Es Kelapa Rp 8.000,00/plastik. Wajarkah?


Malam ini, 24/5/2011. Saya sedang menjemput pacar saya di Blok M. Mungkin pacar saya penat plus haus, karena habis makan gorengan, sudah pasti rasa haus benar-benar menyerang. Es kelapa jadi pilihan penghilang haus saat itu, maklum kondisi malam ini cukup panas dan jalanan malam yang macet sejak dari Blok M hingga menuju Depok.
Sepanjang perjalanan mata kami melihat ke kiri jalan, berharap ada penjual es kelapa, namun sampai Stasiun Tj. Barat belum juga diketemukan itu penjual es kelapa. Biasanya setelah Sta. Tj. Barat tidak jauh tepatnya di kiri jalan ada penjual es kelapa, tapi malam ini tidak jualan. Akhirnya berharap di depan akan bertemu penjual yang dicari. Sampai akhirnya melewati Stasiun Lenteng Agung, tidak juga menemui penjual es kelapa. Ada juga penjual tetapi sepertinya sudah mau ‘gulung tikar’, beres-beres maksudnya, karena sudah habis dagangannya. Terpaksa harus gigit jari. Rasa haus terus merong-rong saat itu, membuat semakin tidak sabar.
Selepas Halte KFC di kompleks koperasi, kalau tidak salah kiri jalan ada penjual es kelapa. Dulu, setiap kali saya melintas jalan ini, saya selalu mendapati penjual es kelapa ini selalu ramai, namun sekarang ini kelihatannya memang agak sepi, tetapi penjual es kelapa terdekat dari sini ya hanya ini, maklum haus sudah merong-rong dari tadi. Akhirnya berhentilah di penjual yang paling dekat ini.
Mulai aneh saat berhenti, penjual es kelapa tapi seperti tidak niat jualan. Saat kami tanya “Ada es kelapa?”, kami kira jawabnya tidak ada, ternyata ada. Soalnya benar-benar tempatnya tidak ‘mitayani’. Kami pun menunggu sambil melihat ibu penjual menyiapkan seplastik es kelapa. Saya kira dia akan menebas kelapa yang baru, ternyata tidak. Dia mengambil kelapa yang sudah terbuka, dan mengerok daging buahnya. Tempat dia menghidangkan es kelapa pesanan kami pun tidak meyakinkan, letaknya agak ke atas, kondisinya seperti dapur untuk cuci piring, ditemani ember-ember kumel plus dekil. Membuat selera minum kami mulai hilang. Kemudian dia menuangkan air dari sebuah cangkir berisi larutan air, saya kira itu air bekas, tapi mungkin itu air kelapa. Maklum kami berpikir demikian karena benar-benar kondisinya menjijikan. Kami saat itu hanya bisa melihat, sambil mengkerutkan dahi. Saya kira ibu itu akan menuangkan air kelapa asli dari sebuah kelapa, ternyata tidak. Lalu dia menambahkan air gula dan es batu, lalu selesai sudah. Saat kami akan membayar, “Berapa?” Ada hal mencengangkan, kata-kata yang keluar dari ibu itu, “Rp 8.000,00.” Sambil menelan ludah, dibayarkanlah uang sebesar itu, padahal sebelumnya kami sudah siapkan uang Rp 3.000,00, karena memang sewajarnya segitu harga sebungkus es kelapa, kalau dari satu buah kelapa masih wajar, tapi ini!
Kami benar-benar kecewa, rasa haus langsung hilang begitu saja. Kami pun pergi dengan kecewa, sangat-sangat kecewa. Kenapa waktu awal tidak tanya, sebungkus berapa. Menyesal sekali perasaan kami saat itu. Sambil jalan, diminumlah es kelapa itu, uek, ternyata rasanya tidak enak! Boro-boro ada rasa air kelapa murni, tidak ada sama sekali, rasanya seperti air biasa yang diberi gula lalu es batu. Karena ditambah rasa jengkel dan kecewa, kami memutuskan membuang itu es kelapa. Benar-benar menjijikan, cara penyajiannya saja tidak memenuhi syarat.
Harga es kelapa satu plastik itu biasanya Rp 2.000,00 – Rp 3.000,00. Ataupun paling mahal Rp 5.000,00. Kalau kelapa satu butir di sekitaran Depok Rp 6.000,00. Kalau untuk es kelapa di restoran atau cafe biasanya Rp 8.000,00 – Rp 10.000,00 per gelas atau per sajian, dan sudah pasti rasanya bisa dijamin. Lha ini, harga cafe tapi rasanya “sampah”.
Untuk mengobati kekecewaan kami, kami coba berpikir bahwa itu ibu penjual sedang butuh uang untuk biaya sangu anaknya sekolah besok. Karena tidak ada yang beli, jadi pas ada yang beli dia pukul harga, kebetulan si pembeli tidak menanyakan berapa harganya. Nah, buat pengalaman, lain kali kalau membeli sesuatu makanan atau minuman sajian di pinggir jalan, selalu tanyakan harganya berapa. Jangan sampai kita kecewa ada gap antara bentuk makanan/ minuman yang dijual dengan harganya tidak sesuai.
Terus sekaligus berbagi pengalaman, hati-hati lah sama penjual es kelapa di jalan raya menuju Depok, sebelum masuk terowongan menuju Depok, kiri jalan, patokan mudahnya kalau tidak salah lokasinya sebelum warung Sate PSK. Penjualnya tidak pakai tarub atau atap, hanya terbuka, ada tumpukan-tumpukan kelapa. Lalu dari jauh memang kelihatan penjual es kelapa, tetapi saat didekati mirip penjual es kelapa yang mau gulung tikar, atau bangkrut. Tapi ternyata masih berjualan. Nah, kalau ingin mencobanya silakan, tapi selalu gunakan tips tadi di atas, selalu tanyakan berapa harganya. Biar tidak kecewa. Kemudian lihat bagaimana cara penyajiannya, mudah-mudahan tidak seperti yang kami alami malam ini. Cpr.

Posting Komentar

0 Komentar