Mendengar Kisah Wong Cilik dari Segelas Es Cincau

Siang ini luar biasa panasnya, perut dari pagi belum terisi, namun ‘tugas’ demi ‘ibu pertiwi’ harus dilakukan. Memesan tiket kereta api di Jatinegara, untuk esok pagi. Tenggorokan siang ini lumayan dahaga, dan memang sejak beberapa hari lalu pengen es cincau. Kebetulan, terlihat di kiri jalan, ada seorang penjual cincau. Ku hentikan laju kendaraan dan menghampirinya.
“Pak, satu, dibungkus saja! Tidak usah diikat ya, pak,” begitu kataku. Ternyata, sedotan untuk piranti minumnya, sedotan biasa. Jadi saya kesulitan untuk meminumnya. Awalnya saya ingin meminumnya sambil jalan, tetapi ternyata tidak bisa. Akhirnya saya minta pindah ke gelas saja.
Sambil minum, terlibatlah pembicaraan ringan, mengenai nasib ‘wong cilik’. Bapak ini memulai bercerita, tentang bagaimana menyikapi hidup. Meski orang kecil, masih tahu bagaimana yang baik dan buruk. Meski hidupnya sehari-hari di jalan, yang keras dengan segala macamnya, ada sesuatu yang dia punya dan bisa dibanggakan. Nilai-nilai kejujuran dan takut sama Tuhannya.
Bapak ini berasal dari Karawang, tetapi sebagian besar hidupnya dihabiskan di Jakarta tepatnya di Kebon Nanas, sedari jaman Alm. Soeharto memimpin. Sempat terlontar pernyataan membandingkan nasibnya lebih baik di jaman dulu. Bapak ini mengatakan bahwa jaman sekarang mau apa-apa susah, apalagi untuk memenuhi kebutuhan berjualan. Bapak ini mengeluhkan mahalnya semua kebutuhan. “Jaman Soeharto sih, apa-apa murah. Uang seratus ribu saja bisa cukup buat seminggu. Sekarang, sehari saja sudah habis,” katanya.
Sempat juga terlontar keluhannya terhadap pemimpin negeri ini, yang hanya memikirkan diri mereka sendiri. “Hidup yang penting itu jadi berkah buat diri sendiri dan keluarga. Percuma hidup kaya raya tapi tidak berkah,” ujarnya lagi. Dalam hatiku, suara hati rakyat, yang masih punya nurani. Dia pun mengatakan bahwa percuma sekarang memilih pemimpin yang sudah-sudah, mending tidak usah dipilih.
Cukup banyak pembicaraan kami saat itu, sampai segelas cincau ku habis. Bapak ini juga bercerita kesulitannya dalam berjualan. Katanya “Dulu, berjualan cincau bisa sampai Kampung Melayu, sekarang paling, tidak jauh-jauh, paling jauh ke Jatinegara”. Saya sempat bertanya, “Kenapa, pak?” Bapak ini berkata, “Ya dulu Kampung Melayu masih luas, sekarang sudah sempit, karena ada busway, belum lagi macet.”
Dia mengeluhkan kesulitan membawa gerobak dorongnya melintas di jalanan, karena banyak kendaraan, sehingga khawatir tersenggol. Bapak ini pun bercerita pernah mengalami nasib naas, saat gerobaknya terpepet oleh bus kota, semua dagangannya terbalik dan hancur berantakan.
Kemajuan kota besar memang terkadang menggusur pedagang-pedagang kecil, terutama pedagang makanan/ minuman kedaerahan, seperti penjual es cincau gerobak dorong ini. Kemiskinan yang membuat hidup mereka stag di posisi itu. Dia juga bercerita bahwa, berdagang es cincau ini juga warisan ayahnya.
Kepasrahan lebih ditunjukkan, yang penting melakukan usaha yang halal dan bisa jadi berkah, itu sudah cukup buat bapak ini. Rakyat kecil sebenarnya sudah dibekali kepasrahan menghadapi hidup. Namun sayangnya, kepasrahan mereka terkesan dimanfaatkan penguasa. Padahal penguasa punya peluang untuk memperbaiki kehidupan rakyat kecil ini agar lebih baik, namun sayangnya peluang itu tidak diambil, yang diambil justru peluang memperkaya diri.
Oleh karena itu, nasib rakyat kecil akan tetap di titik yang sama, malah mungkin  terpuruk. Sekedar untuk memenuhi kebutuhan saja sulit, jadi tak salah di jaman reformasi yang sudah maju ke depan, rakyat-rakyat kecil ini kembali menoleh ke belakang, karena ternyata masa lalu lebih menjamin kepastian hidup mereka.
Ini salah satu contoh kecil wajah dan kesulitan rakyat kecil, masih banyak lagi mereka-mereka yang berusaha dengan cara halal agar mendapat berkah. Tidak seperti mereka penguasa, yang berusaha dengan berbagai cara untuk memperkaya diri. Hendaknya seorang pemimpin atau penguasa mau turun langsung, mendengar keluhan wong cilik, dengan tidak mengenakan jubah penguasa, turunlah sebagai rakyat biasa, dengarkanlah suara mereka, ambilah peluang untuk mensejahterakan mereka, dan bangsa ini secara keseluruhan. Cpr.

Posting Komentar

0 Komentar