Sejarah Perkeretaapian di Indonesia


Kereta api di Indonesia merupakan sarana transportasi yang paling digemari rakyat kecil. Karena biayanya yang murah meriah dan waktu tempuhnya yang relatif pasti ketimbang sarana transportasi lain seperti bus. Bagi rakyat kecil kereta api menjadi pilihan, tapi memang karena tarifnya yang memang ‘rakyat’ banget, membuat sarana dan pelayanan kereta api rakyat menjadi sangat memperihatinkan. Kereta api ekonomi lah yang menjadi primadona rakyat kecil. Meskipun kereta api kelas bisnis dan eksekutif punya pelayanan yang lebih baik tapi dengan harga yang lebih mahal tentunya. Waktu tempuh kereta api juga relatif pasti, kalau pun terlambat karena  ada  kecelakaan atau kereta yang anjlog atau ada hambatan banjir atau longsor, selebihnya dalam keadaan normal kereta api relatif memberi kepastian waktu.
Kereta api ada di Indonesia sudah sejak jaman kolonial. Dulu kereta api digunakan penjajah untuk mengangkut hasil bumi dari daerah-daerah penghasil hasil bumi unuk dibawa ekspor. Penjajah sudah visioner dalam mengembangkan sarana transportasi ini, karena memang lebih ekonomis. Penjajah sampai harus mengimpor lokomotif dari negeri asalnya, itu terbukti dari sisa-sisa lokomotif tua bekas kolonial, seperti ada di Museum Kereta Api, Ambarawa, di sana banyak sekali kereta api tua yang dulu masih menggunakan sistem uap dengan bahan bakar kayu. Bahkan ada juga kereta api yang diperuntukkan untuk melintasi perbukitan dan gunung-gunung, dengan penggerak rel di tengah, saya lihat sewaktu di Ambarawa.
Sejarah perkeretaapian di Indonesia diawali dengan pencangkulan pertama pembangunan jalan kereta api di desa Kemijen tahun Juni 1864, pada masa pemerintahan Gubernur Jenderal Hindia Belanda L. A. J. Baron Sloet van den Beele. Pembangunannya diprakarsai oleh "Naamlooze Venootschap Nederlandsch Indische Spoorweg Maatschappij" (NV. NISM) yang dipimpin oleh Ir. J.P. de Bordes dari Kemijen (Kelurahan Kemijen, Kecamatan Semarang Timur, Kota Semarang, Jawa Tengah) menuju desa Tanggung (Grobogan) (26 Km) dengan lebar kereta api 1435 mm. Jalur ini dibuka untuk angkutan umum pada Agustus 1867. Kemudian dilanjutkan dengan pembangunan rel yang menghubungkan kota Semarang-Surakarta (110 kilometer) Februari 1870.
Pertumbuhan rel berkembang pesat antara tahun 1864-1900. Kalau tahun 1867 baru 25 kilometer, tahun 1870 menjadi 110 kilometer, pada tahun 1880 mencapai 405 kilometer, kemudian tahun 1890 menjadi 1.427 kilometer dan pada tahun 1900 menjadi 3.338 kilometer. Sampai pada tahun 1939 panjang jalur rel kereta api di Indonesia mencapai 6.811 kilometer. Namun pada tahun 1950 panjangnya berkurang menjadi 5.910 kilometer. Berkurangnya jalur rel tersebut diduga dibongkar pada masa pendudukan Jepang dan diangkut ke Burma untuk pembangunan jalan kereta api di sana.
Pembangunan infrastruktur perkeretaapian tak hanya ada di pulau Jawa. Selain di Jawa, pembangunan rel kereta api juga dilakukan di Aceh tahun 1874, di Sumetara Utara tahun 1886, di Sumatera Barat tahun 1891, di Sumatera Selatan 1914. Bahkan di Sulawesi juga dibangun jalur rel sepanjang 47 kilometer antara Makassar-Takalar yang pengoperasiannya dilakukan Juli 1923.
Jenis jalan rel kereta api di Indonesia dibedakan dengan lebar kereta 1.067 mm; 750 mm (di Aceh) dan 600 mm di beberapa lintas cabang dan tram kota. Jalan rel yang dibongkar semasa pendudukan Jepang (1942 - 1943) sepanjang 473 km, sedangkan jalan kereta api yang dibangun semasa pendudukan Jepang adalah 83 km antara Bayah-Cikara dan 220 km antara Muaro-Pekanbaru. Ironisnya, dengan teknologi yang seadanya, jalan kereta api Muaro - Pekanbaru diprogramkan selesai pembangunannya selama 15 bulan yang memperkerjakan 27.500 orang, 25.000 diantaranya adalah romusha. Jalan yang melintasi rawa-rawa, perbukitan, serta sungai yang deras arusnya ini, banyak menelan korban yang makamnya bertebaran sepanjang Muaro - Pekanbaru.
Setelah Indonesia merdeka tahun 1945 karyawan kereta api yang tergabung dalam “Angkatan Moeda Kereta Api” (AMKA) mengambil alih kekuasaan perkeretaapian dari pihak Jepang. Peristiwa bersejarah yang terjadi pada tanggal 28 September 1945, pembacaan pernyataan sikap oleh Ismangil dan sejumlah anggota AMKA lainnya, menegaskan bahwa mulai tanggal 28 September 1945 kekuasaan perkeretaapian berada ditangan bangsa Indonesia. Orang Jepang tidak diperkenankan lagi campur tangan dengan urusan perkeretaapian di Indonesia. Inilah yang melandasi ditetapkannya 28 September 1945 sebagai Hari Kereta Api di Indonesia, serta dibentuknya "Djawatan Kereta Api Republik Indonesia" (DKARI). Nama DKARI diubah lagi menjadi Perusahaan Jawatan Kereta Api (PJKA) pata tanggal 15 September 1971, kemudian pada tanggal 2 Januari 1991 nama PJKA resmi diubah menjadi Perusahaan Umum Kereta Api (Perumka) dan semenjak 1 Juni 1999 diubah menjadi PT Kereta Api Indonesia (Persero)/ PT KAI sampai sekarang.
Museum Ambarawa
Hingga kini sisa-sisa infrastruktur kereta api jaman kolonial masih bisa kita lihat, baik kereta apinya yang tersimpan di Museum, sisa jalur-jalur rel yang masih ada dan masih dipergunakan sampai sekarang, kemudian yang paling dapat dan sering dilihat adalah bangunan stasiun-stasiun kereta api yang ada di Indonesia, terutama stasiun-stasiun besar. Bangunan stasiun tersebut dibangun dengan konstruksi yang sangat kuat dan kokoh, buktinya masih berdiri dengan gagah hingga sekarang. Bangunan stasiun itulah yang menjadi saksi sejarah kereta api di Indonesia selain kereta-kereta tua yang ada di museum kereta api.

Sumber :
Wikipedia-Kereta Api Indonesia diakses tanggal 4 Maret 2011

Posting Komentar

0 Komentar