidupnya menurut saya lebih kecil.

Kembali lagi, tidak ada yang tahu kapan maut datang, dengan cara apa, bagaimana, tanpa bertanya "siapkah anda dijemput pagi ini?" Tidak akan ada pembukaan atau ijin untuk Malaikat melakukan tugasnya.

Catatan ini sungguh jadi refleksi saya pribadi, membayangkan hal yang pastinya tidak diinginkan kebanyakan orang. Bukan berarti siap juga, tidak ada yang siap, apalagi hanya manusia biasa yang kerap berdosa. Apa yang terjadi, bisa jadi bahan refleksi untuk terus memperbaiki diri, setidaknya melawan 'daging', lebih dekat dengan Nya dan menjalankan apa yang seturut kehendak Nya. Sisanya, lakukan hal baik terhadap sesama, tanpa memandang 'jubah' yang dikenakan, yang berusaha mengkotak-kotakan manusia satu dan yang lain atas dasar keyakinan.

Semoga, keluarga yang mengalami dan merasakan duka mendalam ini mendapat kekuatan, keteguhan, ketenangan hati, dan entah bagaimana berusaha mengiklaskan apapun yang terjadi pada akhirnya. Anugerah selamat atau kematian, menyerahkan semuanya pada Yang Maha Pencipta jadi cara terbaik bagi manusia yang beragama. Semoga bagi para korban, diberikan jalan yang terbaik apapun itu.

Semua orang yang hidup pasti akan dihadapkan pada suatu waktu ketika kehilangan (baca: kematian), kehilangan orang yang disayang, dengan cara yang tidak disangka atau disangka sekalipun. Bahkan kita sendiri bisa jadi yang 'hilang' dari antara mereka (baca: sanak saudara, teman dll.) Mau tidak ya harus siap, dan seperti yang saya tuliskan di atas, memang kita harus mempersiapkan diri untuk saat itu.

Insiden laka didunia penerbangan Indonesia terjadi tidak hanya kali ini, sejarah panjang laka dunia penerbangan baik sipil, militer hingga pesawat latih selalu saja ada, tidak terjadwal pasti, semua bisa menimpa siapa saja. Pertanyaannya sekarang, masih beranikah berpergian dengan moda pesawat terbang?

Kalau saya, kalau memang tugas pekerjaan, why not, itu keharusan. Kemudian, jika ada dana lebih, dan memang butuh waktu cepat, why not, memang pilihan terbaik. Yang pasti, bagi saya pribadi ketakutan pasti ada, tapi mencoba pasrah saja, toh saya selama ini sudah membiasakan diri dengan mengkondisikan disituasi seperti itu, meskipun tidak percis serupa. Justru saya lebih menakutkan pada orang terdekat seperti keluarga yang berpergian dengan pesawat. Adik saya nomor dua sering sekali, kadang ada kekhawatiran, sepupu dan sanak saudara yang lain.

Kalau direfleksikan, kenapa justru lebih takut jika orang lain yang 'pergi' daripada diri sendiri? Jawabannya adalah ego, karena kita takut menghadapi kenyataan ditinggal mereka yang kita sayang. Itulah jawabannya. Ketika diri kita sendiri yang 'pergi', kita tidak akan pernah merasakan kehilangan, yang merasakan adalah mereka yang kehilangan.

Apabila ada rasa ketakutan dalam hati, ketika berpergian dengan apapun, bawalah semua perkara dalam hidup dengan berdoa. Doa di bawah ini bisa dilakukan sebelum memulai perjalanan:

"Ya Tuhan, dahulu Engkau pernah menyelamatkan anak-anak Israel yang menyeberang laut dengan kaki kering. Dahulu kala Engkau pernah menyelamatkan anak-anak Israel yang menyeberang laut dengan kaki kering. Dan tiga raja budiman dan sebelah timur telah Engkau tunjukkan jalan kepada-Mu dengan bimbingan bintang ajaib. Kami mohon kepadaMu: Karuniakanlah kami suatu perjalanan yang selamat, dengan cuaca yang bagus dan menyenangkan. Berilah supaya dengan bimbingan malaikat-malaikatMu yang kudus, awak pesawat terbang ini mengantarkan kami mencapai tujuan perjalanan kami dengan selamat. Kami mohon juga agar keluarga yang kami tinggalkan Engkau hibur dalam rasa damai, sampai akhirnya boleh mendarat dengan aman di tempat tujuan. Terpujilah nama Mu, sekarang dan selamanya. Amin."

Mari bawalah doa bagi semua korban laka penerbangan Lion Air JT610 pagi ini. Semoga diberikan yang terbaik bagi semuanya, baik bagi korban dan keluarga yang saat ini sedang kehilangan. -cpr-

Posting Komentar

0 Komentar