Meniadakan Lebih Mudah daripada Mengadakan

Segala sesuatu yang ada di bumi ini sudah diadakan oleh Tuhan melalui penciptaan-Nya. Butuh waktu tujuh hari Tuhan menciptakan bumi ini dengan segala isinya, termasuk manusia di dalamnya. Butuh waktu yang cukup lama untuk mempersiapkan itu semua. Semuanya itu Tuhan ciptakan untuk manusia. Manusia yang diciptakan dengan segala kelebihan dari makluk lain ciptaan-Nya, sehingga manusia dikatakan mahkluk sempurna. Tapi sayangnya, manusia yang ditugaskan menjaga dan merawat hasil ciptaan-Nya tidak berlaku arif. Keserakahan, kecongkakkan membuat semua yang telah diadakan di bumi ini hilang dan rusak begitu saja.
Peradaban manusia terus berjalan, akibat peradaban masa lalu dan yang kini sedang kita jalani akan menjadi penyebab dari akibat yang akan dirasakan penerus peradaban selanjutnya. Akibat negatif yang banyak lebih terasa akan dinikmati anak cucu kita nanti. Apa yang sudah diadakan sebelum mereka tak akan lagi dapat ditemukan nanti, karena semuanya dengan mudah ditiadakan oleh kita dulu dan sekarang.
Mungkin karena sifat ‘merusak’ manusia yang lebih dominan dibandingkan sifat ‘merawat dan menjaga’ yang menyebabkan semua ini terjadi. Bumi ini sudah tak seperti dulu, kini bumi dan segala isinya telah berubah. Manusia memanfaatkan bumi ini dengan tidak memperhatikan kelangsungan kehidupan kedepannya. Manusia hanya tahu bahwa alam punya kemampuan untuk mengembalikan keadaan secara alami. Itu saja pengetahuan yang manusia punya, dengan itu pula alasan untuk memanfaatkan semua yang ada di bumi ini. Padahal alam perlu proses untuk mengembalikan itu semua, “mengadakan lebih sulit dari meniadakan, begitupun mempertahankan lebih sulit daripada merebut, dan merawat akan lebih sulit daripada membuat”.
Bumi kita kini sedang menghadapi perubahan yang cukup drastis. Pemanasan global membuat bumi ini menjadi lebih panas; cuaca dan iklim menjadi sulit diprediksi; es di kutub lebih mudah mencair; sinar uv masuk ke bumi tanpa penyaring alami karena penyaringnya kini sudah rusak akibat dari aktivitas manusia; keanekaragaman hewani dan hayati semakin sedikit, kepunahan mengancam mereka; laut dan hutan tempat hidup makluk penghuni bumi selain manusia telah berubah rusak. Semua itu akibat aktivitas keserakahan manusia dalam memanfaatkan bumi ini.
Meski begitu, masih ada manusia-manusia yang peduli, masih ada manusia yang tidak serakah yang masih mau menjaga bumi ini, namun jumlahnya tidak banyak, apa yang mereka buat kalah saing dengan apa yang telah manusia-manusia serakah perbuat. Sehingga berbanding terbalik, usaha membantu mengembalikan bumi ini ke kondisinya terkesan sia-sia, terkesan yang mereka perbuat hanya untuk melanggengkan manusia-manusia serakah mengeruk manfaat dari bumi ini.
Lihatlah usaha manusia yang peduli yang menjaga keberadaan penyu hijau, mereka berusaha menangkarkan penyu-penyu di balai konservasi di tepi-tepi pantai yang menjadi habitat penyu-penyu langka itu. Ribuan tukik-tukik (calon-calon penyu) bahkan puluhan ribu dikembalikan ke alam setelah ditangkarkan untuk membantu perkembangan binatang langka itu. Tetapi tidak semudah itu tukik-tukik itu bisa hidup menjadi dewasa. Alam punya seleksi tersendiri yang bisa membawa mereka menjadi dewasa, karena alam punya keseimbangannya. Tapi yang menjadi masalah, manusia-manusia serakah masih ada di sekitar kita. Penyu-penyu yang ada di alam menjadi sasaran untuk meraup keuntungan, dibantai dan diperjualbelikan tanpa memperhatikan keseimbangan perkembangbiakan penyu-penyu itu. Mereka hanya tahu, penyu-penyu masih hidup, tidak punah seperti kata para ahli dan pengamat lingkungan. Itu yang ada di pikiran mereka, karena mereka tidak tahu bagaimana sulitnya merawat dan menjaga kelestarian penyu-penyu itu. Itu hanya satu contoh, masih banyak contoh-contoh lain yang berkaitan dengan usaha pelestarian bumi ini yang selalu terbentur dengan ulah manusia-manusia serakah di dunia ini.
