Perikehewanan/ Perikebinatangan

Hewan atau binatang merupakan salah satu makluk hidup ciptaan Tuhan. Hewan-hewan diciptakan untuk mengisi seluruh penjuru bumi, dan dimaksudkan untuk dipergunakan atau dimanfaatkan untuk kehidupan manusia di bumi. Sebenarnya semua yang diciptakan Tuhan di dunia ini merupakan suatu rantai keseimbangan kehidupan. Mahkluk-mahkluk yang ada punya hubungan ketergantungan satu sama lain.
Kini masalah lingkungan hidup menjadi sebuah suatu topik yang sangat hangat disampaikan. Isu lingkungan baik ‘go green’, ‘back to nature’, ‘selamatkan kami (hewan-hewan yang terancam punah)’ menjadi sebuah slogan atau jargon yang sering ditampilkan dan disampaikan. Karena memang sudah seharusnya semua yang ada dibumi ini kita pelihara, jaga dan lestarikan, tidak hanya untuk dieksploitasi terus-menerus.
Pengantar yang kurang pas sepertinya untuk postingan ini. Tapi sebenarnya, di postingan ini saya ingin mengungkapkan apa yang ada di kepala, ketika saya membaca sebuah berita bahwa pemerintah Australia menghentikan ekspor sapi ke Indonesia, karena mereka (Australia) melihat rekaman suasana atau mungkin cara perlakuan terhadap sapi-sapi yang akan dijagal di tempat penjagalan. Mereka merasa bahwa apa yang dilakukan di lokasi penjagalan di Indonesia sangat memperihatinkan, dalam arti tidak sesuai dengan perikebinatangan/ perikehewanan.
Wajar saja pemerintah Australia mengangkat alasan seperti itu, karena jiwa keperibinatangan di masyarakat barat cukup tinggi. Kita sering lihat program acara televisi produksi luar negeri, tentang penyelamatan hewan kecelakaan (baik liar maupun peliharaan) oleh dokter-dokter ahli. Sebuah perlakuan yang hanya untuk menyelamatkan hewan yang tertabrak, mereka (orang barat) berusaha semaksimal mungkin, hampir sama dengan perlakuannya terhadap manusia. Bahkan untuk kasus penyelamatan hewan peliharaan yang terjebak dalam reruntuhan bangunan atau yang menjadi korban bencana saja, petugas resque dikerahkan untuk menyelamatkan hewan tersebut.
Sebuah keadaan yang sangat berbeda dengan yang terjadi di Indonesia. Hewan hanya sebagai pelengkap kehidupan, mungkin hanya dipandang sebatas komoditas pemenuh kebutuhan. Terutama untuk hewan-hewan konsumsi. Hewan-hewan yang disejajarkan sebagai patner mungkin hanya sedikit, yakni hanya hewan-hewan yang telah naik kasta sebagai hewan peliharaan. Mereka (hewan peliharaan) mendapat tempat dan penanganan berbeda. Tetapi untuk hewan-hewan komoditas, mereka ada hanya untuk dikonsumsi.
Jadi sangat wajar jika pemerintah Australia menghentikan ekspor sapinya ke Indonesia dengan alasan tadi. Meskipun berhentinya impor sapi dari Australia Indonesia tidak punya masalah berarti karena Indonesia masih punya sumber impor sapi dari negara lainnya yang mungkin tidak mempermasalahkan hal sepele ini (bagi Indonesia sepele).
Menurut saya pribadi, sebenarnya bukan masalah sumber impor sapi berkurang atau tidak. Sebenarnya lebih ke bagaimana Indonesia memperbaiki pengelolaan RPH (Rumah Pemotongan Hewan) atau lebih dikenal dengan tempat penjagalan. Tempat ini memang dari dulu sudah terkesan seram, ditambah lagi bila kita melihat para tukang jagal, tampang sangar dan menakutkan sangat terasa. Wajar saja, untuk membunuh hewan sebesar sapi saja mereka tega, apalagi manusia yang kecil. Bukan bermaksud menganggap lain profesi tukang jagal, ini hanya sebuah candaan. Oleh karena itu, pengelolaan RPH harus dapat perhatian, untuk dikemas menjadi sebah rumah produksi yang baik. Bukan hanya sekedar sebagai rumah pembantaian mahkluk hidup.
Sapi merupakan contoh yang sering kita lihat sebagai hewan komoditas, meskipun ada juga kambing, domba atau hewan-hewan komoditas konsumsi lainnya. Perlakuan penyembelihan hewan-hewan tersebut terkadang memang tidak sesuai dengan perikebinatangan. Belum lagi hewan-hewan yang sering digunakan dikalangan suku tertentu untuk keperluan adat misalnya, seperti babi, anjing atau hewan-hewan lainnya yang tidak lazim dikonsumsi untuk kebanyakan orang.
Saya ambil contoh anjing. Di kebiasaan suku tertentu di Indonesia, anjing sering dijadikan komoditas konsumsi. Biasanya digunakan untuk acara-acara tertentu, untuk diolah menjadi makanan tertentu. Proses penjagalan anjing ini terkadang memang tidak sesuai dengan perikebinatangan, bahkan dianggap sadis. Seperti perlakuan memasukan anjing yang akan dijagal ke dalam karung kemudian dipukuli/ digebuk sampai mati, atau ada pula yang ditenggelamkan, meskipun ada juga cara penjagalan normal seperti disembelih. Ada kepercayaan tertentu bila anjing yang diperlakukan demikian bila dagingnya diolah nanti akan memberi rasa yang berbeda.
Hal-hal tersebut bila kita lihat menampilkan kesadisan semata, tapi entah ini adat atau sesuatu yang harus dipertahankan atau dirubah, karena tidak sesuai dengan etika kehidupan? Pertanyaan ini yang ada di kepala saya. Itu merupakan contoh-contoh kecil yang sering dijumpai di Indonesia. Ada pula hewan-hewan lain seperti kera ekor panjang yang juga sering dijadikan konsumsi. Otak kera ekor panjang pun terkadang diambil, untuk dikonsumsi karena dipercaya memberi khasiat tertentu.
Tapi bagi saya pribadi melihat itu semua adalah bentuk kesadisan. Meski saya juga tidak menampik menjadi pengkonsumsi apa yang telah dilakukan pada hewan-hewan tersebut. Karena, seringnya saya tidak melihat prosesnya, mungkin kalau saya melihat prosesnya langsung sudah pasti tidak akan tega mengkonsumsinya. Memang mengerikan dan sungguh sebuah kesadisan atau tindakan yang tidak berperikebinatangan bila dilihat dari kacamata yang berbeda.
Tapi hendaknya kita sekarang berpikir dengan sesuatu yang berbeda itu. Hewan atau bahkan tumbuhan/ pepohonan, hendaknya dijadikan patner saling menguntungkan dalam kehidupan ini. Sehingga kehidupan dunia yang seimbang terus tercipta. Sekarang yang terjadi adalah tidak adanya keseimbangan di bumi ini, manusia ada hanya sebagai agen ekspolitasi semata. Cara kekerasan atau kesadisan sudah saatnya mulai dikurangi dan diganti dengan cara-cara lebih etis. Cpr.

