Keindonesiaan dan “?”


Semangat rasanya membaca tajuk opini Bp. Prof. Dr. H. Ahmad Syafi’i Ma’arif, yang berjudul “Liem Koen Hian dan AR Baswedan” yang dimuat Kompas, 16 April 2011. Semangat dan harapan akan keindonesiaan masih ada, disaat sekarang ini Indonesia yang selalu ingin diubah wajahnya menjadi negeri lain seperti yang ada di timur tengah sana, tanpa melihat histori perjalanan bangsa ini. Indonesia yang beranekaragam ini ingin diubah menjadi satu wajah saja.
Pada tajuk opini itu diceritakan sejarah perjuangan dua tokoh yang berbeda latar belakang sukunya, yang satu Cina dan satu lagi Arab. Meskipun mereka berbeda, pandangan mereka sama akan Indonesia satu, yang penuh keberagaman. Bp. Syafii Maarif memaparkan singkat siapa Liem Koen Hian dan AR Baswedan. Liem yang seorang keturunan Cina dan AR Baswedan yang keturunan Arab, merasa bangga dengan keindonesiaannya dan terus mereka perjuangankan hingga akhir hayat. Pada tajuk opini itu dituliskan bahwa “...Dalam urusan keindonesiaan Tionghoa totok dan Arab totok yang masih setia dengan daratan Cina dan Hadramaut menjadi lawan berat kedua tokoh kita ini...”. Dalam tajuk ini pula dituliskan bahwa “... Keduanya adalah pelopor plurarisme dalam realitas ...”.
Sejarah sendiri menuliskan sendiri bagaimana perjuangan mereka (dua tokoh ini) untuk menjadikan Indonesia Raya ini benar-benar Indonesia tanpa memandang latar belakang etnis, tradisi, agama dan ideologi politik. Wajah yang berbeda-beda ini diharapkan menjadi satu wadah kesatuan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Namun sekarang semangat untuk saling memahami perbedaan dan semangat saling mengerti diantara kita orang-orang penghuni republik ini seperti berusaha dihilangkan. Bahkan orang-orang tertentu yang juga merupakan tokoh di negeri ini mengganggap itu salah. Saya bisa menilai demikian dari melihat/ memabaca dan mendengar komentar dan reaksi tokoh-tokoh itu terhadap film garapan Hanung, berjudul “?”.
Film yang coba ditampilkan Hanung sangat baik, pesan moral dari film ini bisa diambil manfaatnya. Bagi yang tidak berpikir picik tentunya. Terutama dalam hal semangat memahami perbedaan dan semangat saling mengerti. Kita lahir di Indonesia ini, lahir di tengah perbedaan-perbedaan yang ada. Perbedaan yang ada ini hendaknya menjadi kekayaan tersendiri, bukannya malah ingin dihilangkan atau diseragamkan. Film yang punya pesan moral yang baik ini, di tengah masyarakat Indonesia yang sedang carut-marut soal perbedaan malah dianggap ‘sesat’. Sebuah pemikiran yang salah, bukannya pesan moral yang baik ini didukung dan coba disebarkan agar tercipta kedamaian dan kerukunan diantara kita warga bangsa Indonesia.
Melihat komentar dan reaksi tokoh-tokoh yang menyudutkan film ini membuat saya berpikir, sebenarnya apa yang mereka inginkan? Pesan pluralisme yang dibawa dalam film itu dianggap tidak berkenan. Memang dalam ajaran tertentu tidak ada pesan demikian. Tapi dalam kehidupan bermasyarakat yang beranekaragam, pesan pluralisme itu perlu ditanamkan, agar pola pikir kita tidak menjadi sempit dan mungkin bahkan yang lebih parah adalah picik. Karena kita hidup bukan hanya dengan kelompok atau golongan kita saja, tetapi dengan semua orang, bahkan dengan semua orang di dunia ini yang sudah jelas beranekaragam perbedaannya.
Saya sendiri memandang film “?” sebagai pemberi alternatif solusi dalam menyikapi perbedaan. Solusi yang lahir dari pemikiran yang jernih dan tanpa ada unsur provokatif yang benada negatif. Solusi yang ditawarkan sungguh nyata, dan ada di dalam diri masing-masing kita orang Indonesia. Iman sesorang akan satu keyakinan bila memang itu kuat tidak akan luntur oleh karena perbedaan. Karena iman merupakan keyakinan seseorang akan sesuatu, meskipun apa yang terjadi, bila iman ini sudah tertanam dengan baik tidak akan mungkin tercampur aduk sehingga membuat kabur imannya sendiri. Kita tahu, keyakinan merupakan hak yang paling asasi dan itu didukung undang-undang dasar negara kita. Jadi tak usalah risau dengan iman seseorang, karena iman adalah hubungan pribadi dengan Tuhan.
Melihat Indonesia yang semakin carut-marut seperti ini, keindonesian yang pernah dicita-citakan tokoh pendahulu bangsa kita sepertinya akan semakin lama untuk terwujud. Tokoh pluralis yang pernah hidup dijaman ini dan yang saya dapat lihat kiprahnya yaitu Alm. K.H. Abdurrahman Wahid (Gusdur). Beliau juga pernah menjadi tidak populer karena membawa pesan pluralisme. Meskipun sekarang-sekarang ini sebutan untuk beliau sebagai bapak pluralis tidak disanggah. Ya, memang sebutan itu lahir dari kalangan minoritas yang berdampak langsung karena kiprah beliau. Tetapi setidaknya sebutan untuk beliau masih bisa diamini.
Semoga saja masih ada tokoh-tokoh hidup di bangsa ini yang masih mempunyai pemikiran menghargai perbedaan dan punya solusi damai untuk menyikapinya. Tidak dengan anarkis atau provokatif, atau dengan membenturkannya dengan dalil-dalil tertentu. Karena sejak wafatnya tokoh pluralis Indonesia Alm. Gusdur, sepertinya hilanglah tumpuan dan harapan akan adanya tokoh serupa yang memperjuangkan keindonesia yang Bhineka Tunggal Ika. Semoga, Indonesia Raya ini tetap menjadi Indonesia yang bewarna, meski berbeda-beda namun tetap satu. Merdeka! Cpr.

Posting Komentar

0 Komentar