Nepotisme di Sekitar Kita

Ingatkah dengan dengung pemberantasan KKN (korupsi, kolusi dan nepotisme) di awal masa reformasi. Ketika rezim orde baru digulingkan mahasiswa dan aktor-aktor perubahan kala itu. Dengung KKN ramai disuarakan sebagai suatu tindakan yang haram dilakukan, karena efeknya yang buruk menggerogoti segala sendi kehidupan bangsa ini. Hingga kini reformasi telah berjalan kurang lebih 15 tahunan, namun apa yang ingin diberantas yakni KKN, belum bisa diberantas. Sepertinya KKN sudah mendarah daging dan menjadi laten.

Korupsi adalah musuh terbesar yang merupakan bagian dari KKN. Efek korupsi lebih masif dirasakan pengaruhnya terhadap kehidupan berbangsa dan bernegara. Semua negara mengalami hal yang sama, mereka punya musuh besar yaitu korupsi. Perang terhadap korupsi dilakukan dengan membuat lembaga khusus untuk menangani permasalahan ini. Meski begitu unsur KKN lainnya seperti kolusi dan nepotisme juga tidak bisa dianggap ringan. Karena jika kampanye terhadap dua hal itu berkurang, takutnya masyarakat menganggap dua hal kotor itu adalah benar, sehingga sah saja jika dilakukan.

Di catatan saya kali ini hanya ingin membahas salah satu dari dua unsur di atas yang sepertinya agak diabaikan dari dengung pemberantasan KKN. Salah satu dari dua hal tersebut adalah nepotisme. Nepotisme berasal dari bahasa Latin, yaitu nepos yang artinya keponakan atau cucu. Menurut Wikipedia, nepotisme diartikan sebagai kecenderungan lebih memilih saudara atau teman akrab berdasarkan hubungannya bukan berdasarkan kemampuannya. Nepotisme ini ternyata juga pernah menggerogoti mental para pemimpin tertinggi agama Katolik di abad pertengahan. Ironis memang ketika domain religius dikotori hal semacam ini. Sebenarnya tidak haram juga dengan nepotisme, jika memang didukung kemampuan yang mumpuni, namun nepotisme menjadi buruk ketika kepentingan pribadi atau ego diatas segalanya. Nepotisme yang dulu terjadi di wilayah religius menunjukan bahwa nepotisme bisa dilakukan siapa saja dan di wilayah apa pun sendi-sendi kehidupan manusia. Itu dulu sejarah kelam gereja Katolik di masa itu. Tidak ada kata terlambat untuk melakukan pembenahan.

Pengertian nepotisme menurut Undang-undang No. 28 tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme, pasal 1 angka 5, nepotisme adalah setiap perbuatan Penyelenggara Negara secara melawan hukum yang meguntungkan kepentingan keluarganya dan atau kroninya di atas kepentingan masyarakat, bangsa dan negara. Menurut pengertian itu, nepotisme lebih disalahkan bila perbuatan tersebut dilakukan penyelenggara negara. Masih dalam undang-undang yang sama, menurut pasal 1 angka 1 Penyelenggara Negara adalah Pejabat Negara yang menjalankan fungsi eksekutif, legislatif, atau yudikatif, dan pejabat lain yang fungsi dan tugas pokoknya berkaitan dengan penyelenggaraan negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Ya itulah singkat gambaran nepotisme menurut kacamata pemerintahan atau negara.

Nah kalau di swasta atau kehidupan sehari-hari sepertinya nepotisme hanyalah norma saja, ya sepertinya dianggap sebagai perbuatan yang tidak baik. Bedanya kalau di pemerintahan ada pejabat yang melakukan nepotisme bisa diganjar sanksi hukum dengan perundangang-undangan yang ada. Lalu kalau yang terjadi di kehidupan sehari-hari atau masyarakat swasta, bagaimana sanksinya ya? Paling banter sanksi cibiran saja dari orang per orang. Bahkan di pemerintahan pun kalau hanya sekedar nepotisme yang dilakukan tidak merugikan masyarakat banyak, paling ya hanya mendapat sindiran atau omongan angin lalu saja. Contohnya, ya untuk di tingkat swasta, bila bekerja di perusahaan swasta, kebetulan kenal sama orang dalamnya, pasti jika akan melamar akan lebih mudah, dengan alasan rekomendasi. Kemudian juga pengangkatan honorer di instansi pemerintah juga masih berlatar belakang nepotisme, namun ya tadi situasi ini hanya dianggap angin lalu karena tidak merugikan masyarakat banyak, paling yang dirugikan ya orang per orang saja. Inilah yang membuat nepotisme masih ada sampai sekarang dan sepertinya tetap ada bergerilya. Contoh-contoh di atas merupakan contoh ringan yang terjadi sehari-hari. Contoh yang lebih jelas lagi adalah penciptaan raja-raja kecil di daerah, karena ingin menciptakan pemerintahan dinasti. Hal tersebut jelas bentuk nepotisme, tetapi penegak hukum nampaknya tidak pernah mempermasalahkan hal tersebut, meski masyarakat melalui media sering mengkritisinya. Toh disadari atau tidak ternyata nepotisme ini masih dibutuhkan, jika dibandingkan dengan korupsi yang dibenci semua orang.

