Monyet Ekor Panjang (Macaca fascicularis) “Monyet Hutan Menjadi Monyet Metropolitan”


Monyet kera ekor panjang, kini telah menjadi primadona jalan raya ibukota. Tingkahnya kini dapat kita temui di sudut lampu lalu lintas di ibukota. Sebenarnya bukan saja kini, monyet kera ekor panjang dapat dilihat bukan di alamnya, tapi sejak dulu era 1980-an. Sejak monyet kera yang satu ini menjadi komoditas kesenian, kesenian “topeng monyet”. Sapaan yang akrab di telinga kita untuk monyet kera-kera itu adalah ‘sarimin’. “Sarimin pergi ke pasar,” kata pawangnya. Dengan gaya khas seekor monyet kera, berpolah dengan berbagai propertinya seperti motor-motoran, payung, kuda-kudaan kayu, tas belanja, topeng dsb sambil diiringi tabuhan alat musik. Membuat kita tertawa karena lucu melihat tingkahnya.

Kesenian “topeng monyet” merupakan kekhasan budaya yang ada sejak dulu, yang sudah dikenal beberapa generasi sebelum kita. Pawang dan keranya bisa menjadi agen budaya dan sekaligus sebagai pekerja, yang memperoleh penghasilan dari kesenian ini. Sang pawang berkeliling keluar masuk kampung mencari orang yang akan menanggapnya karena disitulah pendapatan yang akan diterimanya. Semakin banyak yang menanggapnya, semakin banyak juga pendapatannya. Ini yang terjadi dulu.

Sebelumnya mari kita intip, siapa sih si monyet kera ini. Informasinya saya peroleh dari beberapa sumber bacaan, seperti biasa link-nya saya sediakan di bawah postingan ini. monyet kera yang ikut andil dalam “topeng monyet” adalah jenis monyet kera ekor panjang punya nama binomial Macaca fascicularis. Klasifikasi ilmiah dari monyet kera ini, Kerajaan : Animalia, Filum : Chordata, Kelas : Mammalia, Ordo : Primata, Famili : Cercopithecidae, Genus : Macaca, Spesies : M. Fascicularis. Monyet ini merupakan monyet kera asli Asia Tenggara dan juga tersebar di berbagai wilayah di Asia.


Sumber: Google

Monyet kera ekor panjang merupakan monyet kera kecil yang berwarna coklat dengan perut agak putih terutama pada mukanya. Bayi monyet kera yang baru lahir berwarna hitam, muka dan telinganya berwarna merah muda. Setelah satu minggu kulit mukanya menjadi merah muda keabu-abuan dan setelah enam minggu menjadi coklat. Warna rambut yang menutupi tubuh bervariasi tergantung pada umur, musim dan lokasi. Monyet kera yang menghuni kawasan hutan umumnya berwarna lebih gelap dan lebih mengkilap, sedangkan yang menghuni kawasan pantai umumnya berwarna lebih terang.  Monyet kera ini juga punya jambul, rambut pada mahkota kepala tersapu ke belakang dari arah dahi. Monyet kera muda seringkali mempunyai jambul yang tinggi, sedangkan monyet kera yang lebih tua mempunyai cambang yang lebat mengelilingi muka.

Panjang kepala dan badan berkisar antara 350-455 mm, panjang ekor antara 400-565 mm, telapak kaki belakang 120-140 mm, tengkorak 120 mm dan telinga 34-38 mm. Berat jantan dewasa berkisar 5-7 kilogram dan betina dewasa 3-4 kilogram. Ekor monyet kera ini berbentuk silindris dan muskular dan ditutupi oleh rambut-rambut pendek. Umumnya panjang ekor antara 80-110 persen dari panjang kepala dan badan.

Habitat asli dari monyet kera ini adalah kawasan hutan di tepi sungai, tepi danau atau sepanjang pantai, hutan sekunder areal perladangan, ada pula di rawa mangrove. Monyet kera ini dapat beradaptasi dengan keadaan lingkungannya dan iklim yang berbeda. Seperti yang telah disampaikan di atas, bahwa kera jenis ini banyak tersebar di Asia Tenggara. Penyebaran antara lain di Indocina, Thailand, Burma, Malaysia, Philipina dan Indonesia. Di Indonesia sendiri terdapat di Sumatera, Kepulauan Lingga dan Riau, Bangka, Belitung, Kepulauan Tambelan, Kepulauan Natuna, Simalur, Nias, Jawa dan Bali, Matasari, Bawean, Maratua, Timor, Lombok, Sumba dan Sumbawa.

Monyet kera ini termasuk jenis satwa primata yang tidak dilindungi untuk sekarang ini. Di habitat aslinya, yakni di alam, populasinya masih melimpah dan bahkan di beberapa tempat menjadi hama tanaman pangan yang di tanam di tepi hutan. Kera ekor panjang merupakan jenis kera yang paling umum dikenal karena penyebarannya yang luas dan sifatnya yang mudah beradaptasi.

