Mengkambinghitamkan Tradisi/ Budaya atas Bencana?

Tradisi budaya sedekah laut di Bantul dibubarkan warga. Begitulah kira-kira kulit berita dimedia online yang saya baca. Sebelumnya, juga saya baca postingan dari salah seorang teman asal Cilacap, dimana di sana banyak betebaran spanduk penolakan atas kegiatan budaya serupa sedekah laut di sana.



Awalnya saya pikir, wajar satu dua acara dibatalkan karena satu lain alasan, yang bisa dijelaskan lebih masuk akal. Tapi ternyata, ada hal diluar nalar umum semua keyakinan yang menganggap hal tersebut "salah", dan tidak diperkenankan dilanjutkan.

Semua itu berawal dari pola pikir pendek sebagian dari mayoritas kelompok orang. Yang mengkait-kaitkan atau saya lebih senang menyebutkan mengkambinghitamkan sesuatu atas hal lain. Kesimpulan-kesimpulan picik yang dicampur adukan dengan pilihan-pilihan politik dan identitas.

Ilustrasi Tradisi Sedekah Laut (kabarnusa.com)

Bencana alam gempa bumi di Lombok, menurut sebagian kecil dari mayoritas, menganggap terjadi karena 'hukuman', karena ada tokoh di Lombok yang mengalihkan pilihan politik dan nuraninya ke pihak lain. Statement ini nyata-nyata digembar-gemborkan oleh pemuka-pemuka agama kelompok yang berseberangan itu, yang merasa dikhianati. Mereka menyimpulkan dengan keyakinan yang ingin diakui benar itu, bahwa bencana terjadi akibat salah pilih.

Tidak lama berselang, alam kembali bergejolak, bumi Sulawesi Tengah diguncang gempa dan tsunami. Kali ini seakan-akan 'tidak terima' atas bencana yang terjadi, sebagian kecil dari mayoritas mengkambinghitamkan tradisi atau budaya leluhur masyarakat setempat. Karena masyarakat setempat tetap melaksanakan tradisi leluhur tersebut maka dihukumlah dengan bencana gempa bumi dam tsunami.

Selang tidak lama pula, muncul kembali dimedia sosial, soal acara dari kelompok dengan aktivitas sosial menyimpang (baca: kelompok sesama jenis) yang akan dilaksanakan di Bali. Sebelumnya ramai sekali seruan penolakan dan sebagainya, eh tidak berapa lama Situbondo, Jawa Timur diguncang gempa, yang mana getarannya sampai ke Bali. Kembali lagi, sebagian kecil dari kelompok mayoritas mengingatkan dan mengkambinghitamkan hal tersebut sebagai peringatan hukuman awal, jika masih tetap melaksanakan, maka akan ada hukuman lebih besar, begitulah seruan yang banyak beredar.

Atas peristiwa-peristiwa kebetulan itulah, ditariklah kesimpulan, bahwa barang siapa yang melakukan hal-hal negatif, syirik, musrik, dan maksiat, makan akan datang hukuman-hukuman yang dibayar lunas. Inilah yang kemudian disebarkan ke semua kalangan, dan menjadi alasan pelarangan semua kegiatan-kegiatan budaya yang dianggap 'melenceng' menurut ajaran agama tertentu. Akhirnya, muncul pemikiran-pemikiran pendek dari mereka ini atas ketakutan-ketakutan atas hukuman Tuhan mereka, yang ujungnya dipaksakan untuk keyakinan yang lain.

Memang sih dikitab suci keyakinan umum tercatat bahwa Tuhan pernah menghukum umatnya yang salah, dengan dibayar lunas, kisah tentang hancurnya Kota Sodom dan Gomora, Bangsa Babel, tulah-tulah yang dikirimkan oleh Nya sebagai tanda atau hukuman atas kedurhakaan manusia. Oke sih, itu bisa dikatakan benar, dan saya meyakini itu, bisa saja demikian, ketika kita berbuat salah lalu dihukum, wajar. Lalu apabila kita merasa tidak salah, misalnya sudah taat, ikut perintah-perintah Nya, tapi tetap dihukum lalu apa kita bisa komplain pada Tuhan?

Rasanya tidak begitu deh cara pikirnya. Hendaknya kita memang wajib hidup seturut kehendak Tuhan, tapi jika ada sesuatu bencana, dalam bentuk apapun hendaknya kita lebih instropeksi diri secara pribadi, bukan untuk dikoar-koarkan. Seharusnya pun pemuka agama bertindak dan mengajarkan bagaimana kita supaya baik dengan cara yang kreatif. Hanya saja memang kebiasaan kita baru mau taat saat melihat tawaran hukumannya.  Akhirnya, karena sulit mengajak umat bertobat, yang diobral itu hukuman-hukuman dan laknat.

Bencana alam sendiri memang rahasia Yang Maha Kuasa, tidak ada yang pernah tahu kapan terjadinya. Bahkan manusia tidak punya hak akan itu. Manusia hanya bisa mengusahakan menimalisir dampak yang terjadi dengan ilmu pengetahuan yang ada. Soal kapan dan karena apa itu haknya YME.

Ilustrasi Tradisi Malam 1 Muharam

Tradisi dan budaya yang ada di bumi nusantara Indonesia Raya sudah ada sejak dulu, sebelum ajaran agama masuk. Jadi, menurut saya, terkesan mereka datang seperti 'penjajah', datang dan mengubah semua hal atas suka-suka mereka. Padahal, penyiar yang membawa datang keyakinan-keyakinan baru itu justru menggunakan tradisi dan budaya setempat supaya bisa diterima masyarakat setempat. Karena jika tidak begitu, masyarakat pasti tidak mau mengikuti apa yang diajarkan. Tapi sekarang, tradisi dan budaya yang ada dianggap biang keladi atas bencana yang terjadi. Jadi kalau dipikir, jahat sekali ya mereka memanfaatkan tradisi dan budaya, lalu sekarang dilaknat-laknatkan.