 Saking nepotisme yang sudah mendarah daging, menurut saya sikap nepotisme ini jadi punya turunan. Turunannya lebih ke arah negatif. Seperti apa turunannya? Lebih mudah saya contohkan, bila ada keluarga, kerabat, teman atau kolega yang terkena kasus hukum, selalu muncul pembelaan sepihak dengan segala cara, padahal jelas-jelas yang bersangkutan melanggar hukum. Tapi karena alasan keluarga aau saudara dekat, teman, rekan, kolega dan semacamnya, pasti akan dibela mati-matian. Tidak pernah melihatnya sebagai suatu objektivitas. Hal ini sering sekali terjadi. Contoh konkret ini soal kasus hukum misalnya misalnya korupsi atau kasus terorisme yang dialami saudara dari satu suku atau satu fam, satu agama, dll. Ketika kasus terjadi, jelas-jelas yang bersangkutan salah, tetapi karena masih ada hubungan dekat, muncul pengacara keluarga yang akan membela mati-matian, begitu juga didikung saudara-saudara lainnya. Akhirnya kebenaran yang sejati tertutupi, atau malah bisa dikaburkan. Seharusnya apabila salah katakan salah, benar katakan benar, janganlah menutup-nutupi kesalahan karena alasan kedekatan kekerabatan atau kedekatan hubungan. Hal tersebut juga berlaku pada kedekatan kelompok. Akhirnya muncul kebenaran yang subjektif menurut kekerabatan atau kelompoknya saja. Hal ini juga secara tidak langsung lambat laun akan menggerogoti ranah hukum di negara ini. Padahal ranah hukum lah yang dijadikan jalan pengadil di dunia ini. Lalu mau dibawa kemana orang yang akan mencari keadilan yang sejati?

Turunan dari nepotisme itu membuat kita tidak bisa objektif melihat suatu hal. Kedekatan kekerabatan, kedekatan hubungan atau kedekatan kelompok membuat objektifitas tersamarkan.  Yang muncul adalah ego, semua berdasarkan hubungan dengan saya. Sebenarnya kalau diperhatikan lebih lanjut, nepotisme juga harus diperhatikan, meski tidak semasif korupsi efeknya secara langsung, tetapi jika terus dibiarkan tanpa ada kampanye atau sosialisasi bahwa nepotisme ini harus dilawan, maka lama-lama akan menggerogoti sendi-sendi kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Melawan nepotisme sebenarnya dengan membiasakan kita berfikir objektif terhadap semua hal. Meski ujung-ujungnya kepentingan kedekatan kekerabatan, kedekatan hubungan dan kedekatan kelompok harus dikorbankan. Tetapi ketika melihat segala sesuatu secara objektif dan tidak memaksakan kehendak semua hal akan lebih mudah dicari keadilannya. Sehingga cita-cita menciptakan keadilan sosial bisa pelan-pela diwujudkan. Mari kita lawan nepotisme yang terjadi di kehidupan sehari-hari dengan berpikir objektif dan tidak memaksakan kehendak. Pendapat boleh saja disampaikan, asalkan tidak dipaksakan dengan segala cara. Nepotisme merupakan hal yang tidak baik, dan apabila dilakukan oleh penyelenggara negara adalah perbuatan melawan hukum. Jadi stop nepotisme di lingkungan terdekat dalam kehidupan kita sehari-hari! \(^o^)/


Sumber Informasi:

Wikipedia. Nepotisme | diakses tanggal 5 Agustus 2013

Kemenag Sultra. Undang-undang No. 28 tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme. sultra[dot]kemenag[dot]go[dot]id | diakses tanggal 6 Agustus 2013

 

 [Postingan ini juga dipublish di Kompasiana account a/n Christopher Leopold Lalo Nusa, dengan judul Nepotisme di Sekitar Kita]

Posting Komentar

0 Komentar