Akhirnya
setelah sekian lama, sejak terakhir saya buat postingan seputar tilang di sini,
sekitar tahun 2013, sampai kini sudah 2015 sudah berlalu 2 tahun kurang lebih
barulah saya kena apes ketilang kembali. Selama kurang lebih dua tahun itu
banyak hal soal aturan lalu lintas yang baru terutama di ibukota, Jakarta.
Sanksi atas hukuman pelanggaran lalu lintas makin “keras” rupanya, kemudian banyak
juga aturan larangan melintas di beberapa ruas jalan tertentu, sampai yang
terbaru larangan berhenti di bawah flyover, kolong jembatan, kolong JPO atau
berteduh di pinggiran jalan yang menyebabkan kemacetan.Ya serba-serbi aturan
ini pada dasarnya untuk menciptakan ketertiban lalu lintas sebagai kebutuhan,
dalam rangka menekan angka laka lalin sebenarnya.
Saya
pribadi si sebenarnya setuju, tetapi tidak semua pelanggaran bisa dikenai
tilang, setidaknya tetap ada sisi humanis dari petugas di lapangan dalam
menindak, mana yang sengaja, mana yang tidak sengaja, mana yang memang sudah
jadi kebiasaan. Kembali lagi ke sisi SDM petugas di lapangan yang harus jeli
dan memiliki “hati”, dalam arti positif, bukan memain-mainkan aturan lho.
Sejak
saya posting tulisan pengalaman saya seputar tilang itu, saya tidak pernah kena
tilang sejak saat itu. Mungkin lebih tepatnya saya beruntung selama dua tahun
itu. Tapi seperti kata peribahasa, “sepandai-pandai tupai melompat akhirnya
jatuh juga”, itu terjadi pada saya bulan September 2015 lalu. Berawal dari
keapesan sih sebenarnya, ditambah lagi tidak tahu, atau tidak jeli
memperhatikan rambu larangan melintas, akhirnya saya kena perangkap petugas
yang berjaga. Ya,saya melanggar marka jalan, larangan melintas di Jalan Medan
Merdeka sekitaran Monas yang mengarah ke arah patung kuda depan kantor Indosat
yang mengarah ke Sudirman/ Sarinah. Memang sebelumnya saya sudah pernah dengan
di radio soal larangan melintas di sana, namun kapan dan jam berapa saja tidak
boleh melintas yang saya tidak begitu tahu. Saat itu malam, sekitar pukul
delapan malam, saya habis berhenti di pinggir jalan depan Istana Negara. Biasa
lagi galaw, tadinya saya ragu mau berbelok ke kiri atau lurus arah Tanah Abang/
Harmoni. Tapi entah kenapa saya memilih berbelok ke kiri, padahal ada tanda
larangan di sana. Apesnya lagi tidak ada yang memberi tahu. Eh lagi setengah
jalan, tiba-tiba saya distop petugas. Dengan pede saya berhenti, saat itu belum
sadar apa kesalahan saya, setelah saya tanya petugas saya baru sadar. Apa boleh
buat “nasi sudah jadi bubur”. Petugas si sempat menawarkan “jalan pintas”,
bayar di tempat, dengan menanyakan saya ada uang berapa. Tapi dengan tegas saya
jawab, “Sudahlah pak ditilang saja, toh memang saya melanggar karena saya tidak
melihat rambu. Mau saya bagaimanapun saya tetap salah. Tilang saja, saya ada
uang tetapi receh, daripada saya menghitung uang yang tidak seberapa nanti
bapak kena masalah.” Akhirnya si petugas itu dengan yakin menulis di buku
tilangnya dan memberikan saya slip merah, tetep sih masih menawarkan bantuan.
Entah berapa denda yang harus saya bayar nanti di Kejaksaan Jakarta Pusat untuk
pelanggaran saya ini.
Sampai
saat saya tulis catatan saya ini, benda sitaan tilang atas pelanggaran saya ini
belum saya ambil. Sitaan tilang yang saya “sekolahkan” adalah SIM. Sudah
berlalu beberapa minggu sejak kejadian SIM saya belum saya tebus, otomatis
kemana-mana saya tidak membawa surat kelengkapan berlalu-lintas dengan benar.
Kemana-mana hanya ditemani STNK dan slip merah tilang. Ya yang penting tertib
di jalan, jangan grogi itu cukup menyelamatkan saya dari petugas. Operasi Zebra
yang diadakan awal November 2015 lalu pun tidak berhasil menjaring saya, ya
bangga si sedikit. Sempat sih kena operasi zebra, di stop petugas dengan motor
saya, tapi selamat karena saya hanya dibonceng dan teman saya bawa SIM, dan
saya tunjukan STNK saya, clear toh.
Entah
saya belum ada rencana untuk menebus SIM saya di kejaksaan. Karena memang waktu
yang sibuk, sama dana buat menebus. Saya juga tidak begitu paham berapa
dendanya untuk pelanggaran marka di daerah Monas. Sempat saya dengan dari
petugas yang tilang saya itu, untuk denda maksimal pelanggaran saya itu Rp
250.000,00, itu kenapa si petugas menawarkan jalur khusus. Biarlah itu nanti
saya pikirkan ketika saya memang harus terpaksa menebusnya. toh rekor saya
tidak menebus benda sitaan tilang pernah berbulan-bulan. Sekedar info saja,
teman saya ketilang di daerah Pejaten, tepatnya di TL Penville, ketilang karena
tidak dapat lampu hijau dari arah Kemang akan berbelok ke kanan. Otomatis mau
tidak mau berhenti di sisi garis marka. Padahal sih berhentinya tepat sebelum
sejajar TL, tetapi karena berada di luar garis tengah marka jalan, maka petugas
menilang teman saya itu. Padahal anehnya sebelumnya toh ketika ada petugas pun
banyak yang melanggar hal yang sama tapi dibiarkan. Namun balik lagi karena “apes”
ya apa boleh buat. Balik lagi ini ke sisi petugas yang “sontoloyo” tidak
humanis, tidak adil kalau boleh saya bilang. Tapi sudah lah, akhirnya teman
saya itu menebus SIM nya di kejaksaan jaksel dengan membayar Rp 50.000,00 tunai
tanpa pungutan lain.
Setidaknya
angka itu bisa jadi patokan saya saat saya nanti memutuskan menebus SIM saya
yang “bersekolah” di sana. Baiklah untuk sementara sekian dulu catatan saya,
nanti kalau sudah saya tebus, infonya saya tambahkan di kolom komentar. Semoga
lain waktu saya bisa memecahkan rekor bebas tilang lebih dari dua tahun. cpr.
1 Komentar
Kalau ketilang. Gk ush khawatir, ikuti saja prosesnya, tapi pastikan surat-surat kendaraan lengkap, kalau pun pelanggaran pun tilang saja, tdk perlu khawatir ribet.
BalasHapusTinggalkan jejak, jika anda mampir ;p Terima kasih atas kunjungannya - cocoper6