Ilustrasi Sedekah Bumi

Entahlah, itu pola pikir segelintir orang saja yang kemudian disebarkan supaya terkesan jadi 'kebenaran' umum atau hanya usaha kelompok tertentu yang dimanfaatkan demi menggeser pemikiran seseorang atas pilihan politik. Bagaimana saya tidak berpikir demikian, ada elit yang memang memanfaatkan kebodohan pola pikir dan literasi pemahaman yang rendah di dalam masyarakat. Tujuan jelas demi keberpihakan dan demi pundi-pundi suara. Hanya cara itu yang instan soalnya, maklum saja tidak ada hasil kerja yang bisa dijual supaya masyarakat mau memilih.

Indonesia pun bukan negara agama, yang dilandaskan hanya pada satu agama saja, Indonesia adalah bangsa beragama dan berkeyakinan pada Kuasa Yang Esa, dengan segala perbedaan cara mengungkapkannya. Jika diukur dari satu kacamata agama saja, sudah pasti apa yang dilakukan agama atau keyakinan lain adalah syirik atau bertentangan, lalu apa perlu dibubarkan dan dirusak juga?

Saya jadi berpikir kembali, bagaimana nasib tradisi malam 1 syuro yang sering dilakukan masyarakat lokal, keraton-keraton Jawa. Kemudian tradisi-tradisi lain yang masih tradisional warisan leluhur sebelum 'terkontaminasi' keyakinan-keyakinan dari luar. Bagaimanakah semua tradisi dan budaya itu? Apakah akan dimatikan supaya tidak terjadi bencana lagi? Jika aktivitas tradisi dan budaya berhenti dilakukan, tapi masih bencana, pihak atau apa lagi yang akan dijadikan bahan kambing hitam lagi? Atau nanti pada orang dengan pilihan politik berbeda yang harus terima tulahnya? Heran saya kadang-kadang dengan pola pikir mereka yang bersumbu pendek. Seperti orang yang mengaku taat agama tapi menyampaikan bahwa "Mau masuk surga? Cinta sama Allah? Cinta sama Rasulullah? Cinta sama Prabowo? Cinta sama Sandiaga Uno? Betul? Insya Allah masuk surga" ujarnya. Siapa yang berbicara tinggal searching saja di Google.


Ilustrasi

Saya pun pernah mengkritisi soal acara budaya atau tradisi masyarakat di daerah Ganceng, Jakarta Timur. Di sana setiap tahun diadakan acara festival, yang dikenal dengan Hajat Bumi Kramat Ganceng. Acara tersebut dilakukan tidak jauh dari area pemakaman. Katanya sih ada acara potong kerbau lalu melakukan sesembahan kepala kerbau di sana. Entahlah, apa yang melandasi acara tersebut pada awalnya. Namun, acara tersebut pun pada dasarnya dibalut dengan baca-bacaan keyakinan tertentu. Pertanyaannya, apakah acara tersebut juga dikatakan syirik? Hmm, saya tidak bisa menjawabnya. Kritisi saya lebih kepada acara tersebut menganggu kelancaran lalu lintas, karena kan harus menutup jalan dan membuat warga lain harus memutar jauh. Itu sih yang jadi bahan kritisi saya dan satu lagi, ngapain harus 'memberi makan' dengan menguburkan kepala kambing segala, bagus itu dibuat makan-makan orang sekampung secara gratis.

Namun sebenarnya jika kita mau memahami inti dari ungkapan yang mereka lakukan adalah wujud syukur pada YME, atas segala rahmat dan limpahan berkah pada masyarakat sekitar. Caranya bagaimana itu bisa beranekaragam dengan syarat masih bisa dimaklumi oleh aturan-aturan adat istiadat setempat yang diakui atau disepakati bersama. Jadi, sebenarnya, kita dengan penganut keyakinan berbeda tidak berhak memaksakan kehendak terhadap mereka. Dan itulah yang selalu saya tanamkan didalam kepala, supaya tidak seperti kaum sumbu pendek yang mengedepankan sisi emosionalitas ketika menghadapi perbedaan.


Saya jadi khawatir kedepannya jika konflik ini tidak diatasi sedari awal. Landasan atau dasar apa yang bisa menentukan sebuah tradisi dan budaya itu berhak dilakukan atau tidak? Lama-kelamaan jika manajemen konflik tidak dilakukan sejak dini, pasti kedepannya akan ada gesekan antar masyarakat apabila masyarakat tidak diberikan pemahaman yang bagus dan menggunakan akal pikiran untuk mencerna sesuatu.

Untungnya saya lahir dan besar dikeluarga dengan paham keyakinan yang punya pemikiran lebih universal melihat sesuatu, tidak bersumbu pendek. Sehingga apa yang terjadi coba lebih dulu dipahami baik buruknya, tidak mudah tersulut, atau dengan mudah mengedepankan emosionalitas. Jadi, mulai sekarang buang jauh-jauh pikiran-pikiran picik seperti kaum sumbu pendek. Lihatlah bencana sebagai sarana instropeksi diri dan memang itu kuasa YME, disamping itu memang alam selalu punya cara sendiri untuk menyeimbangkan ekosistemnya. Manusia hidup itu harus bisa bersinergi dengan alam, bagaimana pun bentuknya, bukan bisanya menyalahkan atau mengkambinghitamkan suatu kejadian merasa diri paling benar. Banyak pembelajaran yang membuat kita semakin dewasa menyikapi kehidupan. -cpr-

Posting Komentar

0 Komentar