Calon Pemimpin Tak Matang, Maksa Nyalon Terus

Hendaklah kita bisa belajar dan mengambil nilai positif dari dagelan politik saat ini. Ketika ada seseorang yang berambisi menjadi capres namun kurang mempunyai kepemimpinan yang matang, meskipun ybs. punya dasar pendidikan didunia militer. Sadar dirilah jika memang belum matang, jangan memaksakan diri, buang jauh ambisi, lebih baik mendidik anak buahnya agar tidak ABS.


Catatan ini saya buat karena gemas sih liat dagelan politik saat ini, yang satu kubu ya tenang-tenang saja, satu lagi sibuk sendiri demi menyusun strategi supaya tidak kalah ketiga kalinya.

Tidak salah sih sibuk untuk berusaha agar menang. Tapi caranya itu yang nampaknya tidak elegan, caranya itu cengeng dan nampak sekali bahwa calonnya itu tidak dewasa dalam kepemimpinan. Meski saya bukan seorang pemimpin, tapi setidaknya bisa menilai mana sih pimpinan yang 'pantas' dan tidak.

Pada awalnya ketika pemilu 2009 dan 2014 yang lalu, saya sih sempat berpikir, wah capres dari militer yang 'ini' nampaknya bagus, beliau masih enerjik, punya potensi. Meskipun saat itu ada berita miring tentangnya yang menyudutkannya yang cenderung minor diluar konteks sebuah kepemimpinan.

Seiring berjalannya waktu, pemilu berlalu, dua kali pemilu hasilnya nol buat beliau ini. Namun seiring proses itu berjalan, akhirnya makin nampak kapasitas beliau. Beliau punya ambisi khas militer, oh itu bagus. Namun sayang, ambisinya tidak didukung dengan kerja nyata. Selepas periode pemilu berlalu, tidak ada hal nyata yang bisa diperbuat untuk menarik hati masyarakat, bahwa saya inilah figur pemimpin yang tepat lho.

Memang, beliau itu sempat aktif dikelompok/ himpunan masyarakat tani dan nelayan, namun tidak banyak gebrakan solusi yang bisa jadi alternatif memperbaiki kehidupan kelompok-kelompok tersebut. Kalau pun timsesnya bilang ada, seharusnya ya dipublikasikanlah dan seperti apa sih, toh sebenarnya jikalau baik itu pasti banyak orang akan tahu.

Pernah nonton Kick Andy kan? Pembawa acaranya sering sekali mengundang tokoh-tokoh yang berjuang, bekerja nyata untuk masyarakat. Ya mungkin tidak dalam lingkup luas, tapi setidaknya ada manfaat yang dirasakan masyarakat di sana, dan mereka ini terekspos oleh media begitu saja, tanpa koar-koar. Justru karena manfaat yang dirasakan masyarakat inilah yang membuat mereka 'dikenal'. Pastinya tidak terkenal seperti tokoh-tokoh politik yang sekedar omong besar sana-sini. Tapi setidaknya ketika mereka yang sudah bekerja nyata dan memberikan manfaat, jika nyalon jadi kepala desa atau kepala daerah, mereka punya tempat dihati masyarakatnya. Kecuali masyarakatnya 'agak bodoh'.

Nah itu lho yang jadi pembanding saya. Lalu, apa yang sudah dilakukan beliau ini? Yang saya sering dengar hanya pidato retorika, koar-koar asing, aseng, asung, asong saja, pandangan-pandangan pesimis terhadap orang lain, intinya buruk saja, Indonesia Sakit, Indonesia Hancur dll. Anti ini anti itu anti onoh. Padahal secara tidak langsung apa yang diantikan itu, kenyataannya sebaliknya. Gak ada yang jelas, terkadang dilain kesempatan bisa berbeda lagi apa yang dikatakan.

Memang harus dipahami konteksnya dan didengarkan menyeluruh. Tapi, jika calon pimpinan tertinggi bangsa itu hanya jualan retorika, apa mampu sih mimpin negara besar? Indonesia itu bukan negara kecil yang dengan mudahnya diucapkan, seketika Indonesia berubah sesuai apa yang dimaui. Tidak cukup waktu satu dua periode, Indonesia menjadi besar karena dibangun beberapa periode oleh yang yang benar, orang yang punya niat benar, bukan sekedar ambisi kekuasaan dan kekuatan. Indonesia itu butuh pemimpin yang tidak pandai beretorika tapi pandai bekerja melihat potensi dan mengkolaborasikannya jadi optimal.