Usaha menjaga kelestarian pabrik karbon, yaitu hutan. Begitu banyak bibit disiapkan, disemai, dan ditanam untuk mengganti pohon-pohon yang telah habis dibabat. Namun, usaha ini terkesan sia-sia, apa yang sudah ditanam tidak begitu saja dijaga, dirawat kelangsungan tumbuhnya hingga menjadi pohon yang besar. Manusia-manusia serakah menjadi musuh utama, para penebang-penebang liar tetap saja melakukan aksinya, bahkan di hutan konservasi sekalipun yang jelas-jelas dilindungi dari hal itu. Pengusaha-pengusaha pemegang hak pengelolaan hasil hutan pun tidak melakukan tanggung jawab alamnya dengan baik. Penanaman pohon pengganti untuk pohon yang akan ditebang pun tidak efektif karena tidak dilakukan pengusaha-pengusaha itu dengan ‘hati’. Yang penting cepat jadi uang, mereka akan lakukan. Sesuatu yang ingin instan membuat mereka tidak punya hati. Itu sebabnya hutan-hutan kini mulai habis, sumber karbon dunia makin menipis. Apa yang mereka lakukan sebenarnya mengganggu keseimbangan ekosistem hutan. Habitat satwa-satwa terganggu, berikut tempat mencari makan serta kelangsungan hidupnya, kemudian keanekaragaman flora menjadi terancam, tumbuhan-tumbuhan endemis lokal pun terancam kelangsungan hidupnya.
Usaha penangkaran terumbu karang agar ekosistem laut bisa kembali normal pun nasibnya serupa dengan usaha-usaha pelestarian alam lainnya. Karang merupakan tempat hidup organisme laut, sumber makanan dan sekaligus organisme laut tumbuh. Kunci menjaga menjaga ekosistem laut tetap lestari. Namun usaha ini selalu terbentur dengan ulah manusia-manusia serakah yang berbuat tidak dengan ‘hati’. Mereka melakukan penambangan potensi laut dengan sembrono, tanpa memperhatikan dan tanggung jawab moral atas kerusakan yang mereka perbuat.
Semua contoh di atas berkaitan dengan alam, hasil ciptaan Yang Maha Kuasa yang menjadi pemilik jagad bumi dan alam semesta ini. Apa yang diperbuat manusia sungguh tak menghargai ciptaan Yang Esa, sungguh durhaka. Inilah yang manusia perbuat terhadap Tuhan nya. Terhadap Tuhan nya saja mereka berbuat seperti itu, apalagi hanya ciptaan sesamanya manusia. Sungguh mengerikan tingkah manusia di dunia, terutama mereka yang serakah.
Kita harus berusaha menjadi manusia yang sadar akan lingkungan mulai dari sekarang. Yang kita perbuat sekarang akan berdampak nanti. Entah baik dan buruk, tentunya baik atau buruk itu akan kita tuai nanti. Bila kita sadar lingkungan dari sekarang, hasil yang akan kita tuai nanti terutama untuk anak cucu kita akan benar-benar bermanfaat. Namun sebaliknya bila yang perbuat merusak dan meniadakan yang sudah ada, kepunahan dan sisa-sisa kehidupan saja yang bisa dinikmati anak cucu kita, bahkan itu pun kalau masih bisa anak cucu kita menikmati bumi ini. Semua bergantung dari kita sekarang, sadarlah akan lingkungan. Bila kita tidak mampu mengadakan atau mengusahakan, jaga dan rawatlah, itu sudah cukup membantu bumi kita untuk mengembalikan kondisinya. Sebuah timbal balik yang positif antara manusia dan alam. Cpr.

Posting Komentar

0 Komentar