Pengacara ‘Buta’

Hukum di negeri Indonesia memang sudah sangat memperihatinkan. Negara yang berdasar atas hukum memang paling pintar memainkan hukum, tentunya dengan uang. Karena hukum di Indonesia hanya untuk yang punya uang. Kalau punya uang meskipun dihukum rasanya biasa saja. Hukum dibuat sebenarnya untuk mengatur perilaku manusia yang sebenarnya ingin cenderung bebas.
Perangkat hukum di Indonesia memang sudah parah bobroknya, dari Polisi, Jaksa, Hakim, bahkan pengacara yang selalu kita lihat mendampingi klien tergugat dan yang menggugat. Orang-orang yang berkutat dengan hukum ya sekolahnya tidak jauh-jauh dari studi tentang hukum. Materi yang diajarkan ya sama yaitu hukum digunakan untuk menegakkan keadilan dan kebenaran tetapi pada kenyataan berbeda, benar jadi salah-salah jadi benar, sampai-sampai kita tidak tahu mana yang benar mana yang salah.
Hukum yang hancur macam begini, karena perilaku aparat-aparat yang terlibat di dalamnya yang kurang tegas. Ketegasan mereka dipengaruhi oleh uang, bukan karena kebenaran dan keadilan. Uang bagi mereka di atas segala-galanya. Tetapi aparat-aparat ini tidak mau dinyatakan begitu, mereka selalu bilang itu ulah ‘oknum’. Oknum kah? Apabila Oknum hanya segelintir orang saja, tetapi di Indonesia oknum-oknumnya sudah terlalu banyak, bahkan menggurita pada tubuh lembaganya. Meski begitu keadaannya aparat-aparat tersebut masih saja tutup mata. Mereka tidak pernah mau mengakui kebobrokannya dan berusaha memperbaikinya. Dan sekali lagi melimpahkan kesalahannya pada oknum, bukan intropeksi diri.
Keburukan hukum kita ditambah lagi dengan tingkah pengacara. Saya sering jengkel melihat tingkah pengacara-pengacara. Sudah jelas-jelas kliennya bersalah, ya masih dibela mati-matian, dan berusaha klien itu dibebaskan. Toh mereka sadar hukum, mereka juga lulusan hukum bahkan ada yang lebih tinggi dengan embel-embel gelar di belakang namanya, tetapi tingkahnya ya begitu-begitu saja. Toh yang benar, kalau memang kliennya itu salah, biarlah dihukum sesuai aturan yang berlaku, sesuai dengan kesalahan yang diperbuat. Terkadang yang terjadi malah pengacara dengan segala kepandaiannya tentang hukum mulai memainkan tafsir-tafsir hukumnya untuk membebaskan si klien karena kliennya sudah membayar mahal dirinya.
Sindiran untuk pengacara yang berbunyi : “pengacara membela yang bayar, bukan membela yang benar” sepertinya memang benar. Tetapi sekali lagi dengan segala pembelaannya mereka selalu bilang itu hanya ulah oknum. Bosan mendengarnya! Apa pernah melihat pengacara yang dengan gagah berani menyalahkan kliennya saat persidangan karena memang si klien bersalah, atau kalau itu terlalu ekstrim saat klien meminta untuk dibela padahal sudah jelas klien itu bersalah, tolaklah dari awal. Memang itu pemikiran idealis yang lahir bukan dari seorang sarjana hukum. Mungkin bakal ditertawai, apalagi kalau memang seorang lulusan hukum berpikir idealis, bisa-bisa dtertawakan oknum. Tapi negeri ini akan semakin hancur kalau sudah tidak ada orang-orang yang idealis.
Baru-baru ini melihat kasus Gayus. Kasus Gayus ini memang menyita perhatian publik, karena ulahnya memporak-porandakan kewibawaaan aparat (pemerintah dan hukum ) dan hukum. Kita sendiri yang awam tahu kalau tindakan Gayus itu salah, dan sudah sepantasnya dihukum atas tindakannya. Awalnya gayus dibela oleh pengacara terkenal Adnan Buyung Nasution. Sempat saya berpikir, orang semacam gayus masih ada yang mau membela,  jelas-jelas dia bersalah, dan yang membelanya adalah pengacara terkenal, bukankah akan menghacurkan kredibilitasnya. Tetapi seiring berjalannya kasus hingga vonis, maksud dari Adnan adalah ingin membongkar kasus yang lebih besar dari seorang Gayus. Namun apa dikata, setelah vonis, Gayus tidak sejalan dengan pemikiran pengacaranya itu. Akhirnya kini berganti pengacara. Sebelumnya saya sempat mendengar statement pengacara lain yang kini jadi pengacara Gayus, mengatakan (saya lupa pasti kata-katanya) tetapi intinya bahwa mempertanyakan Adnan sebagai pengacara Gayus, berniat membela atau apa. Mendegar kata-kata si pengacara ini, mata saya terbuka, bahwa yang dilakukan Adnan masih lebih baik daripada pengacara yang satu ini. Tipikal seorang ‘oknum’ sepertinya ada pada pengacara ini.
Kini pengacara itu mengambil alih kasus Gayus, dan diberbagai media menyampaikan bahwa statement yang dikatakan Gayus sebelum-sebelumnya adalah tidak benar. Mulailah si oknum ini berkerja, kebenaran mulai ditutupi untuk menyelamatkan kliennya dari jeratan hukum dan juga mungkin menyelamatkan rantai mafia yang sebenarnya dari kasus Gayus. Cape memang kalau melihat tingkah pengacara model begini. Lihat saja kalau sedang diwawancara media, terlihat menggebu-gebu membela yang bayar. Pengacara inilah yang saya katakan ‘buta’, buta melihat kebenaran dan keadilan. Pengacara model begini tidak cuma satu-dua-tiga, tetapi banyak, dan tersebar dimana-mana. Kita juga bisa lagi lihat pengacara yang menangani kasus travel check pemilihan deputi senior gubernur BI atas klienya Bu Nunun, yang katanya dinyatakan sakit. Ya sama saja, seperti pengacara ‘buta’ membela mati-matian si klien agar tidak diperiksa karena alasan sakit atau bla-bla-bla. Kemudian pengacara kasus Ariel dan kasus-kasu lainnya yang dibela oleh pengacara ‘buta’.
Kebenaran yang hakiki adalah satu, tetapi di mata hukum jadi lain, kebenaran menjadi tidak satu, melainkan beragam tergantung dari tafsir pasal yang dikenakan. Itu yang terjadi sekarang di mata saya. Sampai kapan wajah hukum Indonesia bisa ceria, dan keadilan memang benar-benar bisa ditegakkan? Hanya waktu yang bisa menjawabnya. Cpr.

Posting Komentar

0 Komentar