Sifatnya yang mudah beradaptasi ini mungkin juga karena dipengaruhi tingkah laku makannya. Monyet kera ekor panjang merupakan monyet kera pemakan buah. Tidak hanya itu jenis makanan lain juga bisa dimakannya berupa serangga, bunga rumput, jamur, tanah, molusca, crustacea, akar, biji dan telur burung.  Ada makanan utama paling penting di habitatnya di alam, yaitu Fucus spp.

Aktivitas harian monyet kera ini di alam, dari informasi yang saya baca, terdiri dari 35% untuk makan, 20% untuk penjelajahan, 34% untuk istirahat, 12% untuk grooming (mengurus atau merawat), dan kurang dari 0,5% untuk aktivitas lainnya. Dari situ dilihat bahwa kera ini lebih banyak menghabiskan waktu untuk makan dan istirahat.

Melihat dari perkembangbiakannya, monyet kera betina melahirkan seekor anak monyet kera, jarang  yang sekali melahirkan dua ekor anak monyet kera. Di alam, perbandingan antara jantan dan betina adalah 1 : 17, itu berdasarkan informasi dari jurnal yang saya baca. Jadi kemungkinan reproduksinya besar. Maka tidak heran ada di suatu tempat populasinya menjadi cukup banyak dan menjadi hama bagi tanaman-tanaman milik penduduk di tepi hutan. Namun ada pula di tempat tertentu, biasanya di tempat yang dikeramatkan misal pusara atau makan orang terpandang di jamannya, monyet kera yang menghuni tempat itu, menurut penduduk sekitar jumlahnya tidak pernah bertambah atau berkurang. Meski hal ini belum diteliti secara ilmiah.


Seperti yang sudah disampaikan di atas, monyet kera ini termasuk dalam hewan yang tidak dilindungi. monyet kera ini ternyata juga mempunyai andil dalam perekenomian dan aktivitas kedokteran serta aktivitas pengembangan ilmu pengetahuan, seperti untuk biomedis, teknologi antariksa dll. Ada pun negara tujuan ekspor monyet kera-kera ini antara lain Amerika Serikat, Inggris, Jepang dan Swedia. Monyet kera ini juga diperjualbelikan (di Jakarta itu di Pasar Pramuka) untuk bahan makanan, karena dipercaya daging dan bagian tubuh lain monyet kera ini punya khasiat tertentu. Ada pula yang diperjualbelikan untuk kepentingan kesenian, untuk dilatih menjadi “topeng monyet”. Monyet kera ini dijadikan komoditi ekspor untuk hal-hal tersebut. Kebutuhan monyet kera ekor panjang ini di dunia dipenuhi oleh tiga negara eksportir yakni negara kita Indonesia, Philipina dan Malaysia.

Membaca informasi ini akhirnya membuat kita tak lagi kaget, bila kini monyet kera-kera ini telah ‘dipaksa’ melakukan ‘urbanisasi’ ke kota. Karena tak hanya melakukan ‘urbanisasi’, monyet kera-kera ini juga sering dipaksa ‘migrasi’ ke luar negeri melalui keran ekspor. “Keluar negeri saja bisa, masa hanya pindah dari hutan ke kota tidak bisa.” Maka dari sebab itu, kini semakin banyak kita jumpai monyet kera ekor panjang berada di perkotaan, di sudut-sudut lampu merah (kini), dan berkeliling kompleks perumahan (sejak dahulu).

Monyet kera ini sejak dulu sudah menjadi komoditas kesenian di Indonesia, “topeng monyet”, itu nama keseniannya. Saya mengenal kesenian ini sejak saya kecil, bahkan mungkin generasi sebelumnya juga sudah mengetahui kesenian unik ini. Tapi kini mulai jarang saya temui lagi di kompleks perumahan saya. Tapi saat saya ke Jakarta, saya banyak sekali menemukannya, namun dengan lokasi yang berbeda, yakni di sedut-sudut lampu merah di bawah terik matahari dan bahkan saat hujan sekalipun.


Dulu melihat atraksi dari monyet kera ini bersama pawangnya menimbulkan perasaan kagum, sekaligus lucu melihat tingkah polah monyet kera ini. Tetapi kini, melihat monyet kera-kera ini yang berada di sudut-sudut lampu merah, perasaan yang muncul adalah sebaliknya, iba dan kasihan. Sebenarnya perlakuannya sama saja, tetapi kini monyet kera-kera itu lebih terkesan ‘dipaksa’ melakukan itu semua, dipaksa berpanas-panas di tengah hari bolong, atau bahkan berhujan-hujanan, serta dipaksa menghirup polusi dari asap kendaraan bermotor. Dari sini rasa iba dan kasihan, jiwa perikehewanan/ perikebinatangan kita seakan-akan muncul. Meskipun dari sisi perikemanusiaan monyet kera ini dapat membantu pawangnya mengais rupiah di Jakarta.