Baru-baru ini saya malah dibuat shock dengan kapasitas militer ybs. Semua tahu ybs. eks militer, jabatannya juga gak sekedar prajurit kroco yang keluar masuk barak. Namun herannya, bisa tertipu oleh kabar bohong. Bukannya dalam militer itu informasi yang masuk perlu ditelaah supaya bisa memberi output yang baik. Lha ini, jelas-jelas telak tertipu, akhirnya dengan 'legowo' menyatakan diri jadi korban. Weleh-weleh, kalau korban itu di 'belakang', lha ini korban koq paling 'depan'. Ya mbok telaah dulu, pahami isunya seperti apa, jangan malah terbawa arus, dengan alasan solidaritas. Kalau strategi perang macam begini, itu mirip kaya perang antar warga kampung, ketika ada isu, "eh warga kita ada yang dipukuli warga tetangga tuh di sana", langsung bawa 'bala tentara' menyerang, tawuranlah. Ternyata itu isu salah, padahal warga tersebut terjatuh, kebetulan ditolong warga sebelah. Tapi karena tidak mengolah informasi dengan baik, akhirnya kan jadi kacau.

Coba deh, bayangkan masa sih seorang eks militer cara berpikirnya kaya warga kampung. Simpel saja, saya ya kecewa sih dengan cara beliau saat ini. Sangat disayangkan sekali, dua kali periode pemilu tidak dimanfaatkan sama sekali dengan kerja nyata.

Hal lain yang yang menurut saya jadi sorotan adalah mengeluh. Entahlah, ini dari anak buahnya atau ybs. sendiri. Yakni ketika ybs. merasa persaingan pilpres saat ini tidak adil. Why? Karena ada beberapa kepala daerah yang terpilih pada pilkada serentak yang lalu dan kepala daerah eksisting mendukung calon lain yang jadi lawannya, dalam hal ini incumbent. Yang parah sih, kepala daerah yang justru diusung mitra koalisi yang menang pilkada serentak lalu nyata-nyata mendukung kubu lawan. Karena inilah, ybs. nampaknya jadi 'mengeluh'.

Dari hal-hal sederhana inilah kapasitas kepemimpinan seseorang diuji, layak atau tidak. Contohnya ada, ada lagi tokoh reformasi, ketika itu berjuang menumbangkan rezim orde baru yang penuh intrik KKN. Bersama koleganya yang lain bersatu padu, diawal masa reformasi, tokoh-tokoh ini berjuang memimpin bangsa, beberapa ada yang berhasil menjadi top leader bangsa ini. Tapi ada satu tokoh yang kesannya vokal nampaknya, namun seleksi politik tidak membawanya ke puncak pimpinan negeri ini, berusaha 'menjual' tapi tidak ada yang beli. Akhirnya menjadi sengkuni sana-sini. Seiring waktu semakin terlihat kapasitas ybs. dan itulah jadi gambaran kenapa ybs. tidak pernah berhasil menjadi top leader bangsa ini. Ini juga bukti, bahwa masyarakat sudah cerdas memilih mana yang layak dan tidak. Meksi ada saja yang mereka yang terbawan euforia retorika.

Saya sih berharap pilpres lekas dilangsungkan, hingga terpilihlah yang memang seharusnya melanjutkan pembangunan bangsa ini. Sambil mematangkan calon-calon muda lain untuk jadi kandidat selanjutnya. Rasanya, jika nanti beliau mencoba lagi-dan-lagi dalam persaingan capres, hasilnya akan tetap sama jika ybs. tidak mau merubah pola pikirnya. Rasanya rugi mencobakan negara ini dinakhkodai ybs. bersama anak buahnya. Semoga, 01 periode lagi terlaksana, demi menunggu matangnya calon pemimpin-pemimpin lain yang tengah berjuang membangun daerahnya di tingkat propinsi.

Karena sebenarnya melalui mereka-merekalah Indonesia bisa maju kedepannya. Jika semua pimpinan daerah baik tingkat kabupaten/ kota, propinsi bekerja dengan baik, kreatif dan memajukan tiap-tiap daerahnya dibandingkan kemajuan elit partainya, saya yakin Indonesia akan maju lebih cepat dari yang dibayangkan. Kalau untuk saat ini masih belum bisa, karena baru beberapa daerah saja yang punya kapasitas pemimpin yang baik, sisanya masih asyik memajukan elit parpol dan kelompok-kelompok tertentu saja.

Mudah-mudahan sih jadi pemikiran bersama untuk memajukan bangsa, tidak lagi dengan retorika tetapi dengan kerja dan aksi nyata, kerja, kerja, kerja! Bukan koar-koar, hoax-hoax. -cpr-

Posting Komentar

0 Komentar