Janji Upah Layak, Akankah masih Laku Dijual Capres, Cagub, Cabup, Cawal?

Janji tinggal janji, begitulah yang dialami para buruh yang berdemo di Jakarta hari ini. Penetapan upah minimum propinsi yang ditetapkan beberapa waktu yang lalu menciderai kepercayaan kelompok buruh terhadap gubernur terpilih. Kembali dan lagi, kelompok buruh 'menstampel' gubernur terpilih DKI Jakarta. Bukan saja gubernur sih, bahkan presiden saja mendapatkan 'stampel', sebagai "Bapak Upah Murah", yang ditujukan kepada Jokowi.

Janji tinggal janji
Menjadi masalah bagi kelompok buruh yang telak-telak merasa dibohongi karena pada kampanye lalu, janji yang mereka jual adalah "upah layak" yang tertuang pada kontrak politik antara koalisi buruh Jakarta dengan Anis-Sandi 1 April 2017 yang lalu. Upah yang dituntut kelompok buruh selama ini katanya sih akan dipenuhi apabila menjadi gubernur dan wakil gubernur berhasil memenangkan kontestansi politik di DKI Jakarta. Namun apa daya, keputusan sudah diketok dan upah minumum propinsi ditetapkan jauh dari harapan kaum buruh. Gubernur terpilih punya alasan tersendiri untuk membenarkan keputusannya itu. Setidaknya sama dengan gubernur-gubernur sebelumnya dalam menetapkan keputusan upah ini. Hanya saja, sepertinya si cagub dan cawagub yang berjanji saat itu tidak membaca kenyataan di lapangan seperti apa ketika ybs. berjanji dimuka umum, jadi dengan mudahnya obral janji demi dukungan suara.

Inilah yang disebut, obral janji kampanye. Obral janji hanya demi meraup suara, tanpa memikirkan kenyataan di lapangan seperti apa. Menetapkan upah ini tidak bisa sekedar dilihat dari satu sisi saja, karena ada sisi lain yakni pengusaha yang harus dipikirkan. Selama ini kelompuk buruh hanya merasa jadi pihak paling menderita menghadapi situasi ekonomi. Padahal, pengusaha pun merasakan itu karena harus memikirkan beberapa kepala yang diperkerjakan. Tugas pemerintah adalah mengakomodir semuanya, menjadi keputusan yang bisa dipahami dan dimengerti semua pihak, dalam arti win-win solution. Tapi bukan berarti harus membohongi dengan "janji-janji manis", janji anis sandi.

Ilustrasi
Mulai sekarang dan kedepannya akankah isu upah untuk meraup suara dari kaum buruh tidak cocok lagi dipakai?

Ya mudah-mudahan sih buruhnya sendiri bisa cerdas, karena kenyataannya untuk mewujudkan itu butuh effort lebih si pemegang kebijakan dan jajarannya, karena banyak tugas-tugas lain yang perlu dipenuhi pemerintah. Jadi menetapkan upah itu tidak seperti orang kentut, "tut, brut" sudah selesai, dengan mudahnya, ada hal lain yang saling berkaitan. Tuntutan produktivitas dan kreativitas dari kelompok buruh inilah yang harus ditunjukan dan dibuktikan. Begitupun dengan pengusaha pun harus menilai dengan objektif buruhnya/ pekerjanya/ karyawannya dengan baik serta memperhatikan kesejahteraannya, tidak hanya dijadikan "sapi perahan" saja.

Tapi belum tentu juga isu buruh ini tidak cocok dipakai. Karena tingkat "kelupaan" masyarakat Indonesia cukup tinggi, baik dari rakyat bawah hingga pejabat. Lupa sama janji-janji Capres, Cagub, Cabup, Cawal. Dan malah ada yang lula sudah berjanji, ujung-ujungnya "ngeles" kaya bajaj. Belum lagi, pejabat-pejabat yang lupa sama kelakuannya dulu ketika dihadapkan pada tuntutan hukum mengenai kasus korupsi. Inilah Indonesia, negeri para pelupa. Dan sangat baiknya negeri ini, dengan mudah melupakan semua hal-hal yang buruk yang pernah terjadi asalkan perut kenyang.

Untuk kedepannya, bisa dibuktikan, masih ada capres yang belum kesampaian menjadi presiden, akankah kembali mengumbar janji isu upah layak ini? Dan mungkin, akan terjadi lagi kena tipu berjamaah kembali ke depannya. Ya itulah lingkaran setan di negeri ini. Karena belum ada keinginan bersama yang kuat untuk memperbaiki sistem, sehingga semuanya baik untuk bersama, bukan hanya baik untuk kelompok ku saja atau kelompoknya saja, tapi untuk semua tanpa memandang dari mana asal-usulnya (SARA oriented). Karena tujuan bangsa ini dibentuk adalah mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Ya, masih ada empat tahun ke depan, masih ada kemungkinan untuk menepati janji yang sudah diucapkan. Tentunya bagi yang tidak mau dikatakan pembohong atau tukang janji, atau pengobral janji manis. Semoga saja, gubernur terpilih dan wakil gubernur terpilih mampu menepati janjinya itu. Meski stampelnya sudah "kecetak". Ya, selalu tidak ada kata terlambat untuk berubah, kalau niat, kalau tidak ya begitu-begitu saja.

Nah bagi yang mau  maju sebagai Capres, Cagub, Cabup, Cawal, mungkin harus berpikir jernih untuk mengobral janji di sektor ini atau sektor lain. Ya, itu sih bagi  Capres, Cagub, Cabup, Cawal yang berniat betul membangun daerah atau negaranya. Tapi kalau hanya sekedar ambisi menjadi yang nomor satu, obral janji supaya terpilih, ya silakan saja. Meski pada akhirnya harus kembali distampel sebagai tukang bohong atau pendusta. Semuanya kembali ke pilihan, mana yang mau bekerja betul dan mana yang tidak.

Rakyat juga harusnya bisa belajar dari yang sudah-sudah, jangan jadi rakyat seperti keledai, yang katanya selalu jatuh ke lubang yang sama. Jadilah rakyat yang cerdas melihat sesuatu, berpikir dari berbagai sisi jangan hanya melihat dari satu sisi saja, yang lebih menguntungkan diri sendiri. Gunakan kacamata dunia untuk melihat semua hal, agar tidak ada lagi penyesalan menjadi korban "penipuan".cpr

Posting Komentar

0 Komentar