Entah siapa salah siapa benar? Tetapi saat sesuatu dilakukan sudah tidak dengan kewajaran atau diluar batas serta muncul eksploitasi kebinatangan, mungkin bisa dipersalahkan atas perlakuan itu. Justru kini, mungkin dengan rasa iba itu, si pawang dapat mengais rupiah lebih banyak. Berbeda dengan kesenian “topeng monyet” dulu kala, rasa kagum dan lucu melihat pola tingkah kera yang menjadi sumber pundi-pundi rupiah bagi si pawang.

Ini pengalaman iba dan kasihan saya terhadap nasib monyet kera ini, di sebuah lampu merah di Pejaten Village, Jakarta, saya melihat seekor monyet kera yang hidungnya terluka, mungkin terkena topeng kecil yang sedang berusaha monyet kera itu kenakan. Mungkin tergores atau tertusuk, sehingga hidungnya berdarah. Meskipun saya hanya sekedar melihat, mungkin rasa sakit monyet kera itu rasakan. Si monyet kera pun terlihat menjilat lukanya dengan air liurnya. Tetapi si pawang tetap memaksanya berpolah, dengan menghentakkan rantai kekangnya di leher monyet kera itu. “Waduh, kasihan amat kau monyet kera, di hutan kau bebas berkeliaran  di sini untuk mengurusi luka mu saja tidak bisa. Kejamnya manusia”, ujar diri saya dalam hati.


Namun dari informasi yang saya baca, menurut pawangnya, monyet kera ini tidak dieksploitasi. Monyet kera ini juga mendapatkan haknya, seperti makan dan perawatan, begitu katanya. Monyet kera-kera ini tetap diberi istirahat dan dijaga kesehatannya agar tidak sakit. Agar selalu sehat setiap hari diberi makan dan suplemen khusus. Suplemen ini diracik khusus seperti campuran susu, telur ayam kampung, madu dan vitamin. Monyet kera ini pun dapat jatah liburan, dua hari seminggu. Satu hari untuk istirahat total dan sehari lagi untuk melatih ketangkasan. Begitulah dari informasi yang saya baca.

Kalau begitu namanya bukan diberi jatah libur dua hari dong, sama saja cuma satu hari. Namanya libur tidak melakukan aktivitas, ini ada satu hari melatih ketangkasan, dan hari itu pula monyet kera akan mendapat siksaan bila tidak melakukannya. Toh di alam, aktivitas hariannya hanya sekedar makan dan beristirahat. Di sinilah perbedaan yang kentara, antara monyet kera hutan dan monyet kera metropolitan. Mungkin kalau bisa memilih, si monyet kera akan memilih tetap berada di alam bebas daripada hidup di metropolitan dengan segala siksaan kerasnya hidup. Cpr.


Catatan ini dibuat ketika musim, topeng monyet di sudut-sudut TL ibukota, kini 2017 sudah tak tampak lagi, mungkin lain waktu akan viral lagi. Seperti sekarang, di beberapa daerah, monyet jenis ini menyerang manusia karena habitat dan sumber makanannya telah habis, akhirnya merambah ke lingkungan perumahan yang dihuni manusia

Sumber :
Wikipedia – Monyet Ekor Panjang diakses tanggal 27 Mei 2011
Dephut.go.id – Kera Ekor Panjang diakses tanggal 27 Mei 2011
e-journal.perpustakaan IPB – Yanso Santoso-Beberapa Parameter Bioekologi Penting.pdf diakses tanggal 27 Mei 2011

Posting Komentar

1 Komentar

  1. Catatan ini sepertinya harus mengalami editing, karena pengertian kera dan monyet adalah berbeda.
    Kera lebih dicirikan sebagai mamalia primata yang punya kemampuan lebih, bentuk tubuhnya mirip manusia, berbulu pada seluruh tubuhnya, memiliki otak yang relatif lebih besar dan lebih cerdas daripada hewan lain, termasuk hewan pemakan buah, biji-bijian, dan sebagainya.

    Sedangkan monyet adalah kera yang bulunya berwarna keabu-abuan dan berekor panjang, tetapi kulit muka, telapak tangan, dan telapak kakinya tidak berbulu.

    Pelurusan ini karena viralnya seekor monyet yang menyerang warga Boyolali.
    LIPI sabagai lembaga yang paham akan hal ini menjelaskan apa perbedaannya. Dan apa yang saya sudah tulis sebelumnya akan saya sesuaikan, supaya punya pemahaman yang sama.

    Amir Hamidy yang merupakan Kepala Laboratorium Herpetologi Bidang Zoologi Puslit Biologi LIPI menyebut bahwa yang menyerang warga di Boyolali merupakan monyet. Nama latinnya adalah Macaca fascicularis atau monyet ekor panjang.

    BalasHapus

Tinggalkan jejak, jika anda mampir ;p Terima kasih atas kunjungannya - cocoper6