Cirebon – Jakarta 22 Jam Lalu Lintas yang “Padat Merayap, Meratap, Merangkak, dan Tiarap”

Pengalaman yang tak terlupakan, pertama kalinya saya menikmati liburan Lebaran dengan melakukan ritual seperti pada umumnya masyarakat Indonesia melakukannya. Mudik, itulah aktivitas yang dilakukan sebagian banyak masyarakat di Indonesia menjelang perayaan hari raya.
Ritual mudik ini menjadi suatu keharusan dilakukan oleh masing-masing individu apabila merasa sebagai orang perantauan, yang jauh dari kampung halaman. Penghalang jarak tidak menjadi hambatan bagi mereka. Kendala yang tak kalah penting, seperti finansial pun diusahakan sedemikian rupa agar ritual mudik ini tetap bisa dilakukan.
Tahun ini, pertama kalinya saya ikut serta dalam memeriahkan ritual mudik tahunan. Dahulu, sewaktu kuliah saya pun juga melakukan mudik saat hari raya, seperti Lebaran. Namun, karena waktu itu kampus saya berada di Jawa Tengah, tepatnya Purwokerto dan kampung halaman saya di Cirebon, jadi kurang merasakan aroma mudik itu. Aroma yang terasa pada saat mudik adalah macet, karena kendaraan menumpuk pada jalur dan arah yang sama.
Kali ini saya mudik dari Jakarta menuju Cirebon, sama seperti yang dilakukan banyak perantau Jawa yang ada di Jakarta. Mereka melakukan migrasi besar-besaran ke kota-kota yang ada di Jawa. Di sini ada yang aneh, meskipun Jakarta masih berada dalam satu pulau, yaitu Pulau Jawa, tetapi sepertinya Jakarta sedikit dibedakan dengan kota-kota lain di Pulau Jawa, seakan-akan Jakarta merupakan daerah yang terpisah dari Pulau Jawa.
Libur Lebaran sebentar lagi, waktu kerja di kantor untuk bulan ini juga sebentar lagi berakhir, karena akan libur. Segala sesuatu disiapkan untuk pulang kampung. Mudik kali ini memang saya sedikit beberapa kali berubah rencana, dari rencana nebeng ikut motor dengan teman, naik ‘kereta hewan’ (sebutan saya untuk kereta ekonomi, karena begitu tidak layaknya untuk mengangkut manusia) dan naik kendaraan pribadi (mobil). Naik angkutan umum seperti bus buat saya bukan merupakan pilihan, karena menurut saya jauh dari kenyamanan, meskipun kenyamanannya masih lebih baik daripada naik ‘kereta hewan’.
Akhirnya mendekati hari H keberangktan, keputusan diperoleh, menggunakan kendaraan pribadi menjadi pilihan, dengan status nebeng. Kebetulan ada tawaran untuk mudik bersama dengan menggunakan mobil pribadi, karena tujuannya yang searah.
Sabtu pagi, pukul setengah sembilan, mobil jemputan pun siap. Start berangkat saat itu juga. Keluar Jakarta tepat di gerbang tol itu sekitar pukul sembilan pagi. Pagi ini memang lalu lintas dalam kota dan tol dalam kota menuju ke luar Jakarta cukup lancar, pemandangan macet yang setiap hari tersuguh di Jakarta sepertinya tidak tersaji. Hati sudah cukup senang, mudik ini sepertinya akan berjalan lancar. Sampai akhirnya sampai pada pintu keluar tol, dimana di sinilah lokasi yang termasyur setiap tahun menjadi pusat awal kemacetan saat melakukan ritual mudik. Ternyata benar, dari pintu tol Cikampek inilah petualangan ‘berjalan semeter demi semeter kami lalui’.
Tepat pukul sepuluh pagi saat kita keluar pintu tol, kemacetan sudah tersaji di depan mata. Seharusnya saat keluar pintu tol kita mengambil arah kiri, tapi berhubung macet, aparat mengalihkannya ke kanan, yang artinya memutar. Peta pun dikeluarkan, untuk melihat dan sekaligus sebagai petunjuk ke arah mana seharusnya kita tempuh.
Di peta itu, seharusnya kita tembus di pertigaan Kosambi, setelah di pertigaan itu kita tinggal ambil kanan, dan masuk ke jalur Cikampek, jalur pantura yang akan membawa kita ke Cirebon dan arah lain yang berada di jalur pantai utara. Ternyata keadaan di lapangan berkata lain, aparat mengalihkan semua kendaraan untuk berputar arah sejauh 25 kilometer ke arah kiri, yaitu balik menuju ke arah Jakarta, hanya untuk berputar balik. Dan di sinilah waktu kami terbuang beberapa jam.
