Pembangunan yang Menggusur Budaya


Kompas, Sabtu, 7 Mei 2011 ada membahas tentang nasib pasar terapung di masyarakat sungai di Kalimantan yang tergusur pembangunan. Beberapa waktu lalu saya iseng menuangkan ide dalam postingan yang berjudul Daerah Tanpa Rencana “Membangun dan Merawat”, di postingan itu saya membahas juga tentang pembangunan yang dilakukan pemerintah daerah. Pembangunan yang sekedar hanya bangun dan bangun hanya untuk jangka pendek saja. Kalaupun pembangunan sudah dilakukan, usaha merawatnya tidak ada. Dalam membangun hendaknya dilakukan berdasarkan rencana jangka panjang yang telah disepakati bersama, dengan melihat potensi daerah.
Kini ada contoh tentang daerah yang melakukan pembangunan namun tidak melihat potensi daerah yang akan dibangunnya. Dan kini pembangunan itu mulai berdampak menggusur sesuatu yang telah dibangun sejak dulu kala, yaitu budaya. Masyarakat Kalimantan, terutama masyarakat sungai di Banjarmasin, telah lama mengantungkan hidup dan segala aktivitasnya dari yang namanya sungai. Sudah barang tentu sungai inilah seharusnya bisa dilihat menjadi potensi daerah, bukan malah potensi ini terkesan diabaikan. Dari informasi yang saya baca di artikel kompas yang berjudul “Pembangunan di Darat Menggusur Pasar Terapung”, dahulu sungai di sana diperkirakan lebih dari 400 buah, tetapi kini tinggal 100 buah saja. Dari hal ini bisa dilihat, terjadi penurunan yang cukup banyak. Kemanakah sungai-sungai itu?
Sungai merupakan jalan air, jalan air dari tempat dataran tinggi untuk menuju laut. Di sungai inilah banyak kehidupan, dahulu pun pada masyarakat primitif, kehidupan suatu masyarakat umumnya dimulai dari daerah sungai. Karena sungai kerap memberikan kehidupan, sebagai sumber air, untuk keperluan irigasi pertanian, sumber ikan, dan sebagai jalur transportasi, maklum saja dahulu akses jalanan belum ada. Begitu pentingnya sungai di masa dulu. Tapi kini sungai terabaikan. Tidak ada niat dan usaha untuk menjaganya dan bahkan ada terkesan pembiaran. Kini kehidupan makin modern, kehidupan sungai sepertinya sudah ditinggalkan. Pembangunan jalan dan sarana di daratan menjadi prioritas dengan mengabaikan hal penting lainnya yang merupakan potensi sebenarnya dari daerah itu. Ibarat kacang lupa kulit.
Kehidupan masyarakat Banjarmasin kala itu bergantung dari sungai, aktivitas perekonomian muncul dengan memanfaatkan potensi yang ada. Ibarat peribahasa tak ada akar, rotan pun jadi. Tidak ada tempat untuk berniaga yang memadai di daratan, sungai pun bisa menjadi tempat yang unik untuk berniaga. Hal yang tak lazim, biasanya ‘pasar’ atau tempat bertemunya penjual dan pembeli terjadi di darat, di sini terjadi di atas sungai, dengan menggunakan sampan atau perahu kecil. Bahkan ‘pasar’ ini menjadi sesuatu yang khas di sini, suatu hal yang unik.
Tetapi kini semuanya mulai tergerus oleh yang namanya pembangunan. Bukan bermaksud men-negatif-kan pembangunan, tetapi pembangunan yang tidak memperhatikan potensi sesungguhnya dari daerah yang akan dibangun akan menjadi sesuatu yang tidak maksimal. Kecuali memang membangun dari nol, itu wajar. Tetapi di sini, mereka (pemerintah) membangun tidak dari nol, ada sesuatu yang sudah berjalan sebelumnya, pemerintah hanya tinggal melanjutkan, apa sulitnya melanjutkan?
Pemerintah tahu, kehidupan masyarakatnya bermula dari sebuah aliran sungai, seharusnya dari situlah pembangunan di mulai. Agar dampak postif benar bisa dirasakan, bukan malah dampak negatif yang dirasakan. Dampak negatif ini bahkan malah cenderung menghilangkan budaya masyarakat yang telah terbentuk dari dulu. Kini pasar-pasar di darat mulai berkembang, mengikis pasar terapung yang merupakan pasar pada mulanya. Ditunjukkan dengan semakin berkurangnya pedagang pasar terapung.
Pembangunan yang pesat di darat tidak memperhatikan keberadaan sungai-sungai kecil. Sungai-sungai kecil ini dulu digunakan sebagai akes masuk ke Barito, karena belum adanya sarana jalan yang memadai. Tetapi kini jalur sungai-sungai kecil mulai hilang, karena pengaruh pendangkalan dan tertutup jembatan-jembatan beton sehingga perahu-perahu sulit melewati. Ini contoh pembangunan tidak kreatif yang tidak melihat potensi. Seharusnya sungai-sungai ini tetap dipertahankan, sebagai warisan tempo dulu, sehingga sarana transportasi sungai dan darat bisa berjalan bersama, sehingga warisan peradaban sungai tetap terjaga. Hal ini tentu bisa menjadi aset pariwisata bagi daerah itu. Ya, ini kembali lagi pada pola pikir membangun tanpa rencana yang jelas, mau dibawa kemana daerah yang akan dibangun.
Di dunia ada contoh daerah di suatu negara yang punya warisan peradaban sungai dan masih dijaga sampai kini, seperti di Venesia, yang terkenal sebagai daerah seribu sungai. Sungai-sungai di sana tetap dipertahankan baik sebagai jalur transportasi dan bahkan potensi pariwisata. Mereka pun melakukan pembangunan, tetapi mereka membangun sesuatu dari apa yang mereka punya, sehingga tidak ada sesuatu yang dibuang percuma.
Kita memang negara yang tidak pernah belajar dari pengalaman. Pengalaman dari dalam negeri saja tidak pernah jadi pelajaran berharga, jadi apalagi pengalaman negara lain. Sedihnya melihat negeri ini, sedih pula melihat nasib rakyat yang terus-terusan saja terkena imbas dampak negatif dari pembangunan, bukannya menikmati hasil pembangunan itu, padahal pembangunan bisa tercipta juga karena kontribusi rakyat. Indonesia memang harus terus belajar dan belajar menjadi sebuah negara besar yang mampu mensejahterakan rakyatnya melalui pembangunan bukan sebaliknya. Cpr.

Posting Komentar

0 Komentar