Petani Sulit Bertahan Sawah di Bali Terus Menyusut 1.000 Hektar Per Tahun


Petani Sulit Bertahan
Sawah di Bali Terus Menyusut 1.000 Hektar Per Tahun
DENPASAR, KOMPAS – Sawah di Pulau Bali terus menyusut rata-rata 1.000 hektar per tahun. Alasannya, petani menghadapi sejumlah persoalan, yakni tingginya biaya produksi, meningkatnya tuntutan kebutuhan lahan permukiman dan fasilitas pariwisata, kerusakan lingkungan, cuaca tidak menentu, dan rendahnya kemauan anak muda untuk bertani.

Demikian diungkapkan para petani di sejumlah tempat yang penyusutan sawahnya cukup tinggi, seperti di Kabupaten Badung dan Kota Denpasar. Kabupaten Badung, terutama di bagian selatan, telah menjadi pusat pariwisata dan banyak sawah berubah menjadi hotel, vila, atau restoran. Sawah di Kota Denpasar berubah menjadi bangunan niaga dan perumahan.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik Provinsi Bali, total lahan sawah di Bali yang telah menyusut 1.944 hektar, yaitu dari 81.931 hektar pada tahun 2009 menjadi 79.987 hektar pada tahun 2010. Jumlah produksi pun menurun dari 878.764 ton gabah (2009) menjadi 869.160 ton gabah (2010).
Petani di Desa Kerobokan, Kecamatan Kuta Utara, Kabupaten Badung, I Wayan Rencong Ardana (62), mengatakan, Subak Kedampang di daerahnya kini hanya memiliki 97 hektar sawah. “Lima tahun lalu masih sekitar 125 hektar,” katanya, Jumat.
Desa Kerobokan terletak di sebelah utara kawasan pariwisata Kuta. Di desa itu sudah banyak perumahan, toko benda seni, dan vila yang mengimpit persawahan.
Menurut Ardana, petani di daerahnya menjual atau mengontrakkan sawah dengan terpaksa karena mereka perlu uang. Cuaca yang tidak menentu membuat bertani tidak lagi menguntungkan. Selain itu, biaya produksi juga cukup tinggi sehingga menyulitkan petani mempertahankan sawah mereka.
Ardana menghitung, biaya produksi untuk 25 are (sekitar 2.500 meter persegi) dalam satu kali musim tanam mencapai sekitar Rp 800.000. Biaya itu sudah mencakup biaya traktor, buruh tanam, dan buruh pembersih sawah.
Padahal, penghasilan dari satu musim tanam hanya sekitar Rp 1,3 juta. Setelah dipotong biaya produksi, petani hanya mendapat Rp 500.000 per musim tanam. Apabila dalam satu tahun ada tiga kali musim tanam, dalam satu tahun petani hanya mendapat 1,5 juta.
Profesi orang tua
Dengan keuntungan yang sangat minim itu, kata Ardana, generasi muda di desa tidak tertarik untuk bertani. Berdasarkan pantauan, di sebagian besar sawah hanya tampak petani-petani yang sudah berusia 40 tahun ke atas. “Anak muda lebih tertarik bekerja di restoran atau hotel,” katanya.
Nengah Manis (50), petani di Desa Kerobokan berencana menjual atau mengontrakkan sawahnya seluas 600 meter persegi jika ia sudah tidak kuat bertani lagi. “Dua anak saya belajar di sekolah pariwisata. Mereka tidak mau bertani,” katanya.
Di Subak Renon, Desa Renon, Kecamatan Denpasar Selatan, Kota Denpasar, sawah yang tersisa saat ini seluas 74 hektar dari total sawah seluas 194 hektar. Lahan terus menyusut karena ada konsolidasi tanah sejak tahun 1980 yang dilakukan pemerintah di daerah itu untuk membuat kawasan perumahan.
Kepala Biro Humas Pemerintah Provinsi Bali Ketut Teneng mengatakan, penyusutan sawah sulit dicegah karena pertambahan penduduk yang tinggi. (DEN)

Sumber :
KOMPAS. Sabtu, 4 Juni 2011. Rubrik Nusantara, halaman 22.

Posting Komentar

0 Komentar