Jam berganti jam, panas semakin panas siang itu, tetap saja tidak ada yang bisa diperbuat. Seperti judul film warkop, “maju kena mundur kena”, seperti itulah kondisi jalanan saat itu, macet stug, kiri-kanan, maupun arah sebaliknya yang menuju arah Cikampek. Untung saja mobil yang saya tumpangi pendingin udaranya berjalan dengan baik, kalau tidak bisa jadi kami di dalam sudah terpanggang jadi makanan saat hari raya nanti, seperti kue nastar dalam oven.
Tidak disangka waktu berlalu begitu saja tanpa ada kepastian, sampai waktu magrib datang. Posisi kami saat itu belum sampai pada pertigaan dimana kami berbelok tadi, total waktu untuk itu telah dihabiskan delapan jam. Sungguh luar biasa, waktu selama itu bila keadaan normal sudah bisa membawa kami ke tempat tujuan.
Kondisi saat itu memang begitu macetnya, sampai jalanan saat iu tak ubahnya seperti acara pasar malam. Terlihat di badan jalan tergeletak sampah-sampah sisa makanan. Wajar saja, sambil menunggu macet ini, pengguna jalan melakukan aktivitas sehari-hari, makan-minum-tidur-buang air di atas jalan itu, jadi sudah layak dan sepantasnya betapa kotornya badan jalan saat itu.
Malam semakin larut, namun kemacetan masih saja terlihat, namun kali ini relatif lebih cair. Laju kendaraan yang tadi hanya semeter-demi-semeter, sekarang sudah bisa melaju lima sampai sepuluh meter ke depan.
Hari kami ini kami habiskan di jalanan, seperti melakukan perjalanan jauh, sampai kami harus beristirahat beberapa kali untuk melepas lelah. Wajar, pengemudi mobil yang saya tumpangi ini hanya seorang, saya tidak bisa menggantikan posisinya, karena saya tidak bisa menyetir mobil. Di dalam mobil pun hanya ada seorang ibu dan anaknya yang masih berumur satu  tahun lewat, jadi memang tidak ada pilihan pengemudi pengganti.
Sampai akhirnya hari berganti esok, saat matahari mulai terbit posisi kami baru melewati wilayah Indramayu, baru menuju masuk ke wilayah Kabupaten Cirebon. Yah, lumayan terhibur karena arus lalu intas sudah jauh mencair. Cirebon sudah di depan mata. Akirnya sampai pukul setengah tujuh pagi.
Rombongan yang saya tumpangi ini masih harus melanjutkan perjalanannya ke Purwokerto. Oleh karena itu saya terpaksa turun di pintu masuk mau ke tol Palimanan-Kanci. Saat itu tepat pukul setengah tujuh pagi. Senangnya hati ini akhirnya sampai juga. Rasa iba juga terbersit, karena rombongan ini masih harus melakukan perjalanan panjang menuju Purwokerto, yang mungkin kondisi kemacetannya akan lebih parah lagi.
Total dihitung, perjalanan saya kali ini memang jadi perjalanan paling panjang, untuk menempuh jarak yang relatif jauh. Waktu yang saya habiskan kurang lebih 22 jam. Perjalanan yang melelahkan. Kalimat yang bisa saya utarakan untuk menunjukkan kondisi lalu lintas saat itu adalah “padat merayap, meratap, merangkak, dan tiarap”. Kata-kata itulah yang pantas menggambarkan betapa macetnya saat itu. Kenapa tidak, bila lalu lintas “padat merayap” kita masih bisa melaju, meskipun hanya 5-10 meter, tapi saat itu tidak begitu. Coba saja bayangkan berapa jauh sih bila seorang bayi merangkak? Bahkan sampai tiarap atau tidak jalan sama sekali untuk waktu yang tidak bisa ditentukan. Nah itulah gambaran macet saat itu. Jadi kalimat yang saya rilis ini sepertinya pantas digunakan pada ritual mudik tahun depan. Cpr.

Posting Komentar

1 Komentar

  1. 2 bulan lagi sudah mau ketemu Lebaran lagi, tepatnya nanti pertengahan Agustus. Lebaran sllu identik dengan hajat rutin, yakni mudik.
    Nah postingan di atas kan ttg pengalaman mudik 2011, mudah2an di tahun 2012 ini jangan terulang. Persiapkan moda transportasi lain yg lbh efektif, kereta misalnya. Coba pesan tiket untuk keberangkatan lebih awal, sehingga ada prepare sebelumnya.
    Untuk jalur darat by mobil pribadi sepertinya tidak disarankan deh. Setiap tahun saja pertumbuhan kendaraan luar biasa, sedangkan pertumbuhan jalan tidak ada. Jadi jgn sia2kan wkt mudik anda terbuang percuma di jalanan. Mulai rencanakan mudik anda dari sekarang.

    BalasHapus

Tinggalkan jejak, jika anda mampir ;p Terima kasih atas kunjungannya - cocoper6