APBN Terus Terbeban Subsidi Minyak : “Berhematlah!”


Situasi Timur Tengah yang tak kunjung memberikan kepastian, kemudian juga stok minyak AS mengalami penurunan serta meningkatnya permintaan pasokan minyak di kawasan Asia-Pasifik, semakin memaksa harga minyak dunia kini bertengger di kisaran  US$ 120-125 per barel. Meskipun patokan harga minyak yang dipakai adalah ICP (Indonesian Crude Price) namun kenaikan harga pada ICP sejalan dengan perkembangan harga minyak internasional. Angka yang menurut saya tinggi bila dibandingkan asumsi harga minyak pada APBN yang mengisarkan harga minyaknya di level  US$ 80 per barel. Keadaan ini otomatis membebani APBN Indonesia. Apalagi sejak revolusi yang terjadi di negara-negara Timteng (Timur-tengah) tidak memberikan kepastian. Ditambah lagi krisis Libya yang kini tak kunjung usai. Situasi di Libya yang tidak kondusif menjadi masalah karena Libya merupakan salah satu negara penghasil minyak. Produksinya jelas pasti terganggu dengan operasi militer yang sedang dilancarkan di sana guna menumbangkan rezim Khadaffi. Belum lagi krisis-krisis di negara-negara Timteng lainnya.
Melihat kondisi yang seperti ini pemerintah berencana melakukan revisi asumsi harga minyak mentahnya menjadi US$ 90 – US$ 95 per barel. Sampai saat ini pemerintah belum mengeluarkan pernyataan akan menaikan harga BBM atau tidak. Malah isunya kalau Premium (BBM yang mendapat subsidi) akan dihilangkan. Kalau isu ini jadi kenyataan betapa repotnya rakyat miskin. Penghilangan BBM jenis premium ini akan berdampak luar biasa. Baik ekonomi, otomatis harga-harga akan beranjak naik karena biaya transportasi terkerek naik akibat harga BBM nya beralih lebih mahal. Belum lagi situasi politik akan bergolak, di dewan otomatis ada pihak setuju dan tidak. Kalau parah mungkin rakyat bakal demo besar-besaran, kacaulah sudah.
Sebenarnya Indonesia merupakan salah satu negara penghasil minyak juga. Ladang minyak Indonesia cukup banyak, maklum negara ini dianugerahi kekayaan alam yang luar biasa. Namun, kenapa meski sebagai negara penghasil minyak, impor akan minyak juga cukup tinggi. Itulah kenapa, saat harga minyak dunia naik, kita tidak mencicipi keuntungan dari kenaikan tersebut. Menko Perekonomian Hatta Rajasa seperti yang saya kutip dari Kontan Oline, mengatakan bahwa “kenakan harga minyak berpotensi meningkatkan pendapatan negara. Cuma, dia bilang kenaikan tersebut tidak dapat dipergunakan untuk sektor produktif seperti infrastruktur karena dimanfaatkan untuk subsidi yang ikut meningkat.”
Saya sendiri coba membayangkan saat saya sedang di suatu suatu stasiun pengisian bahan bakar milik Pertamina sambil membandingkannya dengan yang non Pertamina seperti Shell, Petronas, Total. Harga yang ditawarkan untuk jenis BBM premium saja sudah berbeda. Contoh saja di Shell, BBM sejenis premium (non subsidi) di mereka ditawarkan dengan harga Rp 9.200,00 sedangkan di Pertamina Rp 4.500,00. Bedanya sekitar Rp 4.700,00, lumayan juga. Sederhana saya berpikir, berarti pemerintah menanggung Rp 4.700,00 per liter yang kita pakai. Ibaratnya pemerintah nombok lagi harga satu liter bensin yang kita gunakan. Apabila BBM yang disubsidi memang dikonsumsi bagi yang tidak mampu tidak menjadi masalah, tetapi kalau yang mampu ikut menikmati, “Apa kata dunia?”. Itu hanya pemikiran sederhana saya saja, mungkin ada yang salah dengan hitung-hitung kotornya, tetapi itu membantu saya berpikir bahwa beban pemerintah cukup besar, maka sementara ini yang bisa dilakukan adalah kencangkan ikat pinggang, hemat penggunaan BBM bersubsidi, kalau mampu pakailah yang non subsidi. Cpr.

(Ini berikut saya sampaikan link terkait tentang berita mengenai minyak, barangkali ada yang ingin membacanya lebih detail. Karena yang saya tulis merupakan gambaran sederhana yang ada di pikiran saya.)
Sumber :
Kontan Online - ICP kian jauh meninggalkan asumsi APBN 2011, 3 Mei 2011 diakses tanggal 4 Mei 2011

Posting Komentar

0 Komentar