Eropa Tertarik Pengalaman RI Demokrasi Tak Bertentangan dengan Islam


Eropa Tertarik Pengalaman RI
Demokrasi Tak Bertentangan dengan Islam

BRUSSELS, KOMPAS – Indonesia, menurut Parlemen Eropa, bisa memainkan peran lebih konstruktif baik sebagai contoh maupun fasilitator, dalam rangka diplomasi antaragama global dan menurunkan ketegangan antaragama yang belakangan ini terjadi di Eropa.

Oleh JIMMY S HARIANTO

Hal itu terungkap dalam acara dengar pendapat antara para tokoh agama Indonesia dan Parlemen Eropa di Brussels, Belgia, Rabu (1/6) petang, setelah Parlemen itu mendengar pengalaman penanganan dan kerukunan antaragama yang terjadi di Indonesia.
“Semestinya Indonesia lebih berbicara lantan mengenai hal ini, yang jarang kami dengar,” kata seorang anggota dewan di sidang Parlemen Eropa, yang diprakarsai anggota parlemen dari New England, S Diva.
Seorang anggota parlemen senior, Miguel Mesquita da Cunha-Ketua Forum Parlemen Agama-agama Sedunia, yang juga segera akan digelar di Brussels-bahkan secara khusus menulis pesan kepada Azyumardi Azra, salah satu anggota rombongan yang diterima Parlemen.
“Secara khusus saya sangat tertarik akan apa yang anda katakan mengenai kompatibilitas Islam dengan demokrasi, dan juga perlunya agama apa pun untuk menghargai serta mengadaptasi keragaman bdaya lokal.  Isu ini menurut saya sungguh relevan dengan perkembangan dunia saat ini,” tutur Miguel Mesquita da Cunha kepada Azyumardi.
Rombongan tokoh agama Indonesia dipimpin Sekjen Kementerian Agama RI Bahrul Hayat dan Duta Besar RI di Belgia Arif Havas Oegroseno. Selain Azyumardi Azra, yang mantan Rektor Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, juga hadir Dirjen Bimas Hindu Ida Bagus Yudha Triguna dan pendeta Kristen Protestan dari Gereja Toraja, Lidya Kambo Tandirerung, dari Sekolah Tinggi Teologi Indonesia Timur di Makassar.
“Saya kira Parlemen Eropa masih memiliki perspektif lama bahwa Islam itu tidak cocok dengan demokrasi. Setelah mereka  mendengar pengalaman Indonesia, ternyata tidak masalah. Muslimin Indonesia tidak melihat Islam dan demokrasi bertentangan. Ini menarik karena mereka tahu susah sekali menumbuhkan demokrasi di negara-negara Arab,” ujar Azyumardi seusai sidang di Brussels itu.
Menghargai perempuan
Azyumardi menuturkan kenyataan di Indonesia, “Semisal, kalau ada istri hamil tujuh bulan, dirayakan, dibacakan surat Yasin, surat Yusuf, dengan harapan kalau lahir bayi itu lelaki ganteng seperti Nabi Yusuf atau kalau perempuan bisa secantik Siti Zulaika-padahal itu tradisi lokal yang diadopsi oleh Islam Indonesia, kemudian hal itu menjadi sesuatu yang tidak asing bagi masyarakat Indonesia dan dekat dengan konteks kultur Indonesia,” kata Azyumardi.
Contoh lain yang menarik, dan ini tak akan mungkin terjadi di dunia Arab adalah bahwa di Indonesia itu biasa terjadi perempuan (qoriah) membaca Al-Quran di publik.
“Ini sesuatu yang tidak bisa terjadi di negeri Arab. Itu karena apa? Di Indonesia suara perempuan tidak dianggap sebagai aurat. Aurat adalah bagian dari tubuh laki-laki atau perempuan yang bisa menimbulkan nafsu birahi,” ujarnya.
“Orang Indonesia itu lebih positif memandang perempuan. Perempuan tidak dipandang sebagai penggoda. Di Arab, bahkan suara perempuan  saja sudah dianggap pembangkit birahi laki-laki. Jadi, perempuan tidak bisa tampil di depan publik,” katanya.
Ada kecurigaan dan bias terhadap perempuan, kata Azyumardi. Posisi perempuan yang dikait-kaitkan dengan  bias-bias keagamaan itu hampir tidak ada di Indonesia. “Memang, ada prioritas pendidikan lebih pada laki-laki. Namun, tidak ada pendapat, perempuan itu sebagai penggoda laki-laki atau menyesatkan laki-laki di masyarakat Indonesia,” ujarnya pula.
Dalam bentuk konkretnya, indigenisasi Islam juga bisa dilakukan pada pemeluk Islam di Eropa, misalnya melakukan training bagi imam pada masyarakat setempat. “Jadi, bukan, misalnya, mendatangkan Islam dari tempat-tempat lain, seperti India, Pakistan, Banglades, atau Turki, seperti masih terjadi di Eropa, dan mereka ini tidak bisa bicara dalam bahasa lokal, seperti bahasa Perancis atau Jerman sehingga kemudian mereka teralienasi dari masyarakat setempat  itu. Inilah yang kemudian menimbulkan sikap antipati, yang disebut orang sebagai Islamofobia,” kata Azyumardi.
Melalui Kedutaan Besar Indonesia di Eropa, Azyumardi menganjurkan agar mengulurkan tangan untuk terwujudnya pelatihan imam Eropa di Indonesia untuk meredakan ketegangan antaragama di Eropa.

Sumber :
Harian Kompas Cetak, Edisi Sabtu, 4 Juni 2011, Rubrik Internasional. Halaman 9

Posting Komentar

1 Komentar

  1. Artikel ini saya ketik ulang karena sangat menarik. Karena kesulitan cari yang asli, untuk di simpan sebagai koleksi jadi saya tulis ulang sesuai aslinya.
    Kenapa menarik karena, wajah Indonesia di mata warga Internasional cukup baik. Mereka mengakui keberagaman bangsa kita, dan mereka ingin belajar dari Indonesia. Meskipun Indonesia belum sempurna dalam mengelola keberagaman ini, karena masih ada sedikit intrik-intrik. Tapi secara keseluruhan warga Eropa khususnya memandang Indonesia pantas memberi masukan kepada mereka bagaimana menyikapi keberagaman.
    Intinya agar dunia ini aman dan damai, agar tidak selalu bermusuhan atau berperang karena berbeda suku atau agama. It's good news ;)

    BalasHapus

Tinggalkan jejak, jika anda mampir ;p Terima kasih atas kunjungannya - cocoper6