Posting Komentar

1 Komentar

  1. Ternyata, habis saya posting tentang perkehewanan ini, saya baca surat pembaca tentang keluhan tindakan yang tidak berperikehewanan. Melepas hewan di jalan tol. Benar-benar biadab dan sadis orang yang melakukannya. Di surat pembaca itu dituliskan :
    “Akhir-akhir ini sering tersua anjing dan kucing masuk di jalan tol dalam kota dan luar kota, lalu mati tertabrak oleh kendaraan yang melintas dengan laju tinggi. Kami pernah melihat dengan mata kepala sendiri anjing tertabrak kendaraan di ruas jalan tol dari Grogol, Jakarta Barat, menuju Ancol, Jakarta Utara. Di sepanjang jalan itu tidak akses yang memungkinkan anjing tersebut ‘berinisiatif’ memasuki jalan tol yang tinggi. Dugaan kami, ada orang yang sengaja melepas anjing tersebut di jalan tol. ...”
    Begitu sepenggal surat pembaca di Harian Kompas, edisi Sabtu, 11 Juni 2011. Justru malah tindakan tidak berperikehewanan dilakukan dengan sengaja. Memang, manusia sudah parah. Tindakan sesama manusia saja sudah tidak berperikemanusiaan, apalagi terhadap hewan atau tumbuhan. Mungkin bila hal ini terjadi di negara maju, hal macam ini sudah dapat penanganan. Dalam arti pelakunya pasti kena sanksi. Dan kalau pun terjadi tidak sebanyak di kita, masyarakat negara maju lebih punya pikiran yang lebih baik.

    BalasHapus

Tinggalkan jejak, jika anda mampir ;p Terima kasih atas kunjungannya - cocoper6