Pilkada DKI Cerminan Suara Rakyat vs Suara Parpol‏

Pilkada DKI putaran pertama sudah selesai digelar. Putaran pertama telah menyisihkan empat pasang calon gubernur. Tersisa dua pasang calon gubernur yang akan bertarung diputaran kedua nanti.
Berdasarkan hasil putaran pertama itu dapat dilihat cerminan peta kekuatan suara rakyat, lebih tepatnya suara masyarakat DKI Jakarta. Suara rakyat DKI sendiri dan kekuatan mesin politik yakni parpol. Putaran pertama sendiri diramaikan dua pasang calon independen dan empat pasang calon dari parpol.
Putaran pertama pilkada DKI  telah usai digelar beberapa waktu lalu. Hasilnya cukup mencengangkan bagi parpol besar yang mengusung calonnya. Kekuatan besar mesin politik mereka tak mampu mendongkrak suara terhadap calon-calonnya. Bahkan yang menyakitkan, pasangan calon gubernur dari parpol berlambang pohon beringin kalah dari pasangan calon independen. Sungguh-sungguh membuktikan, suara parpol bukan suara rakyat. Kemudian, pasangan calon gubernur incumbent, yang notabene didukung parpol berkuasa, yang awalnya digadang-gadang bakal sukses hanya dengan satu putaran hanya mampu menduduki posisi kedua. Padahal menurut hasil survei sebelumnya, merekalah yang duduk diposisi pertama. Tapi kenyataannya pada hari H pilkada putaran pertama, hasilnya berbeda.
Sekali lagi, ini semua menunjukkan, bahwa suara parpol bukan suara rakyat. Suara parpol hanya sebatas elit-elit politiknya saja yang berebut kekuasaan. Bagi saya sendiri berpendapat demikian. Saya pribadi tidak pernah mempercayai parpol. Parpol hanya sebatas sarana penyampaian aspirasi, tetapi tidak menjadi patokan akan suara rakyat akan dibawa kemana. Kenyataan selama ini, suara rakyat yang dibawa parpol tidak pernah sesuai dengan prinsip demokrasi, dari-oleh-untuk rakyat.
Kita bisa lihat, tingkah laku elit-elit parpol yang bertingkah seperti anak kecil. Persaingan kampanye berlanjut dengan tidak sehat. Isu-isu tertentu dibawa, dalam rangka memperoleh dukungan, dengan memakai ikon tertentu. Meskipun hal ini dipastikan dibantah oleh tim kampanye salah satu calon. Pola persaingan tidak sehat ini bisa kita lihat dengan mata telanjang. Lihat saja, ketika ada korban bencana kebakaran, ada salah satu pasangan calon yang berstatement yang kurang pantas. Hal-hal ini juga salah satu contoh bentuk persaingan tidak sehat.
Putaran kedua baru beberapa bulan lagi dilakukan. Tapi persiapannya sudah dimulai. Pencarian dukungan dilakukan, parpol-parpol yang kalah atas calon-calon yang diusung pada putaran pertama jadi prioritas permohonan dukungan. Sampai saat ini, parpol besar yang kalah diputaran pertama sudah merapat ke salah satu pasangan calon. Sedangkan pasangan calon lainnya tetap bertahan dengan dukungan beberapa parpol yang sama ketika putaran pertama.
Pertarungan kali ini memang terlihat antara parpol koalisi besar dengan parpol koalisi kecil. Bila melihat diatas kertas, prediksi siapa pemenangnya sudah ketahuan. Tetapi seperti yang saya sampaikan diatas, suara parpol bukan suara rakyat. Rakyat punya pilihannya sendiri, mana yang pantas jadi pemimpinnya nanti. Asalkan pertarungan pilkada nanti berjalan "murni" tanpa adanya praktik politik hitam, suara rakyat jadi penentu. Suara parpol hanya meramaikan saja, karena suara parpol pada nantinya adalah hanya tarik menarik akan pembagian kekuasaan saja.
Saya pribadi bukan merupakan pemilih dalam pilkada nanti. Memang tidak penting apa yang saya utarakan ini. Tetapi ini merupakan apa yang saya pikirkan tentang pilkada ibukota negara. Ini soal opini warga negara terhadap siapa yang akan memimpin ibukota negaranya. Saya pun ada di wilayah DKI Jakarta, dan bekerja di wilayah ini. Sehingga kebijakan apa pun yang dilakukan di DKI Jakarta, saya pun dapat merasakannya. Sekali lagi ini hanya opini. Opini rakyat yang muak dengan carut-marut parpol yang lebih banyak busuknya daripada harumnya. Suara rakyat adalah suara yang keluar dari dalam goa. Yang lantang disuarakan, tapi lirih saat sampai ke telinga pendengarnya (pemerintah). Cpr.

Posting Komentar

1 Komentar

  1. Terbukti gabungan partai koalisi yang mengusung salah satu pasang calon akhirnya kalah. Mereka meyakini suara rakyat dibawah bendera partai mereka akan mendukung pasangan calon yang mereka usung. Tapi nyata nya mereka kalah besar.
    Semoga nanti di pemilu presiden 2014 terjadi hal yang sama, agar mulut besar orang2 parpol bisa sedikit diredam dengan action kinerja yang berpihak pd rakyat, bukan cuma manis dibibir saja.

    BalasHapus

Tinggalkan jejak, jika anda mampir ;p Terima kasih atas kunjungannya - cocoper6