Semakin Viral Masalah Tertangani Lebih Cepat

Baru-baru ini beredar sepucuk surat yang berisi aturan "pembatasan" kegiatan beragama untuk pemeluk agama lain. Surat ini ditandatangani ketua-ketua masyarakat di wilayah tersebut. Isinya pada intinya adalah membatasi kegiatan keagamaan di rumah dan pemaksaan aturan pengebumian orang meninggal. Entah, pikiran apa yang melandasi pembuatan surat tersebut, yang untungnya berkat viralnya di media sosial akhirnya surat tersebut dibatalkan demi hukum.

Ilustrasi Kerukunan Umat Beragama

Inilah salah satu manfaat dari teknologi informasi jika digunakan secara baik, bayangkan apabila tidak ada teknologi informasi, tidak viral seperti ini, masalah seperti ini bisa didiamkan, dibiarkan sampai pada akhirnya apa yang salah jadi dianggap benar, karena sudah berlangsung "lama".

Kondisi seperti itu sungguh menciderai rasa toleransi antar pemeluk agama, karena prinsip keadilan tidak ada di sana. Permasalahan jelas mencuat karena poin-poin yang "diatur" sangat mendiskriminasikan pemeluk agama yang lain. Seperti pelarangan melakukan kegiatan keagamaan di rumah, melarang mengundang tamu dan pemimpin agama, dan hanya memberi waktu 1x24 jam apabila rumah digunakan untuk menyemayamkan jenasah sebelum dikebumikan.

Mengkritisi saja dari beberapa poin "larangan" tersebut. Setiap agama pasti punya kebiasaan atau kegiatan keagamaan diluar kegiatan utama yang dilakukan seperti di rumah ibadah, itu sudah pasti. Semua agama punya kegiatan seperti itu dalam konteks sebagai sarana mendekatkan diri dengan Tuhan dan sesama seiman, tapi bukan berarti membawa atau memindahkan tempat ibadah ke rumah tinggal. Kalau itu dilakukan itu jelas melanggar aturan lain yang sudah diatur dan dipahami semua orang. 

Kegiatan doa, misalnya kegiatan doa arwah (3hari, 7hari, setahun dll), doa bulanan, doa peringatan hari khusus, pendalaman kitab suci atau pengajian misalnya, yang dilakukan temporary dianggap bukan kegiatan keagamaan inti (rutin/ pokok), jadi wajar saja jika dilakukan di rumah satu ke rumah lain dalam waktu yang temporary pula. Kemudian, wajar saja jika dalam acara doa mengundang tamu dari keluarga lain yang seiman, bisa tetangga jauh atau dekat, asal seiman. Karena jika mengajak, apalagi memaksa tetangga lain yang tidak seiman jelas itu meresahkan dan itu sudah dipahami semua orang dan aturan yang mengatur hal ini.

Membawa pemuka agama untuk memberikan wejangan atau tausiah adalah wajar, karena dalam acara keagaaman apapun agamanya butuh pemuka agama yang lebih layak memberikan paparan terkait iman, jika ini dilarang kan aneh. Itu yang menjadi "kehermanan" saya, dimana dasar pemikiran mereka yang membuat aturan yang pada akhirnya dibatalkan ini.

Hal lainnya, soal pengeras suara, ya elah, doa sederhana masa pake pengeras suara kaya buat nonton konser, kecuali acara yang di ruang terbuka dan itupun ada batas kewajaran pengeras suara digunakan agar tidak mengganggu. Mikir pakai otak lah, buat apa seperti itu (pakai pengeras suara berlebihan), tindakan yang berlebihan dan mubajir. Bahkan di rumah ibadah saja, pengeras suara digunakan sewajarnya.

Poin terakhir, soal pensemayaman jenasah yang hanya diberi waktu 1x24 jam, ini jelas memaksakan sekali. Begini, siapa sih yang mau menyimpan orang yang sudah mati berlama-lama, kasihan juga si jenasah, kemudian akan ada proses alamiah pembusukan itu akan tidak baik bagi kesehatan. Aturan mengenai hal ini pun sudah diketahui semua orang.

Alasan mensemayamkan jenasah di rumah lebih dari sehari biasanya adalah untuk menunggu sanak saudara jauh yang belum datang yang ingin memberikan penghormatan terakhir. Biasanya hanya keluarga inti/ terdekat saja. Itu hal yang wajar bagi sebagian orang, dan juga waktu menunggunya pun masih dalam batas wajar. Jika tidak wajar pun pihak keluarga akan membawanya ke rumah duka yang diperuntukan untuk itu. Tapi jika hanya buntuh 1-3 hari atau paling lama 7 hari, dan jika pihak keluarga tidak punya cukup dana untuk menyewa rumah duka, maka masih bisa dimaklumi menggunakan rumah tinggal sebagai rumah duka dengan sebelumnya meminta ijin ke perangkat wilayah setempat. Hal ini sudah berjalan dan sudah dilakukan sejak lama dan semua tahu hal ini. Dan tidak setiap saat pula anggota keluarga dari suatu rumah itu meninggal terus-terusan, sehingga mengganggu lingkungan sekitar.

Ilustrasi Ibadat Duka Kristen

Jadi, poin-poin "larangan" yang akhirnya dibatalkan itu adalah suatu kecerobohan berpikir yang salah. Sangat menciderai kerukunan antar umat beragama. Karena semua sudah memahami aturan-aturan bermasyarakat, dan aturan yang lebih tinggi yang mengatur itu semua sudah ada dan sudah berjalan, jadi tidak perlulah aturan kewilayahan yang diskriminatif seperti itu.

Ilustrasi Ibadah umat Hindu di lingkungannya

Ilustrasi Ibadah Pengajian di rumah

Ilustrasi Ibadat Budha di rumah

Ilustrasi Ibadat umat Katolik di rumah

Untung saja, berkat viralnya surat "larangan" ini beredar cepat, kepolisian, komunitas FKUB kewilayahan dan pihak-pihak terkait mampu dengan cepat mengclearkan. Dan bagi yang merasa terdiskriminasi pun bisa memaafkan "kecerobohan" yang sudah terjadi, mungkin karena ketidaktahuan. Biarlah terjadi seperti biasa kembali, sesuai tatanan yang ada di masyarakat. Siapa-siapa yang ceroboh tidaklah perlu diperpanjang, sejarah sudah mencatatnya dan cukuplah sampai disitu.

Semoga apa yang terjadi di daerah di sisi ibukota ini bisa jadi pelajaran bagi daerah lain untuk memahami apa arti persaudaraan berbeda keyakinan dalam bermasyarakat dan saling mengerti dan memahami hal-hal keagamaan pemeluk agama lain, bukan dalam arti dengan tahu akan mengubah iman seseorang. Buang pikiran sempit dan picik dalam melihat perbedaan, jadilah cerdas dalam memahami sesuatu. Jadilah rukun, maka indahlah dunia. Catatan ini bisa jadi catatan sejarah saja, agar dilain waktu tidak ada yang mengulangi hal yang sama. Amin.cpr

Posting Komentar

0 Komentar